Kewajiban memakai jilbab menimbulkan tekanan bagi siswi di sekolah-sekolah maupun perempuan pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana belajar di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan nonmuslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah.
JAKARTA, KOMPAS – Aturan yang mewajibkan penggunaan jilbab di sejumlah sekolah negeri di Indonesia menyebabkan tekanan psikologis bagi siswi dan guru perempuan. Oleh karena itu, pemerintah dan semua pihak terkait lainnnya didesak untuk segera mengakhiri semua aturan diskriminatif terhadap perempuan baik di sekolah maupun tempat kerja.
Hal tersebut terangkum dalam laporan Human Rights Watch (HRW) berjudul “Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian Bagi Perempuan di Indonesia”, yang diliris secara daring, Kamis (18/03/2021). Laporan tersebut menyoroti aturan yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab di sekolah dan di kantor pemerintah.
Penelitian ini dilakukan sejak 2014 hingga Februari 2021. Laporan disusun melalui hasil wawancara mendalam dengan 140 siswi, orang tua, atau wali mereka, pegawai negeri perempuan, guru, dosen, pejabat pemerintah, dan aktivis hak perempuan.
Direktur HRW Australia Elaine Pearson menyampaikan, laporan ini berfokus pada tanggapan perempuan terkait dengan aturan yang diskriminatif tentang kewajiban penggunaan jilbab. Dari hasil wawancara, aturan atau kebijakan tersebut menimbulkan tekanan bagi siswi di sekolah-sekolah maupun perempuan pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah.
Siswi yang tidak mematuhi penggunaan jilbab dipaksa keluar dari sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan. Sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan memakai jilbab secara terus menerus.(Elaine Pearson)
“Siswi yang tidak mematuhi penggunaan jilbab dipaksa keluar dari sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan. Sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan memakai jilbab secara terus menerus,” ujarnya saat merilis laporan tersebut.
Dua siswa Kristen (tidak berjilbab) berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021).
Elaine menjelaskan, selama penyusunan laporan tersebut, HRW menemukan peningkatan jumlah peraturan daerah (perda) bernuansa islami seperti kewajiban pakaian untuk perempuan dan anak-anak perempuan di sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintah, dan tempat publik. Hal ini juga ditegaskan dari catatan Komnas Perempuan pada 2016 yang mengidentifikasi adanya 421 perda dengan aturan yang mendiskriminasi perempuan dan agama minoritas.
Komnas Perempuan juga mengidentifikasi terdapat 32 daerah dan provinsi yang mewajibkan perempuan dan siswi menggunakan jilbab di sekolah. Aturan itu diterbitkan pemerintah daerah dan sekolah seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
“Pada praktiknya, banyak daerah menginterpretasikan peraturan tersebut sebagai kewajiban penggunaan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah siswi muslim. Bahkan di beberapa daerah yang konservatif seperti Sumatera Barat, aturan penggunaan jilbab juga diwajibkan untuk siswi non-muslim,” ungkapnya.
Elaine menegaskan, Indonesia adalah negara demokrasi dengan mayoritas penduduk muslim. Konstitusi negara juga menjamin adanya kebebasan beragama, termasuk hak-hak kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, semua orang khususnya perempuan seharusnya juga memiliki hak untuk memilih apa yang dikenakannya.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Siswa SMK 2 Padang sedang beraktivitas di kelas mereka, Padang, Sumatera Barat, Senin (25/1/2021). Sekolah ini menganjurkan semua siswa perempuan tanpa memandang agama untuk menggunakan jilbab saat di sekolah.
“Laporan ini menyajikan satu bagian yang menunjukkan kewajiban aturan pakaian di beberapa negara lain. Perempuan harus punya kebebasan untuk menggunakan apa yang mereka pilih dan pilihan itu mestinya tak dicabut oleh negara. Aturan-aturan ini adalah bagian dari serangan yang lebih besar dari kelompok konservatif agama yang melanggar hak-hak perempuan,” katanya.
Psikolog Ifa Hanifah Misbach mengatakan, setidaknya ia memiliki 37 klien yang mengalami tekanan karena aturan jilbab. Mereka mendapat tekanan karena menolak menggunakan jilbab dan dianggap tidak sesuai dengan moral yang diajarkan. Tekanan tersebut bahkan membuat kliennya mengalami anxiety atau gangguan kegelisahan.
“Saya tidak hendak menyudutkan mereka yang menggunakan jilbab. Tetapi seorang perempuan beberapa tahun ke depan akan menjadi ibu. Perempuan yang tidak mendapatkan apresiasi selama masa kanak-kanak berpotensi melakukan hal yang sama atau merundung kembali anak mereka,” ucapnya.
SKB Tiga Menteri
Elaine memandang, saat ini terdapat kemajuan dan respon dari pemerintah terkait dengan aturan yang mewajibkan penggunaan jilbab di sekolah. Hal ini ditunjukkan dari dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama.
“SKB soal seragam sekolah adalah langkah yang sangat bagus, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pemerintah pusat harus tegas kepada pemda yang tidak menaati aturan itu. Harus ada pernyataan publik bahwa aturan wajib jilbab adalah bentuk diskriminasi dan seharusnya tidak dilakukan,” ucapnya.
Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyatakan, SKB Tiga Menteri menjadi aturan yang sangat penting dan krusial untuk menyelesaikan permasalahan aturan kewajiban penggunaan jilbab di sekolah. Namun, ia juga melihat masih adanya tantangan penerapan SKB Tiga Menteri di sejumlah daerah karena kesalahpahaman dalam menjabarkan aturan ini.
“Masyarakat berpikir aturan ini juga diaplikasikan ke madrasah (sekolah islam) sehingga ada beberapa kelompok muslim yang protes. Salam paham yang kedua mungkin lebih ke alasan politik bahwa aturan ini hanya untuk muslim. Jadi, tantangan utama penerapan SKB ini yaitu terkait dengan pemahaman masyarakat lokal,” tuturnya.