Pemerintah hendaknya tidak menjadikan program vaksinasi Covid-19 untuk guru dan tenaga kependidikan sebagai dasar membuka sekolah mulai Juli 2021. Kesiapan sekolah untuk melaksanakan protokol kesehatan jadi syarat utama.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan guru mendukung program vaksinasi Covid-19 tahap kedua untuk guru dan tenaga kependidikan. Meskipun begitu, guru berharap pemerintah tidak menjadikan program ini sebagai dasar untuk membuka sekolah. Sekolah harus siap, baik aspek infrastruktur maupun protokol kesehatan, sebelum dibuka kembali.
Vaksinasi Covid-19 untuk guru dan tenaga kependidikan dimulai pada 24 Februari 2021, pemerintah menargetkan 5 juta guru dan tenaga kependidikan selesai divaksinasi pada Juni 2021. Setelah semua guru dan tenaga kependidikan selesai divaksinasi, pemerintah berencana membuka sekolah secara nasional mulai Juli 2021.
Kalaupun semua guru dan tenaga kependidikan divaksinasi, kekebalan kelompok (herd immunity) Covid-19 di lingkungan sekolah belum terbentuk karena siswa belum mendapatkan vaksin. Kekebalan kelompok terbentuk ketika 70 persen anggota kelompok telah divaksinasi dan memiliki antibodi terhadap Covid-19.
Rata-rata rasio guru dan murid mencapai 1:17, dengan pembelajaran tatap muka secara bergantian pun rasio guru dan murid rata-rata masih 1:8,5. Jika semua guru dan tenaga kependidikan divaksinasi, maksimal baru sekitar 11 persen dari total warga sekolah yang memiliki antibodi terhadap Covid-19.
Dengan demikian, pembukaan sekolah masih rawan menimbulkan kluster sekolah jika infrastruktur dan protokol kesehatan di sekolah tidak siap. Apalagi, berdasarkan survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) terhadap 2.406 guru di 26 provinsi pada 7-12 Maret 2021, sebanyak 8,17 persen guru masih ragu dan menolak divaksinasi Covid-19 karena khawatir efek samping dan meragukan kualitas vaksin.
Ini (8,17 persen) tidak bisa dipandang remeh. Apabila ada guru yang belum divaksinasi, ditambah siswa belum divaksinasi, kekebalan komunitas di lingkungan sekolah tidak akan terbentuk. (Fahriza Marta Tanjung)
”Ini (8,17 persen) tidak bisa dipandang remeh. Apabila ada guru yang belum divaksinasi, ditambah siswa belum divaksinasi, kekebalan komunitas di lingkungan sekolah tidak akan terbentuk,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung ketika memaparkan hasil survei FSGI, Rabu (17/3/2021).
Guru-guru yang menolak divaksinasi mayoritas berasal dari luar Pulau Jawa, dari jenjang SMA/SMK/MA, dan berusia 20-49 tahun. Meskipun menolak divaksinasi, kata Wakil Sekjen FSGI Mansur, para guru berharap program vaksinasi untuk guru dan tenaga kependidikan ini berjalan lancar dan tidak dijadikan program wajib. Mereka juga berharap ada program vaksin untuk siswa.
”Sejumlah kecil yang belum bersedia divaksinasi mengharapkan ada sosialisasi soal program ini karena informasi yang mereka terima tidak cukup meyakinkan mereka tentang kualitas vaksin, apakah ada efek sampingnya, apakah efektif untuk pembelajaran tatap muka (pembukaan sekolah),” kata Mansur.
Sosialisasi
Hasil survei FSGI menunjukkan, baru 47,67 persen guru yang pernah menerima sosialisasi program vaksinasi untuk guru dan tenaga kependidikan ini. Sebanyak 52,33 persen guru belum pernah mendapatkan sosialisasi program ini, umumnya mereka tahu dari media sosial dan pemberitaan di media massa.
Karena itu, menurut Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti, harus ada pihak-pihak yang berkompeten menyosialisasikan dan menjelaskan soal vaksinasi Covid-19 ini kepada guru dan siswa. Untuk ini, dinas pendidikan bisa bekerja sama dengan dinas kesehatan dan pakar terkait.
Selain itu, kata Retno, perlu ada pemahaman bahwa vaksinasi Covid-19 pada guru dan tenaga kependidikan bukan berarti sekolah aman dibuka kembali. ”Vaksinasi untuk anak belum ada. Kalau sekolah mulai Juli, sementara pemerintah tidak melarang mudik, juga ada libur sekolah, maka akan terjadi pergerakan orang secara besar-besaran. Selama ini pasca-libur panjang selalu terjadi lonjakan kasus,” kata Retno.
Membuka sekolah kembali, ujar Retno, harus didasarkan pada kesiapan sekolah dalam menyediakan infrastruktur kesehatan dan kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan untuk adaptasi kebiasaan baru. Hasil pengawasan kesiapan pembukaan sekolah oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Juni-November 2021 di 49 sekolah di 21 kabupaten/kota di 8 provinsi, hanya 16,3 persen sekolah yang siap dibuka kembali.
”Pengawasan pada Januari-Februari di lima sekolah, hanya satu sekolah yang siap dibuka kembali. Meski siap dibuka, sekolah ini menerapkan sistem sif untuk pembelajaran tatap muka, itu pun hanya untuk siswa yang membutuhkan bantuan karena kesulitan (mengikuti pembelajaran jarak jauh) dan siswa yang harus mengikuti praktikum. Maksimal hanya 50 siswa yang mengikuti pembelajaran tatap muka, dari toal 1.400 siswa,” kata Retno yang juga Komisioner KPAI.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang kesiapan belajar menunjukkan, baru 280.372 atau 52,44 persen sekolah yang mengisi daftar kesiapan proses belajar mengajar di masa pandemi, itu pun baru sekitar 10 persen yang siap. ”Sekolah harus disiapkan dulu sebelum dibuka,” kata Fahriza.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Jawa Barat, Harjono, mengatakan, pihaknya tidak akan melihat kesiapan sekolah. ”Pendapat epidemiolog juga akan menjadi pertimbangan (sekolah bisa dibuka kembali atau belum). Sekarang kami menyiapkan sekolah, sebanyak 68 persen sekolah sudah siap. Kami dorong sekolah lainnya melengkapi daftar periksa (untuk pelaksanaan protokol kesehatan),” katanya.