Lembaga penyiaran publik radio dapat berperan membantu menekan penyebaran disinformasi, hoaks, dan berbagai bentuk konten negatif.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah derasnya disinformasi, hoaks, dan konten negatif lainnya melalui media sosial, peran lembaga penyiaran publik makin dibutuhkan. Lembaga penyiaran tersebut dapat berfungsi menyediakan validasi dan klarifikasi informasi.
Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Rosarita Niken Widiastuti menyampaikan pandangan tersebut saat menghadiri diskusi daring ”Sinergi LPP (Lembaga Penyiaran Publik) dan LPPL (Lembaga Penyiaran Publik Lokal) untuk Membangun Komunikasi yang Efektif”, Selasa (16/3/2021), di Jakarta.
Di era digital saat ini, wujud media massa berkembang menjadi multikanal, multiplatform, dan multipleksing. Teknologi digital memungkinkan produksi konten menjadi masif dan disebarkan secara cepat. Sebagai gambaran, di media sosial Facebook, setiap satu menit terdapat 33 juta informasi muncul.
”Apabila LPP radio, seperti LPP lokal radio dan LPP RRI, ingin tetap bisa bersaing, keduanya bukan mengejar kuantitas konten. Adaptasi ke multiplatform memang keharusan, tetapi keduanya harus bisa berperan memberikan validasi, klarifikasi, ataupun konten kebenaran,” ujarnya.
Mengutip survei Litbang Kompas, Niken menyampaikan, sebanyak 84,5 persen responden berpendapat radio sebagai media pemersatu bangsa. Sekitar 40,7 persen responden masih lebih suka mendengarkan RRI. Sementara 46,5 persen responden lebih suka mendengarkan radio swasta.
Apabila LPP radio, seperti LPP lokal radio dan LPP RRI, ingin tetap bisa bersaing, keduanya bukan mengejar kuantitas konten.
Prinsip-prinsip universalitas LPP, menurut Niken, akan selalu dibutuhkan. Sebagai contoh, prinsip kepentingan nasional. LPP radio dapat membantu pemerintah menyebarkan informasi berkaitan dengan kepentingan nasional, seperti perkembangan pandemi Covid-19.
”LPP lokal radio dan LPP RRI dapat bekerja sama dalam pengembangan program, jaringan siaran, sampai pelatihan sumber daya manusia,” tuturnya.
Anggota Dewan Pengawas LPP RRI Hasto Kuncoro mengatakan, sinergi LPP RRI dan LPP lokal radio melawan hoaks (kabar bohong), disinformasi, dan konten negatif lain bisa dilakukan dengan bantuan teknologi digital. Dia mengklaim, LPP RRI telah membangun pusat mahadata yang dapat dioptimalkan untuk mendeteksi sampai memberikan klarifikasi informasi.
Selain itu, bentuk sinergi LPP RRI dan LPP lokal radio menyampaikan kembali siaran (relay) juga bisa tetap dilanjutkan. Keduanya pun bisa membangun tim untuk menyusun konten bersama.
Hasto mengakui, tantangan sinergi adalah regulasi yang terkandung dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya. Sebagai contoh, suatu wilayah kabupaten/kota yang sudah ada LPP RRI, maka pendirian LPP lokal tidak diperbolehkan. Namun, sudah ada beberapa LPP lokal berdampingan dengan LPP RRI sebelum peraturan itu keluar.
”Apabila arahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional agar ada jaminan ketahanan informasi, saya harap pemerintah punya diskresi untuk pendirian LPP lokal radio,” katanya.
Tantangan independensi
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Lintang Ratri Rahmiaji, berpendapat, tantangan yang dihadapi LPP menyangkut independensi dan integritas. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran menyebut LPP lokal sebagai lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan pemerintah daerah.
Sebelum PP turunan UU No 11/2020 terbit, keberadaan LPP lokal yang kerap dinilai di bawah bayang-bayang pemerintah sudah terjadi. Mengutip riset Muzayin Nazaruddin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, pada 2016, di salah satu manajemen LPP RRI di Yogyakarta, definisi publik dalam LPP bukan masyarakat. ”Publik” dalam konsep LPP dimaknai sebagai pemerintah, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berdasarkan evaluasi terhadap LPP lokal radio, seperti Swai FM, Lintang menemukan konten program yang berpihak pada kepentingan publik atau masyarakat di sekitar LPP masih terbatas. Akun Facebook Swai FM lebih banyak menampilkan kegiatan seremonial pemerintah daerah setempat.
”Mereka (Swai FM) sempat membuat akun Youtube, tetapi tampaknya tidak terkelola dengan baik. Sebab, saya hanya menemukan satu konten. Apabila ingin berpihak pada kebutuhan masyarakat di era digital, kondisi seperti itu semestinya tidak terjadi,” ujarnya.
Ketua Harian Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia (IndonesiaPersada.id) Syaifudin Ahmad berpendapat, selama regulasi masih menyebut pendirian dilakukan pemerintah, LPP lokal susah beroperasi secara independen. Dia mengibaratkan hubungan orangtua-anak.
Dia juga menekankan pentingnya sinergi LPP lokal dengan LPP RRI di era teknologi digital. LPP RRI daerah mencapai 115 lembaga, sedangkan anggota IndonesiaPersada.id sebanyak 111 lembaga. Akan tetapi, LPP lokal susah memperoleh kanal spektrum frekuensi karena terbentur aturan pemerintah.
Direktur Eksekutif IndonesiaPersada.id Aries Widyoko membenarkan hingga kini masih ada LPP lokal radio yang merasa puas siarannya didengar publik. Namun, interaksi erat antara lembaga dan masyarakat belum optimal.