”Ghosting” dan Etiket Mengakhiri Pacaran
Putus pacaran sebenarnya hal wajar. Namun, hubungan itu sebaiknya diakhiri dengan kejelasan demi kebaikan kedua pihak, bukan digantung, apalagi diakhiri dengan mendadak menghilang tanpa ada kejelasan.

Ilustrasi pasangan yang sedang menjalin relasi romantis. (Arsip Tim SMA 81 Jakarta)
”Coba tanyakan lagi pada hatimu
Apakah sebaiknya kita putus atau terus
Kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar menunda perpisahan”
(”Putus atau Terus”, Pencipta: Anji, Penyanyi: Judika)
Pada orang dewasa muda, putus pacaran sangat wajar terjadi. Terlebih, mereka belum diikat dalam pernikahan. Namun, konflik yang menyertai putus pacaran, termasuk yang putus dengan baik-baik sekalipun, sering kali tidak mampu ditanggung hingga seseorang memilih ghosting untuk mengakhiri hubungan.
”Putus hubungan merupakan bagian dari tugas perkembangan orang dewasa muda. Pada tahap ini, mereka akan membangun hubungan dengan orang lain sembari tetap menjadi diri sendiri,” kata psikolog klinis, peneliti hubungan romantis, dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor, di Jakarta, Jumat (12/3/2021).
Putus hubungan merupakan bagian dari tugas perkembangan orang dewasa muda. Pada tahap ini, mereka akan membangun hubungan dengan orang lain sembari tetap menjadi diri sendiri.
Dalam proses membangun hubungan itu, kedua belah pihak saling mencari kecocokan. Setiap individu memiliki preferensi berbeda dalam menilai pasangan. Semakin lama waktu pacaran, semakin bertambah pula pertimbangan yang mereka gunakan dalam membina relasi.
Baca juga : Membangun Hubungan yang Sehat Dimulai dari Kesadaran Bersama
Namun, saat relasi tidak bisa lagi dipertahankan meski sudah diperjuangkan, kata putus akan sulit dihindarkan. Banyak cara bisa dipilih guna memutus hubungan, mulai dari sengaja berbuat salah agar diputuskan, ghosting atau menghilang tiba-tiba tanpa kejelasan, atau berkonfrontasi terbuka guna membicarakan masa depan hubungan yang telah dibangun.

Rambu larangan berpacaran di Taman Prestasi, Surabaya, Minggu (23/6/2019). Taman-taman kota yang terjaga di musim kemarau tidak hanya sebagai tempat bermain, tetapi juga tempat warga berinteraksi sosial.
Sepekan terakhir, istilah ghosting ramai diperbincangkan di media utama dan media sosial. Menurut Pingkan, ghosting sebenarnya dipakai tidak hanya dalam hubungan romantis, tetapi juga hubungan kerja dengan klien. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang yang meninggalkan hubungan secara tiba-tiba tanpa kabar berita. Menghilang bagai hantu.
Di masa lalu, orang yang meng-ghosting tidak akan diketahui informasinya sama sekali. Namun, adanya media sosial saat ini membuat sebagian orang yang meng-ghosting hanya memutuskan kontak dengan pasangannya saja, tetapi tetap muncul di media sosialnya.
Ghosting berbeda dengan digantung karena hubungan yang digantung masih ada peluang untuk kembali lagi. Namun, ghosting biasanya selalu berakhir dengan putusnya hubungan.
Siapa pun bisa jadi pelaku atau korban ghosting, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Studi Gili Freedman dan rekan dalam Journal of Social and Personal Relationships Volume 36 (3) 2019 menunjukkan 25,3 persen responden pernah di-ghosting dan 21,7 persen pernah meng-ghosting.
Baca juga : Antara Hasrat dan Logika Remaja
Menurut Pingkan, sebagian orang memilih ghosting untuk memutus hubungan karena dianggap ringkas dan memberi kenyamanan bagi dirinya. Bagi peng-ghosting, mereka bisa putus tanpa perlu ada perdebatan, mengungkapkan perasaan, menjawab pertanyaan, menjelaskan alasan putus, atau cekcok. Singkatnya, tidak ada drama.

Ilustrasi sepasang remaja tengah beraktivitas bersama. (Arsip Tim SMA 81 Jakarta)
Sebaliknya bagi korban ghosting, cara ini memunculkan rasa tak nyaman, mencari-cari kesalahan sendiri, hingga jatuh kepercayaan dirinya. ”Memutuskan hubungan romantis itu butuh keberanian. Meski wajar, putus itu menyakitkan,” katanya.
Orang yang meng-ghosting cenderung punya pola kelekatan penghindaran (avoidant attachment style). Orang dengan pola kelekatan ini berpandangan yang utama dalam sebuah relasi adalah kenyamanan diri sehingga kurang berempati dengan pasangan. Mereka bisa memiliki hubungan romantis, tetapi sulit memiliki kedalaman dan kedekatan secara emosi.
Kelekatan penghindaran juga bentuk ketidakpercayaan diri. Selain mudah menghilang, orang dengan kelekatan relasi ini butuh waktu dan ruang lebih banyak untuk sendiri daripada disakiti orang lain. ”Bahkan, dalam relasi yang positif saja, mereka khawatir. Apalagi jika terjadi konflik,” tambahnya.
Kelekatan penghindaran ini dipelajari seseorang dalam hubungan anak-orangtua yang lalu berkembang dalam relasi dengan teman atau lawan jenis. Orangtua mungkin hadir secara fisik dan memenuhi semua kebutuhan materi anak, tetapi kedekatan emosional tidak terbentuk.

Orangtua terkadang juga membangun hubungan bersyarat dengan anak, seperti anak dianggap baik jika menurut atau berprestasi. Tanpa disadari, orangtua juga membuat jarak dengan anak dengan alasan membuat anak tangguh. Semua itu bisa membuat anak belajar bahwa jika dia ingin membangun sebuah hubungan dekat, cukup yang dangkal saja agar tidak tersakiti.
Baca juga : Temani Remaja Membina Hubungan
Untuk membuat anak kuat, sebagian orangtua juga melarang anaknya mengekspresikan emosinya, seperti sedih atau menangis, terutama bagi anak laki-laki. Meski itu sering kali dilakukan dengan alasan mendidik anak, namun sangat berpengaruh pada psikologis anak. ”Anak tetap butuh diajarkan untuk mengungkapkan emosi atau perasaan mereka,” kata Pingkan.
Selain pola kelekatan penghindaran, orang yang meng-ghosting umumnya punya pola pikir tetap (fixed mindset). Orang tipe ini cenderung memandang hubungan sebagai takdir sehingga bila diyakini tidak jodoh, maka percuma juga untuk diperjuangkan.
Pingkan mengatakan konfrontasi terbuka menjadi cara terbaik dan dewasa untuk memutuskan hubungan. Dengan cara ini, pasangan akan membicarakan dan mengungkapkan apa yang memberatkan atau membuat frustrasi dalam relasi mereka. Demikian pula usaha memperjuangkan hubungan itu meski akhirnya tetap tidak ada masa depan.

Pasangan berbahagia yang hadir di Festival Melupakan Mantan 2020 pada Kamis (13/2/2020) di Yogyakarta. Nana dan Nino sudah bisa move on dari kisah kasih lama lalu kini berpacaran.
”Cara konfrontasi terbuka ini membutuhkan kedewasaan dan kematangan emosi. Mereka harus mampu melihat lebih dalam dan merefleksikan apa yang membuat mereka frustrasi serta mampu mengambil keputusan,” katanya.
Meski demikian, apa pun cara putusnya, termasuk melalui konfrontasi terbuka, rasa sakit yang ditimbulkan tetap sama. Rasa sakit ini, baik emosi maupun fisik, bukan hanya dialami mereka yang diputuskan, melainkan juga yang memutuskan karena berbagai investasi yang dilakukan untuk membina hubungan bertahun-tahun akhirnya sia-sia.
Baca juga : Perilaku Pacaran Remaja Berisiko
Namun, dengan konfrontasi terbuka, akhir sebuah hubungan menjadi jauh lebih jelas batasnya. Mereka yang berpisah juga bisa membuat kesepakatan baru tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan sebagai mantan. Setelah melewati masa-masa menyakitkan, masing-masing individu bisa membina hubungan baru dengan orang lain penuh kelegaan.
Peran orangtua
Saat relasi romantis anak dalam prahara, orangtua perlu mengambil jarak secara proporsional. Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, mengatakan, semakin anak dewasa, orangtua perlu mengurangi keterlibatannya dalam urusan anak, termasuk soal asmara atau rumah tangga.
”Biarkan anak mengambil peran dalam menentukan hidupnya. Beri mereka kepercayaan untuk mengambil keputusan,” katanya. Jika keputusan itu menyangkut relasi romantis, orangtua perlu yakin bahwa keputusan itu dibuat oleh mereka berdua.

Sumber: Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (SKAP KKBPK), 2018
Namun, orangtua perlu mengambil peran jika keputusan anak berpisah dengan pasangannya itu mengganggu kehidupan keluarga, misal anak menjadi korban kekerasan pasangannya dan tidak berdaya untuk keluar dari kondisi tersebut.
Ketika anak menjadi korban ghosting, orangtua perlu mengutamakan atau mendukung anaknya, bukan justru menyalahkan mantan pacar anaknya. Buat anak mampu menghadapi situasi sulit itu dan tunjukkan dukungan kepada anak bahwa dia tetap berharga di mata orangtuanya meski hubungannya kandas.
Orangtua boleh saja berharap hubungan anaknya terus berlanjut, tetapi keputusan tetap ada di anak mereka. ”Jika anak yang sudah dewasa menghadapi masalah dalam hubungan romantisnya, orangtua tetap perlu menahan diri,” ucapnya.
Baca juga : Kisah Generasi Muda Saat Pacaran
Dalam banyak kasus yang ditangani Anna, keterlibatan orangtua yang terlalu besar dalam pacaran atau rumah tangga anak justru membuat hubungan romantis anak yang sebenarnya baik-baik saja harus berakhir putus atau cerai.

Brigadir Satu Bambang Priyo Perkasa (kanan) dan Brigadir Dua Naning Eka Indra, sepasang kekasih sekaligus anggota Tim Tiger Polres Metro Jakarta Utara, Selasa (17/12/2019), seusai apel pagi di Markas Polres Metro Jakarta Utara. Mereka bersama menangkap penjahat di Jakarta Timur saat sedang tidak bertugas.
Orangtua juga sering kali merasa lebih tahu urusan rumah tangga anak meski berdasarkan informasi sepihak. Padahal, anak sering kali tidak menceritakan semua masalah mereka, termasuk soal asmara atau rumah tangga, karena khawatir justru membuat orangtua marah atau tidak enak.
Karena itu, jika selama pacaran saja, orangtua sudah terlalu mengatur anaknya, kondisi itu tidak menutup kemungkinan akan berlanjut dan bertambah parah saat mereka berumah tangga. Saat orangtua terlalu mengatur hubungan anak yang sudah dewasa, anak justru akan semakin merasa tak berdaya.