Kriminalisasi Perempuan Meningkat, Revisi UU ITE Kian Mendesak
Kemudahan mengakses gawai yang terhubung dengan internet membawa konsekuensi negatif jika tidak hati-hati. Sejumlah perempuan menjadi korban kekerasan berbasis jender daring. Namun korban justru sering dikriminalisasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kekerasan berbasis jender dalam daring hingga kini menjadi ancaman bagi perempuan. Bahkan di masa pandemi Covid-19 kejahatan dalam ranah digital ini semakin meluas dengan berbagai modus. Karena itulah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mendesak direvisi. UU ini justru menjadi bumerang bagi perempuan korban kekerasan berbasis jender daring.
Semenjak diterbitkan hingga kini Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) justru menjerat para perempuan-perempuan korban kekerasan berbasis jender. Sejumlah perempuan berhadapan dengan hukum, bahkan justru dituduh sebagai tersangka. Sementara kejahatan dalam ranah digital ini semakin menjadi-jadi, terutama dengan modus kekerasan seksual. Korbannya, mayoritas perempuan.
Catatan Tahunan (Catahu) 2020, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang diluncurkan Jumat (5/3/2021) pekan lalu, menunjukkan sepanjang 2020 (masa pandemi) angka pelaporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di ruang daring atau Kekerasan Berbasis Jender Siber (KBJS) melonjak tajam.
Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan mengenai KBJS meningkat hampir 4 kali lipat, yaitu dari 281 menjadi 942 kasus. Sebanyak 454 kasus terjadi di ranah publik, dan 397 kasus terjadi di ranah personal. Pelaku, umumnya orang yang memiliki berhubungan perkawinan atau pertalian darah, juga mantan suami/pacar.
Oleh karena itulah, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani bersama komisioner Veryanto Sitohang, Rainy Hutabarat, dan Mariana Amiruddin, dalam pernyataan kepada pers, Rabu (10/3/2021) meminta Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi UU ITE.
Selain tidak memiliki kemampuan untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan eksploitasi terutama melalui penyebaran materi bermuatan seksual, undang-undang tersebut justru membuat perempuan korban kekerasan seksual rentan mengalami reviktimisasi, bahkan kriminalisasi.
“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan kebutuhan genting, untuk memastikan upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan,” tegas Andy.
Kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan dengan menggunakan UU ITE sangat dimungkinkan terjadi, karena muatan UU ITE mengenai pasal terkait kesusilaan bersifat sumir. Sementara perspektif aparat penegak hukum serta masyarakat dalam kasus terkait kesusilaan cenderung memojokkan perempuan. Kondisi ini secara khusus merugikan perempuan yang oleh masyarakat dikonstruksikan sebagai simbol moralitas.
Dalam kasus kekerasan berbasis jender daring, ancaman dan dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan korban dipermalukan, paling banyak dilaporkan. Ketika menghadapi situasi tersebut, perempuan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE dan UU Pornografi.
Maka, selain merevisi UU ITE, mengintegrasikan isu KBJS dalam tindak pidana kekerasan seksual dan pemulihan untuk korban terkait jejak digital dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, juga penting pendidikan literasi digital. Siswa harus diajarkan tentang keamanan digital dan etika digital termasuk ancaman KBJS di ruang siber.
“Pengawasan terhadap konten-konten yang menyiarkan atau mempromosikan bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender terhadap perempuan juga penting,” kata Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, Kamis (11/3/2021).
Dalam unjuk bincang “Waspadai Kekerasan Berbasis Jender Online” yang digelar Pusat Studi dan Kajian Strategis bersama Pengurus Nasional Perkumpulan Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Kamis pagi, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) Vennetia R Danes juga menyatakan perempuan rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender daring.
Vennetia bahkan mencontohkan, bagaimana korban kekerasan berbasis jender daring malah menjadi terdakwa UU IE. Sekitar lima tahun yang lalu, dia sempat tampil memberikan keterangan di Pengadilan Negeri untuk memberikan dukungan kepada Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban pelecehan seksual oleh M, kepala sekolah tempatnya mengajar.
Baiq justru dituduh menyebarkan konten pornografi dan didakwa UU ITE. Kendati akhirnya mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo, Baiq harus melewati perjalanan Panjang Ketika berhadapan dengan hukum.
Penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berjudul Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber: Sebuah Studi tentang Penerapan UU ITE di Indonesia, yang diluncurkan Rabu (10/3/2021) mencatat sepanjang 2016-2020 terhadap ada 768 perkara ITE yang terjadi di 137 kab/kota. Kasus tersebut adalah penghinaan: 286 kasus (37,2 persen), kesusilaan: 242 kasus (31,5 persen), dan hate Speech/Ujaran Kebencian: 217 kasus (28,2 persen). Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 744 kasus (96,8 persen) diputus bersalah, dan 672 kasus (88 persen) pidana penjara.
“Permasalahan UU ITE adalah permasalahan norma dan implementasi, memperbaiki norma tersebut maka harus dengan menjamin adanya revisi UU ITE bukan hanya penyusunan pedoman,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti ICJR.
Karena itulah, UU ITE harus kembali kepada tujuan awalnya yaitu memberikan perlindungan bagi ruang digital masyarakat, dan tindak pidana yang benar-benar perlu diatur UU ITE adalah tindak pidana yang harus berkaitan dengan keamanan ruang digital.
Sekalipun UU ITE mengatur larangan penyebaran konten tertentu, perlu dirumuskan sesuai prinsip hak asasi manusia dan hukum pidana, agar jangan UU ITE sampai justru menyerang orang-orang yang harus dilindungi, seperti perempuan korban kekerasan berbasis jender daring.