”Shadow Pandemic” Menguji Ketahanan Perempuan
Sebelum pandemi Covid-19 berlangsung, situasi dan kondisi perempuan sudah berada dalam lingkaran kekerasan. Pandemi memperburuk situasi tersebut, bahkan kekerasan terhadap perempuan menjadi pandemi bayangan.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari setahun membawa dampak besar bagi situasi dan kondisi perempuan, baik di dunia maupun di Indonesia. Sejak pandemi terjadi, kekerasan terhadap perempuan dan anak justru semakin meningkat. Bahkan, kekerasan berbasis jender secara daring menjadi ancaman tersembunyi bagi perempuan dan anak saat ini.
Berbagai survei dan kajian menunjukkan betapa selama pandemi Covid-19 perempuan mengalami tekanan berlapis. Perempuan tidak mudah melewati pandemi Covid-19. Resiliensi perempuan setidaknya harus benar-benar kuat.
Bukan hanya harus mampu bertahan menjaga stamina tubuh agar tak tertular virus korona, perempuan juga dipaksa untuk meningkatkan kemampuan bertahan, terutama ketika berada dalam lingkaran kekerasan. Kekerasan yang dialami sejumlah perempuan bisa menjadi pandemi bayangan (shadow pandemic).
Sebab, ketika perempuan sedang berjuang melawan virus dan impitan ekonomi, pada saat yang sama, ia juga harus berjuang melawan kekerasan. Ironisnya, kekerasan fisik, psikis, dan seksual itu justru lebih banyak datang dari dalam rumah.
Organisasi PBB untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) Asia dan Pasifik menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan di banyak negara merupakan dampak paling mencolok dari pandemi Covid-19. Pandemi memperburuk situasi kekerasan perempuan, karena di saat-saat ”normal” (tanpa pandemi Covid-19), perempuan di Asia dan Pasifik pun mengalami tingkat kekerasan yang tinggi.
UN Women menyampaikan pesan kepada seluruh perempuan di dunia bahwa setiap orang berhak untuk hidup aman dan kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan.
Secara global, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan setidaknya sekali seumur hidup. Di banyak negara di Asia dan Pasifik, jumlahnya bahkan lebih besar, yaitu dua dari tiga perempuan melaporkan pengalaman kekerasan.
Pada masa pandemi yang sudah melewati satu tahun, di saat miliaran orang berdiam di rumah, kekerasan terhadap perempuan menjadi tren di seluruh Asia dan Pasifik. UN Women mencatat, kekerasan memburuk bagi banyak perempuan yang terjebak di rumah dengan pasangan atau anggota keluarga yang kasar, tetapi aksesnya untuk mencari bantuan tertutup dan layanan korban kekerasan tidak tersedia.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat hingga 30 persen. Kekerasan terjadi di rumah maupun di ranah siber/digital.
Pandemi Covid-19 telah menempatkan perempuan pada risiko kekerasan yang lebih besar karena pergerakan mereka dibatasi, situasi ekonomi menjadi lebih genting, dan sistem perlindungan melemah. Ini menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan perempuan penyintas kekerasan secara berkesinambungan, mulai dari akses untuk melapor, tempat berlindung, dan berbagai layanan darurat.
Maka, lembaga layanan korban kekerasan pun seharusnya beradaptasi untuk membantu perempuan yang terancam di masa pandemi ini.
Melissa Alvarado, UN Women Asia Pacific Regional Manager on Ending Violence against Women, di Twitter saat Hari Perempuan Internasional menyatakan untuk tetap membuka layanan bantuan seperti itu merupakan hal yang sulit di beberapa negara.
Di Indonesia, kekerasan yang menjadi pandemi bayangan perempuan di Tanah Air juga tergambar dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020. Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, kasus yang paling menonjol adalah di ranah personal atau kasus dalam rumah tangga sebanyak 79 persen (6.480 kasus).
Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama dengan 3.221 kasus (50 persen), diikuti kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20 persen) dan kekerasan terhadap anak perempuan 954 kasus (15 persen). Sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Adapun bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31 persen) di peringkat pertama, diikuti kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30 persen), psikis 1.792 kasus (28 persen), dan ekonomi 680 kasus (10 persen).
Baca juga : Kekerasan Dalam Rumah Tangga Mendominasi
Sementara di ranah publik atau komunitas, kekerasan yang terjadi sebesar 21 persen (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebanyak 962 kasus (55 persen). Bentuk kekerasan seksual mulai dari pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, hingga percobaan pemerkosaan.
Laporan tersebut bahkan mengonfirmasi betapa pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020 tidak menyurutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Itu meliputi kekerasan berbasis daring yang terus meningkat, kekerasan yang memicu perkawinan anak, dan kekerasan pada perempuan disabilitas.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menggarisbawahi betapa kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang luring maupun siber.
Penyintas tidak sendirian
Untuk menghadapi pandemi bayangan, UN Women menyampaikan pesan kepada seluruh perempuan di dunia bahwa setiap orang berhak untuk hidup aman dan kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan. Bukan hanya itu, para penyintas kekerasan tidak sendirian dalam menghadapi situasi tersebut karena ada banyak perempuan di dunia pernah mengalami hal yang sama. Karena itu, berusahalah mencari bantuan, bicara dengan teman, keluarga, atau kerabat yang dipercaya atau hubungi layanan bantuan korban kekerasan.
Pandemi Covid-19 tak hanya mengubah tatanan hidup masyarakat, tetapi juga menguji daya tahan setiap keluarga, terutama perempuan. Krisis yang berkepanjangan menempatkan perempuan (ibu) di setiap keluarga pada situasi sulit, karena perempuan menanggung beban fisik maupun psikis yang jauh lebih berat ketimbang laki-laki.
Survei UN Women dalam laporan berjudul ”Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” yang diluncurkan akhir Oktober 2020 menemukan sejumlah situasi dan kondisi yang mendera perempuan sejak pandemi Covid-19. Bukan hanya memikul beban berat di berbagai situasi dan rentan mengalami kekerasan berbasis jender, perempuan juga mempertaruhkan kesehatan mental.
Survei tersebut menegaskan bahwa dampak Covid-19 mempertaruhkan pencapaian dari 17 tujuan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bagi perempuan dan anak. Bahkan, pandemi Covid-19 meningkatkan ketimpangan di Indonesia. Salah satunya, sejak pandemi melanda, sejumlah perempuan migran yang rata-rata bekerja sebagai pekerja rumah tangga kehilangan pekerjaan karena kekhawatiran penularan virus oleh majikannya.
Jangan menyerah
Situasi dan kondisi perempuan di masa pandemi yang penuh tantangan dan dinamika membutuhkan kewaspadaan ekstra dari perempuan. Namun, seperti tema kampanye Hari Perempuan Internasional (International Womens Day) 2021 yang mengusung tagline #ChooseToChallenge, perempuan diajak untuk tidak menyerah, tetapi memilih tetap berdiri menghadapi berbagai tantangan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati pun berharap momen peringatan Hari Perempuan Internasional 2021 menjadi saat yang sangat tepat untuk membangun pengetahuan dan sinergi terkait dengan perlindungan perempuan dari kekerasan.
Sebab, hingga kini kekerasan yang terjadi lebih banyak menghantui perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Angkanya pun masih sangat memprihatinkan. Catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 3 Januari 2021 menunjukkan, sepanjang tahun 2020 terdapat 7.464 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa. Dari angka tersebut, 60,75 persen merupakan kasus KDRT.
Baca juga : KDRT Menghancurkan Impian tentang Keluarga Bahagia
”Tentu kesetaraan yang kita impikan tidak akan pernah tercapai jika kita belum dapat membebaskan perempuan dari jerat kekerasan,” ujar Bintang saat berbicara dalam webinar dengan tema ”Lindungi Perempuan dari Kekerasan ’Dare To Speak Up’” dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).
Untuk melepaskan perempuan dari kekerasan, kuncinya adalah bersama-sama membangun sinergi yang kuat dan tatap satu tujuan bersama, yaitu dunia yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Itu kondisi ketika perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan stigmatisasi, kuat, mandiri, dan berdaya.