Tidak ada anak dan orangtua yang ingin hidup terpisah. Namun, sejumlah anak dari pekerja migran Indonesia tumbuh tanpa pengasuhan orangtua kandung. Meski demikian, mereka tidak mau menyerah begitu saja. Dalam situasi sulit, mereka bangkit dan berprestasi.
Aries Susanti Rahayu (25) misalnya. Anak pekerja migran Indonesia (PMI) asal Grobogan, Jawa Tengah, berhasil melewati masa-masa sulit tanpa kehadiran sang ibu, Maryati yang bekerja di Arab Saudi dan Kuwait. Saat ibunya merantau ke luar negeri, ayahnya juga pergi bekerja di Surabaya, sehingga sehari-hari Aries praktis hanya tinggal bersama dua kakaknya.
Aries yang ditinggalkan ibunya ke luar negeri sejak usia tiga tahun mampu membuktikan diri sebagai anak pekerja migran yang bisa berprestasi di bidang olahraga. Ia sukses menjadi atlet panjang tebing yang mengharumkan nama daerah dan bangsa Indonesia. Berbagai prestasi diraihnya dalam kompetesi dalam dan luar negeri.
Pada ASEAN Games 2018 di Palembang, Aries meraih medali emas. Berikutnya, pada Oktober 2019, ia berhasil memecahkan rekor dunia Speed World Record dengan catatan waktu 6,995 detik dalam Kejuaraan Dunia IFSC Climbing World Cup di China.
Awalnya tidak mudah bagi Aries. Sebelumnya dia merasa minder dan malu, karena menganggap pekerjaan ibunya sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di luar negeri sebagai pekerjaan yang rendah.
Jaman dulu saya malu, karena mohon maaf...ya PRT itu kan dianggap derajatnya di bawah banget gitu loh.(Aries Susanti Rahayu)
“Jaman dulu saya malu, karena mohon maaf...ya PRT itu kan dianggap derajatnya di bawah banget gitu loh. Waktu saya SMP dan mulai jadi atlet, saya sempat malu. Kok ibuku kerjanya PRT ya, sedangkan teman-temanku yang lain, ibunya enggak kerja kayak gitu,” ujar Aries dalam wawancara dengan Kompas dan Kompas TV, Jumat (5/3/2021).
Di awal menjadi atlet, Aries sempat dihinggapi perasaan sedih, terutama saat pertandingannya tidak disaksikan orangtua, seperti saat dia menang pada Pekan Olahraga Daerah Jateng tahun 2009. “Coba ada ibu dan ayah, bisa melihatku menang,” ungkap Aries yang akhirnya bisa mengatasi semua perasaannya, dengan fokus berlatih agar bisa berprestasi, dan mendapat hadiah.
Bagi Aries, berprestasi dan mendapat hadiah itu sangat membantu mengurangi beban ekonomi keluarga, bahkan melancarkan pendidikannya. “Hadiah uang bisa bantu saya. Karena dulu emang kami kurang. Alhamdulillah banget Allah membawa Aries ke dunia panjat tebing dan mendapat rejeki dari situ,” tutur Aries yang sejak kecil menjadi pelari dan ikut perlombaan mewakili sekolahnya.
Sama seperti Aries, Rindi Sufriyanto (29) atlet panjat tebing kelahiran Jember, Jawa Timur, anak dari pasangan Djuartin dan Hari Supomo yang bekerja sebagai PMI di Malaysia, juga berhasil melewati situasi berat dengan mencatat prestasinya hingga kancah internasional.
Pada ASEAN Games 2018, Rindi mempersembahkan medali emas untuk cabang olahraga Panjat Tebing Nomor Speed Relay Putra. Bungsu dari dua bersaudara ini, semenjak kecil juga ditinggal ayah dan ibunya yang pernah bekerja sebagai PMI di Malaysia. Rindi yang tinggal bersama kakaknya di Desa Sukoharjo, Kota Probolinggo, mulai menekuni panjat tebing saat duduk di kelas 1 SMKN 2 Probolinggo.
Kondisi ekonomi yang susah tidak menyurutkan semangatnya untuk berlatih dan bertanding. Semangatnya membara setiap berangkat ke sekolah karena latihan panjat tebing sudah menanti seusai pelajaran. Ia juga rela mengayuh sepedanya dengan satu pedal sejauh 4 kilometer demi masuk sekolah. Tak cuma itu, saking susahnya, Rindi pun sering “nyeker” (tidak bersepatu) ketika hadir mengikuti pertandingan, karena tak punya cukup uang untuk membeli sepatu. Dia kerap ditegur panitia dan terancam didiskualifikasi.
"Orangtua banting tulang untuk biaya sekolah. Saya pingin banggain mereka. Jadi makin termotivasi untuk berprestasi melalui panjat tebing," ucap Rindi yang karena prestasinya bisa menabung, bahkan tabungannya bisa membiayai umrah bersama ayah dan ibunya ke Tanah Suci.
Gerakan anak pekerja migran
Di Desa Pandan Wangi Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, sejumlah Anak Pekerja Migran (APM) menunjukan resiliensi yang kuat melewati situasi berat ketika ditinggal orangtuanya bekerja ke mancanegara. Mereka mendampingi APM yang menghadapi persoalan serupa dengan membantu mencarikan dokumen kependudukan dan membuat gerakan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik dan seksual, hingga pencegahan perkawinan anak.
Sejak Desember 2017, di desa tersebut terbentuk Forum Anak Pandan Wangi (Pandawa) yang memberi perhatian khusus kepada APM. Pandan Wangi merupakan desa di Lombok Timur dengan jumlah APM yang cukup besar. Data Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI), lembaga swadaya masyarakat yang melakukan pendampingan dan mendorong pembentukan Forum Anak Pandawa, di desa tersebut terdapat 423 APM.
“Forum ini adalah wadah partisipasi untuk anak-anak dalam menyalurkan aspirasi, partisipasi, dan kreativitas dalam memenuhi hak kami sebagai anak,” kata Cindy Purnama Putri (16), Ketua Forum Anak Pandawa saat ditemui Rabu (3/3/2021).
Cindy yang saat ini masih duduk di bangku kelas 2 SMAN 1 Keruak, Forum Anak Pandawa beranggotakan anak-anak dari 15 dusun di Desa Pandan Wangi. Tiap dusun, memiliki tiga perwakilan sebagai anggota dengan usia antara 11-18 tahun. “Itu untuk anggota saja. Tetapi semua anak di desa tetap dilibatkan jika kami mengadakan kegiatan,” kata Cindy.
Hingga kini berbagai kegiatan terkait APM dilakukan Cindy dan kawan-kawan APM seperti membuat perpusatakaan keliling sambil melakukan verifikasi data APM. Dari sana kegiatan itu, mereka kemudian mengetahui ada banyak APM tidak memiliki identitas seperti akta kelahiran dan kartu keluarga. Bersama SANTAI, pihak desa, dan kader terkait, mereka kemudian menfasilitasi pelayanan administrasi kependudukan secara langsung kepada APM.
Selain itu, Forum Anak Pandan Wangi, juga mendorong APM terlibat dalam gerakan mendaur ulang sampah bekas dan menjadikan kerajinan, termasuk melatih anak-anak untuk musik tradisional Gendang Beleq bagi anak laki-laki yang kurang berkegiatan karena tidak sekolah.
Forum itu juga memiliki perpustakaan Rumah Baca yang mengajar anak-anak sekolah dasar untuk membaca. Selain di perpustakaan, mereka juga memanfaatkan bangunan pusat kegiatan masyarakat di kantor desa untuk belajar bahasa Inggris dan manggambar. Bahkan, di masa pandemi ini, mereka membuka latihan taekwondo, untuk mengalihkan waktu APM agar tidak habis untuk main gim daring.
Cindy yang sejak tahun 2018 sering tampil dalam forum anak nasional bersuara mewakili APM mengungkapkan hingga kini mereka berhasil melakukan pembelasan (upaya menghentikan perkawinan anak). Sepanjang 2020 hingga 2021, mereka menangani 13 kasus perkawinan anak, yang lima orang di antaranya APM.
“Kami bertemu dengan anak-anak yang akan menikah. Lalu kami jelaskan berbagai hal, termasuk dampaknya. Itu berhasil membuat mereka mau membatalkan rencana menikah. Sementara dari pihak orang tua, pendekatan dilakukan oleh kader dan pihak terkait,” kata Cindy.
Tidak mudah melakukan pembelasan. Satu kasus bisa diselesaikan antara seminggu, bahkan ada satu bulan. Sebagian besar berhasil dicegah, tetapi ada juga yang akhirnya tetap menikah.“Agar tidak trauma dan down, setelah pembelasan, kami tetap dampingi. Menghibur, ajak bermain dan ikut kegiatan forum anak,” kata Cindy.
Pendamping Forum Anak Pandawa yang juga kader di Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Pandan Wangi Muhammad Fahrul Azmi (22) mengatakan, anggota Forum Anak Pandawa didorong menjadi pelapor dan pelopor untuk berbagai isu termasuk kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pekerja anak.