Platform Digital Memudahkan Berdonasi meski Rentan Penyalahgunaan
Platform digital memudahkan berdonasi sosial sekaligus rentan penyalahgunaan. Beberapa permasalahan berakar pada etika.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi digital memudahkan pengumpulan dan penyaluran donasi. Saat bersamaan, kemudahan itu sering disalahgunakan untuk mengeksploitasi donatur dan penerima manfaat.
Ketua Gugus Tugas Penyusunan Kode Etik Filantropi Indonesia Tomy Hendrajati, Selasa (9/3/2021), di Jakarta, mengatakan, landasan filantropi adalah kepercayaan. Permasalahan yang terjadi biasa disebut pelanggaran etika.
Penyebab permasalahan bisa dilakukan oleh pelaku individual dan kelompok. Metode penyalahgunaan filantropi bisa berupa ketiadaan akurasi informasi dan pencatutan lembaga tertentu untuk penggalangan dana.
Akibatnya, pemberian layanan bantuan tidak berkualitas. Distribusi tidak sesuai nilai donasi. Tidak ada umpan balik atas penggunaan dana.
Narasi dan penggambaran korban mesti menghindari materi yang melebih-lebihkan dan sensitif.
”Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, penggalangan donasi melalui platform digital naik drastis. Platform GoPay ataupun Kitabisa.com melaporkan kenaikan. Media sosial bahkan dipakai untuk menggalang transaksi filantropi,” ujarnya.
Ketua Umum Forum Zakat Bambang Suherman membenarkan fenomena itu. Selama pandemi Covid-19, aktivitas masyarakat bertransaksi jual beli barang dan jasa secara daring atau e-dagang, menonton film menggunakan platform pemutar konten beraliran langsung (streaming), dan rapat daring naik. Aktivitas masyarakat untuk berdonasi secara daring juga ikut meningkat.
Dompet Dhuafa, lembaga amil zakat nasional, misalnya, menyebut porsi berdonasi melalui platform digital sekarang telah mencapai 87 persen. Hanya 13 persen sisanya berupa donasi manual yang berasal dari donatur loyal.
”Dulu, penyaluran dana terwakilkan oleh lembaga filantropi sehingga donatur tidak tahu siapa sasaran penerima. Namun, kini, obyek penerima terpapar, bahkan kisah sedih mereka cenderung dinarasikan secara berlebihan,” katanya.
Filantropi Indonesia, perkumpulan organisasi dan individu pegiat filantropi, sudah membuat kode etik filantropi. Keberadaannya bertujuan meningkatkan mutu lembaga pengumpul dan penyalur donasi.
Menurut Tomy, kode etik filantropi melengkapi sejumlah peraturan terkait donasi dan bantuan sosial. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial.
Bambang berpendapat, lembaga filantropi wajib menyediakan layanan kontak untuk memudahkan warga mengadu dan memberikan umpan balik. Lembaga juga bisa memanfaatkan layanan kontak untuk klarifikasi gugatan dan menjaga akuntabilitas.
Internasional
Dewan Pengawas Humanitarian Forum Indonesia Heny Widiastuti menyampaikan, beberapa organisasi filantropi internasional memiliki kode etik, misalnya Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Sementara itu, Masyarakat Penanggulangan Bencana mempunyai pedoman Proyek Sphere: Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Kemanusiaan. Pedoman itu memuat falsafah dan standar publikasi perekaman gambar korban.
”Narasi dan penggambaran korban mesti menghindari materi yang melebih-lebihkan dan sensitif,” ucapnya.
Humanitarian Forum Indonesia dan Pirac memiliki pedoman akuntabilitas yang terdiri atas 13 prinsip, antara lain independensi, nondiskriminasi, dan partisipasi. Pedoman itu juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat.