Menanti Payung Hukum Perlindungan Buruh Migran dan Anak-anaknya di Jawa Timur
Jawa Timur perlu segera menetapkan peraturan tentang perlindungan pekerja migran dan keluarganya untuk penanganan masalah sosial, terutama bagi anak-anak yang ditinggalkan orangtua karena merantau ke mancanegara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
Jawa Timur perlu segera menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya. Sebab, Jawa Timur merupakan provinsi dengan warga terbanyak yang menjadi buruh di mancanegara. Kepergian ke luar negeri, terutama bagi pekerja yang berkeluarga, meninggalkan permasalahan kompleks dalam pengasuhan anak-anak.
Di sisi lain, rencana regulasi itu juga masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2021. Eksekutif dan legislatif Jatim menargetkan menetapkan 21 raperda menjadi perda sepanjang tahun ini. Salah satu yang ditunggu adalah perda perlindungan pekerja migran Indonesia dan keluarganya.
Empat tahun terakhir, Jatim adalah ”pengekspor” buruh migran mancanegara terbanyak se-Indonesia, berdasarkan data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pada 2017, sebanyak 64.084 warga Jatim merantau ke luar negeri. Tahun berikutnya, ada 70.381 orang. Selanjutnya, 68.740 orang. Tahun lalu, yang pergi menurun drastis karena pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) menjadi 37.331 orang.
Akumulasi empat tahun sebanyak 240.536 orang. Menurut catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim, yang kembali sepanjang tahun lalu sebanyak 989 orang. Jika separuh buruh migran berkeluarga, setidaknya ada 120.000 jiwa anak di Jatim yang tidak dalam pengasuhan orangtua. Anak-anak itu rentan, bahkan menjadi korban, kejahatan dan diskriminasi sosial. Tumbuh kembang mereka terganggu dan masa depan terancam suram.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jatim tidak pernah berhenti menerima laporan atau pengaduan dari anak-anak buruh migran yang menjadi korban. Diskriminasi sosial menjadi beban hidup karena stigma disebut anak ATM (anjungan tunai mandiri), anak oleh-oleh, anak unta, bahkan anak haram, dan ”dimaklumi” ketika berperilaku nakal, genit, atau menyimpang. Ada juga yang menjadi korban kejahatan seksual orangtua (ayah atau ibu), kerabat (paman, bibi, kakek, nenek, saudara), bahkan dilacurkan.
Status sosial yang terkadang tidak jelas siapa ayahanda atau ibunda anak-anak itu berisiko membuat mereka sulit untuk mengurus dokumen kewarganegaraan. Setidaknya, kerabat akan memanipulasi data sehingga anak-anak buruh migran itu mendapat dokumen. Misalnya, anak-anak yang dititipkan orangtua kepada kerabat akan diakui sebagai anak biologis kerabat tersebut demi dokumen kewarganegaraan.
Kepergian buruh migran ke mancanegara menempatkan anak-anak mereka dalam risiko penelantaran berlipat.
”Kepergian buruh migran ke mancanegara menempatkan anak-anak mereka dalam risiko penelantaran berlipat,” kata Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jatim Anwar Sholihin, Jumat (5/3/2021). Penelantaran berlipat yang dimaksud ialah kerentanan anak-anak menjadi korban kejahatan, diskriminasi sosial, dan kesulitan mendapat akses layanan publik.
Provinsi Jatim sebenarnya sudah memiliki regulasi terkait pekerja migran bahkan telah direvisi. Regulasi dimaksud ialah Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 yang kemudian direvisi menjadi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Namun, regulasi ini perlu diperbaiki kembali karena perubahan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Dalam UU, ada sejumlah perubahan fundamental sehingga menuntut perubahan serupa untuk peraturan daerah. Telah disebutkan, pemerintah dan DPRD Jatim berencana membahas dan menetapkan raperda PPMI dan keluarganya pada tahun ini. Masuknya raperda dalam Prolegda 2021 merupakan semangat pemberlakuan UU PPMI dan respons positif dari Jatim.
”Raperda terkait pekerja migran memang masuk dalam prolegda dan semoga bisa ditetapkan tahun ini,” kata Ketua DPRD Jatim Kusnadi.
Dalam kesempatan terpisah, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pernah mengatakan, perlindungan buruh migran tetap menjadi perhatian penting karena memiliki spektrum persoalan sosial yang kompleks. Yang dimaksud ialah memastikan anak-anak yang ditinggalkan mendapat pengasuhan, pengawasan, dan penanganan terbaik.
Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung Winny Isnaini mengatakan, dalam konteks regulasi, sejumlah kabupaten yang menjadi kantong buruh migran menjawab tantangan perlindungan dengan penerbitan aturan. Telah terbit Peraturan Daerah Tulungagung No 23/2017 tentang Sistem Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Sebelumnya, ada Peraturan Bupati Tulungagung No 42/2015 tentang Standar Operasional Prosedur Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Sosial Anak Interaktif Kabupaten Tulungagung.
Selain itu, juga telah terbit Peraturan Bupati Tulungagung tentang Pedoman Umum dan Penetapan Rincian Alokasi Dana Desa Setiap Desa di Kabupaten Tulungagung yang diperbarui setiap tahun. Aturan ini mendorong sejumlah desa mengalokasi dana khusus untuk perlindungan anak termasuk anak-anak buruh migran dalam bentuk unit-unit layanan. Misalnya di Desa Kesambi diadakan pusat belajar di tiga lokasi. Di Desa Kendal Dulur ada festival rutin dolanan anak.
”Setiap desa punya kreativitas sendiri-sendiri untuk menjawab persoalan anak-anak buruh migran,” kata Winny.
Anwar Sholihin menambahkan, di Kabupaten Malang telah terbit Peraturan Daerah No 7/2019 tentang PPMI dan Keluarganya. Regulasi ini menjadi pendorong untuk kelahiran perda Jatim. ”Jika perda Jatim sudah terbit bisa menjadi pegangan kabupaten/kota lainnya untuk memastikan berjalannya perlindungan anak-anak buruh migran,” ujarnya.
Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin yang dihubungi terpisah mengatakan, payung hukum untuk perlindungan buruh migran dan keluarga telah terbit melalui Perda No 10/2019 tentang Kesejahteraan Sosial. Selain itu, sebelumnya telah diterbitkan Perbup Trenggalek No 19/2017 tentang Penjabaran Tugas Dinas Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, dan Perlindungan Anak.
Arifin mengatakan, salah satu akar persoalan keberadaan buruh migran karena sulitnya daerah menghadirkan pekerjaan dengan upah yang layak dan berkecukupan. Bekerja di luar negeri menjadi pilihan karena harapan mendapat upah berkecukupan meski harus meninggalkan keluarga dan menanggung risiko berbahaya.
Menurut catatan Bank Indonesia, pengiriman uang dari luar negeri atau remitansi ke Jatim pada 2020 mencapai Rp 6,58 triliun melalui 1,071 juta transaksi. Nilai itu turun akibat pandemi Covid-19 dibandingkan dengan 2019 yang Rp 6,74 triliun melalui 1,035 transaksi.
”Tantangan bagi kepala daerah, terutama di kantong-kantong buruh migran, salah satunya menghadirkan lapangan pekerjaan yang layak dan berkecukupan sehingga menekan potensi kepergian warganya untuk merantau,” kata Arifin.
Masalahnya, Trenggalek bukan daerah yang menarik di Jatim sebagai lokasi pekerjaan. Upah minimum di Trenggalek merupakan yang terendah se-Jatim yakni Rp 1,938 juta.
Situasi serupa dialami oleh Ponorogo, Magetan, Situbondo, Pamekasan, dan Sampang. Upah minimum tertinggi ada di Surabaya, ibu kota Jatim, senilai Rp 4,3 juta yang diikuti oleh Gresik dengan Rp 4,297 juta dan Sidoarjo Rp 4,293 juta.
Karena itu, kawasan Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) menjadi sasaran alternatif bagi buruh migran untuk mencari pekerjaan sehingga tidak perlu ke luar negeri. Namun, risikonya serupa, yakni meninggalkan keluarga, terutama anak-anak.