Kisah Sedih Masih Terulang, Kabar Baik Seharusnya Jadi Panutan
Perhatian terhadap masa depan anak pekerja migran Indonesia mendesak dilakukan. Kisah sedih masih saja muncul. Cerita sukses sebaiknya menjadi jalan membuka kelam kisah ketenagakerjaan negeri ini.
Nasib anak-anak pekerja migran Indonesia kerap terlewatkan. Rentan kehilangan kasih sayang hanya akan memberi ruang kepada terus munculnya putaran nasib yang selalu pilu. Ada yang berhasil mengubah nasib. Namun, tidak sedikit yang terjebak di kehidupan yang sama.
Sambil tersenyum, RS menyeka air mata di wajah keriput neneknya. Anak perempuan berusia enam tahun itu meminta sang nenek tidak lagi membicarakan ayahnya.
Siang itu, Selasa (2/3/2021), tangan kecil perempuan tersebut langsung menutup mulut neneknya ketika menyebut nama ayahnya, MS (32). T (50), si nenek, menampik jika dirinya sedang bercerita tentang anaknya.
”Bohong, kan, dosa,” balas RS disambut senyum dan dekapan tubuh kurus neneknya.
Sebulan terakhir, pembahasan soal MS kerap berujung pilu bagi T. Anak keempat T itu ditahan aparat Polres Kota Cirebon. Dia diduga terlibat kasus pemerkosaan di Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, 5 Februari 2021.
Pekerja serabutan itu ditangkap bersama tiga tersangka lain yang masih satu kecamatan. Mereka mabuk minuman keras oplosan dan mencabuli remaja perempuan, MD (15). MD meninggal. Seorang tersangka lain berinisial AJ (24) lantas meninggal akibat miras setelah kejadian tersebut.
RS sama sekali tidak tahu kenyataan itu. Ia mengira ayahnya belum pulang karena kerja ke luar kota. Sejak bayi, RS memang lebih dekat dengan neneknya dibandingkan dengan orangtuanya. MS dan ibu kandung RS berpisah saat usianya dua tahun.
Ayahnya lalu menikah lagi. Namun, ibu tiri RS langsung berangkat ke Singapura sebagai pekerja rumah tangga karena impitan ekonomi. Lagi-lagi, ia gagal menikmati belaian ibu. Hanya nenek yang mengantar dan menjemputnya ke taman kanak-kanak.
Kebutuhan harian RS, termasuk susu dan biaya sekolah Rp 30.000 per bulan, ditanggung neneknya. Memang, MS punya penghasilan sebagai kuli angkut dedak sekitar Rp 100.000-Rp 150.000 sehari semalam. Namun, semenjak pandemi Covid-19, ia lebih sering menganggur.
Kadang, kakak MS, yang juga menjadi pembantu di Singapura, mengiriminya uang. Begitupun dengan kakaknya di Medan, Sumatera Utara. ”Istri anak saya jarang ngirim uang. Sudah satu tahun dia enggak pulang ke Indonesia. RS biasa nanyain ibunya. Saya bilang, lagi kerja,” lanjut T.
Kondisi ekonomi kian sulit karena MS ditahan. ”Dia nanyain, RS waras (sehat) enggak? Saya bilang enggak usah mikirin RS, ada saya. Dia juga bilang, saya enggak usah pusing mikirin dia. Padahal, saya ingat terus. Dia minta rokok, kopi...,” T tak kuasa melanjutkan ucapannya. Matanya berair.
Meskipun serba sulit, T berjanji bekerja keras agar cucunya tetap bersekolah. Ia tidak ingin RS seperti dirinya yang menghabiskan masa kecilnya sebagai buruh cuci di rumah orang, bukan di kelas. Ibu T meninggal sejak ia bayi, sedangkan bapaknya menikah lagi dan pergi meninggalkannya.
T juga tidak mau cucunya mengikuti jejak keempat anaknya yang hanya sekolah sampai tingkat menengah pertama. ”Jangan kayak saya. Ora (tidak) sekolah. Sekolahnya di sawah aja, macul (mencangkul),” katanya.
Mendengar itu, RS bersemangat memperlihatkan lembar tugasnya yang tertempel di dinding. Kertas berisi gambar seorang perempuan dengan papan tulis dan bola dunia itu bertuliskan ”Aku Ingin Menjadi Guru”. ”Saya mau jadi guru SD,” ucapnya.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran Masih Terabaikan
Anak berubah
Ismail (35) juga ingin anaknya menempuh pendidikan tinggi, tidak seperti dirinya yang lulusan SMP. Warga Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jabar, ini akhirnya menjadi buruh pabrik benang di Taiwan selama lima tahun. Istrinya juga mengadu nasib sebagai pekerja rumah tangga di sana.
Mereka meninggalkan kedua anaknya yang saat itu masih berusia 6 tahun dan 1 tahun. Peran orangtua digantikan sang nenek. Ismail dan istrinya bertugas mengirim uang bulanan. Soal komunikasi, ada telepon video. Untuk tumbuh kembang anak, nenek yang paling paham.
Ismail akhirnya pulang setelah pabriknya bangkrut akibat pandemi pada Mei 2020. Gaji sekitar Rp 8 juta per bulan lenyap. Hasil keringatnya di negeri orang itu sudah menjadi tembok dan keramik rumah di kampung. Ia kini menganggur dan hidup dari uang istrinya yang masih di Taiwan.
”Waktu pulang, anak pertama saya sudah berubah. Dulu, kalau ke mana-mana dia pasti ingin ikut. Sekarang, katanya malu. Dia di kamar main HP (gawai) aja. Enggak mau ketemu orang baru,” ungkap Ismail.
Anak pertamanya berumur 11 tahun kini duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan yang kedua masih di taman kanak-kanak. ”Anak-anak senang saya pulang, tetapi saya masih mikir-mikir ke luar negeri. Di sini enggak ada kerjaan. Istri mungkin masih dua tahun di sana,” lanjutnya.
Banyak anak PMI yang tidak merasakan langsung kasih sayang orangtuanya. Berdasarkan data Badan Perlindungan PMI, Cirebon dan Indramayu termasuk kantong PMI. Di Indramayu pada 2020 tercatat 10.060 PMI ditempatkan di luar negeri, sedangkan PMI asal Cirebon sebanyak 4.948 orang.
Euis Suhartati, Ketua Yayasan Banati, organisasi yang fokus terhadap perempuan, anak, dan pekerja migran, mengatakan, anak pekerja migran tetap membutuhkan perhatian orangtuanya. Pengasuhan dari nenek tidak cukup.
”Banyak kasus, istri ke luar negeri terus suami di rumah menikmati uang kirimannya. Ada yang judi atau menikah lagi. Anak tidak diurus. Bahkan, jadi korban kekerasan seksual,” ungkapnya. Padahal, anak-anak punya hak bermain hingga mendapatkan makanan bergizi.
Ia menyarankan PMI paham manajemen keuangan, termasuk tidak memberikan seluruh gajinya kepada suami. ”Jika ada anak PMI telantar, negara harus mengurusnya. Mereka ini, kan, generasi harapan bangsa,” ucapnya.
Ubah jalan hidup
Kesempatan bisa menjadi siapa saja juga dimiliki oleh anak PMI. Meski dibesarkan dalam keterbatasan, sosok Muslih (22), warga Desa Sukamulya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, bisa menjadi contoh.
Sejak berumur enam bulan, Muslih (22) sudah ditinggal ibunya yang bekerja ke Arab Saudi. Dia bahkan hampir tidak mengenali lagi wajah Tinah (40), ibunya, seperti apa yang hanya pulang tiga tahun sekali. Selama itu, dia tumbuh dari cinta dan nilai-nilai yang diajarkan neneknya, Ratmi (90).
Kalau merindukan Tinah, Muslih selalu berpikir bahwa ibunya bekerja jauh demi memenuhi kebutuhannya. Meski begitu, dia tak merasa kekurangan kasih sayang. Cinta dari neneknya menjadi kekuatan tersendiri untuk berkembang. ”Nenek adalah pahlawan bagi saya. Beliau yang membesarkan dan mendidik saya hingga saat ini,” kata Muslih saat dihubungi, Rabu (3/3/2021).
Di lingkungan tempat tinggalnya, tidak sedikit anak-anak yang tidak mendapatkan pengasuhan baik dan telantar pendidikannya karena ditinggal orangtua yang menjadi pekerja migran. Dia bersyukur Ratmi merawatnya seperti anak sendiri meski kedua orangtuanya sudah berpisah.
Ratmi tidak pernah berhenti memberikan semangat Muslih agar belajar giat meski kondisi ekonomi keluarganya kurang. Muslih tidak ingin menyiakan perjuangan itu. Dia lantas berupaya mencari tambahan uang saku dengan bekerja serabutan ketika libur sekolah. Salah satunya bekerja di toko alat bangunan dan membantu panen padi di sawah.
”Dulu, sebelum berangkat ke SMA, saya minta uang saku ke nenek, tetapi beliau tidak punya uang. Saya tetap berangkat sambil lari pagi karena motornya tidak ada bensin, he-he-he,” ujarnya.
Muslih juga cemerlang dalam olahraga bola voli. Ia menekuninya sejak kelas IV SD. Hingga SMA, ia tak pernah absen mengikuti kejuaraan bola voli. Dulunya, ia tergabung dalam tim voli putra di SMA N 1 Cilamaya dan pernah mendapatkan juara pertama lomba bola voli tingkat Kabupaten Karawang tahun 2016.
Selepas lulus SMA tahun 2017, tidak terpikir olehnya untuk melanjutkan kuliah. Ia menyadari betul kuliah membutuhkan biaya yang banyak dan ia tak memiliki uang sebanyak itu. Salah satu gurunya pernah menawarkan dia untuk tes masuk perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Namun, dia menolak karena ingin segera bekerja demi membantu perekonomian keluarga.
Selepas lulus SMA, dia coba mencari pekerjaan, tetapi tak satupun yang berjodoh. Di tengah kegelisahan itu, tiba-tiba ada temannya yang memberikan informasi program kuliah di Taiwan. Dia pun tertarik dengan jurusan yang ditawarkan, yakni desain pemasaran (marketing design).
Rangkaian tes yang dilaluinya membuahkan hasil. Tahun 2018, dia berangkat studi ke Tungfang Design University, Taiwan. Awal keberangkatan Muslih sempat bingung karena biaya akomodasi yang dibutuhkan cukup besar, yaitu sekitar Rp 15 juta. Beruntung ada seorang baik hati yang mau membantunya dengan memberikan pinjaman.
Di Taiwan, Muslih tetap cemerlang. Muslih bahkan mendirikan organisasi bola voli bernama Tungfang Volleyball Club dengan sejumlah temannya. Dia juga jadi kapten tim. Selama tiga tahun, tim ini menduduki peringkat pertama dalam kejuaraan antarmahasiswa di Taiwan.
Selain kuliah dan aktif di organisasi voli, sore harinya dia bekerja paruh waktu. Dia magang di sebuah perusahaan elektronik sebagai operator produksi. Hasilnya digunakan untuk membayar kuliah dan sesekali dia mengirim uang tersebut untuk keluarga di rumah.
Neneknya selalu mengingatkan dia agar selalu rendah hati. ”Kalau suatu saat nanti sukses, jangan pernah melupakan orang di sekitar kamu,” kata Muslih menirukan ucapan neneknya.
Saat ini, dia duduk di semester tujuh dan masih di Taiwan. Setelah lulus, dia ingin berkarir di bidang pemasaran dan menjadi sosok yang bermanfaat untuk keluarga. ”Saya hanya ingin menjadi orang yang berilmu agar kelak berguna bagi keluarga dan orang sekitar,” katanya.
Menurut Sekretaris Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Karawang Karyono, anak pekerja migran yang ditinggal bekerja oleh salah satu orangtuanya menghadapi tantangan yang tak mudah.
Mulai dari pengasuhan kurang baik, terlibat pergaulan bebas, hingga putus sekolah. Persoalan setiap anak berbeda sesuai dengan kondisi keluarganya masing-masing.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran di Tepi Jurang Kemiskinan
Selain mendampingi kasus warga pekerja migran, SBMI Karawang juga mempunyai program pemberdayaan yang dilakukan di Kecamatan Cilamaya Kulon (Desa Sukamulya dan Desa Sukajaya) dan Cilamaya Wetan (Desa Cikarang). Kegiatan pemberdayaan ekonomi berbasis koperasi ini diberikan kepada keluarga pekerja migran dan purnapekerja migran.
Kisah manis pahit anak PMI sebaiknya menjadi cermin bagi pengelolaan tenaga kerja di Indonesia. Tidak mudah mengubah garis hidup jadi cemerlang. Perhatian pemerintah sekali lagi sangat dibutuhkan.