Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelengaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Jabar ditetapkan 10 Februari lalu. Namun, hingga kini, peraturan gubernur belum juga dikeluarkan.
Oleh
tatang mulyana sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Nestapa tidak hanya dialami sejumlah pekerja migran saat mengadu nasib di negeri orang. Anak-anak yang ditinggalkan di tanah air juga rentan sengsara. Hak pengasuhan, kesehatan, dan pendidikan sering luput dari perhatian. Minimnya perlindungan membuat mereka semakin dekat ke tepi jurang kemiskinan.
Proteksi oleh pemerintah daerah asal pekerja migran sangat penting dalam melindungi anak-anak mereka. Di Jawa Barat, proteksi itu berusaha diwujudkan melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelengaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Jabar. Namun, meskipun sudah ditetapkan 10 Februari lalu, peraturan gubernur (pergub) mengenai hal ini belum juga dikeluarkan.
”Kami berharap pergub segera diterbitkan agar pengaturan operatornya bisa segera ditata,” ujar anggota Komisi IV DPRD Jabar yang juga Ketua Panitia Khusus Rancangan Perda Penyelengaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Jabar, Hasbullah Rahmat, saat dihubungi dari Bandung, Sabtu (6/3/2021).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil berjanji akan segera menindaklanjuti Perda Penyelengaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Jabar tersebut ke dalam peraturan gubernur. Pergub diperlukan untuk mengatur ketentuan teknis dalam penerapan perda itu. ”Agar tidak ada jeda terlalu lama dalam menjembatani perda ke dalam hal teknis yang dibutuhkan,” ujarnya.
Hasbullah mengatakan, perda itu tidak hanya mengatur pelindungan terhadap pekerja migran, tetapi juga anggota keluarga termasuk anaknya. Sebab, tak jarang anak dititipkan ke anggota keluarga lain saat orangtuanya bekerja ke luar negeri. Akibatnya, mereka mendapat pengasuhan kurang baik.
”Banyak anak pekerja migran ditelantarkan. Terkadang membantu keluarganya bekerja. Akibatnya, sekolah bukan kebutuhan utama lagi. Mereka rentan menjadi pengangguran dan melahirkan kemiskinan baru,” ujarnya.
Dalam Pasal 15 Perda Nomor 2 Tahun 2021 itu disebutkan, pelindungan kepada keluarga pekerja migran Indonesia (PMI) meliputi pembinaan psikologis, kerohanian, dan pendidikan. Pelaksanaan kebijakan ini dilakukan perangkat daerah berbagai bidang, antara lain tenaga kerja, kesehatan, sosial, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta keagamaan.
Tak sedikit anak PMI putus sekolah. Perlu ada jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka.(Hasbullah Rahmat)
Pada Pasal 16 dijelaskan, pelindungan tersebut dilakukan dalam bentuk konseling, pengisian rohani, sosialisasi, bimbingan, dan fasilitas pengasuhan anak dalam rumah belajar. ”Tak sedikit anak PMI putus sekolah. Perlu ada jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka,” ujarnya.
Menurut Hasbullah, perda ini mesti dibentuk di tingkat kabupaten/kota yang menjadi kantong pekerja migran. Sebab, kewenangan pengelolaan pendidikan tingkat SD dan SMP berada di pemerintah kabupaten/kota, sementara tingkat SMA/SMK pada pemerintah provinsi.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, penempatan PMI di Jabar pada 2019 berjumlah 57.957 orang. Jumlah itu tertinggi ketiga dari 34 provinsi setelah Jawa Timur (68.740 orang) dan Jawa Tengah (60.432 orang).
Penempatan PMI di Jabar pada 2019 paling banyak berada di Kabupaten Indramayu yang berjumlah 23.360 orang. Selanjutnya diikuti Kabupaten Cirebon (12.188 orang), Subang (6.694 orang), Karawang (3.749 orang), Majalengka (3.393 orang), Sukabumi (1.799 orang), dan Cianjur (1.407 orang).
Hasbullah mengatakan, pendataan lebih detail perlu dilakukan hingga tingkat kabupaten/kota. Tujuannya, mempermudah proteksi anak-anak PMI dalam mendapatkan hak-haknya.
Dalam pemenuhan hak pendidikan, misalnya, diperlukan data jenjang sekolah anak-anak PMI. Dengan demikian, pemda memonitor dan membantu aktivitas mereka di sekolah sehingga dapat mendampinginya hingga lulus.