Letihnya Masyarakat Menghadapi Korona
Simpang siur informasi, paradoks kebijakan, istilah yang berganti-ganti dan tak membumi membuat masyarakat letih menghadapi korona. Penanganan pandemi yang top-down justru mengabaikan potensi dan keberdayaan masyarakat.
"Satu tambah satu sama dengan dua
Ora wani metu merga korona (tidak berani keluar rumah karena korona)
Tuku dawet ning ngisor uwit (beli dawet di bawah pohon)
Sirahku mumet ora duwe duwit (kepalaku pusing tidak punya uang)"
(Sholawat Korona, 2020)
Bait awal lagu Shalawat Korona yang beredar di sejumah media sosial sejak pertengahan 2020 itu sepertinya menggambarkan betapa letihnya masyarakat menghadapi pandemi korona. Ancaman penyakit korona mungkin tak terlalu tertanam di memori mereka, tetapi korona telah merenggut kehidupan ekonomi dan sosial mereka.
Hingga setahun pandemi korona berlangsug di Indonesia, simpang siur informasi masih berlangsung. Beda sikap di antara pemerintah, atau sesama ilmuwan dan tenaga kesehatan baik terkait asal virus Covid-19 atau vaksin, hingga berubah-ubahnya kebijakan pemerintah makin membuat masyarakat bingung.
Psikolog sosial dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia, Jakarta, Idhamsyah Eka Putra pada Selo Soemardjan Memorial Dicussion dalam rangka Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ke-53, Kamis (25/2/2021) menilai rentetan peristiwa selama pandemi Covid-19 yang memicu keletihan sosial bersumber dari disepelekannya ancaman virus ini sejak mula.
Saat sejumlah negara mulai menutup negaranya dari pendatang asing, melakukan tes dengan masif, pemerintah Indonesia justru dengan yakinnya mengatakan bahwa Indonesia aman dari ancaman korona karena doa, suhu tropis yang panas, hingga daya tahan tubuh orang Indonesia yang dianggap lebih baik.
Keletihan sosial itu ditandai dengan menurun atau hilangnya rasa takut dan kepedulian pada keselamatan diri maupun orang lain.
Saat akhirnya Covid-19 benar-benar terdeteksi, kepanikan dan kegagapan pun dialami semua pihak, bukan hanya masyarakat tetapi juga pemerintah. Sejumlah hal dilakukan meski seringkali efektivitasnya kurang terukur, seperti mendesinfeksi jalanan dan pepohonan.
Di tengah situasi itu, informasi yang disampaikan pemerintah masih setengah-setengah. Akibatnya, informasi di media sosial baik yang benar, tidak tepat, bahkan keliru, justru lebih banyak membombardir masyarakat hingga membuat bingung.
Dalam waktu singkat, pemerintah berusaha mengendalikan korona dengan mengenalkan berbagai istilah baru yang sulit dicerna masyarakat. Ada korona, Covid-19, SARS-CoV-2, ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan) hingga kemudian diubah jadi suspek, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Ada pula rapid test, swab antigen, swab PCR (polymerase chain reaction) yang membuat pusing masyarakat.
Terkait pembatasan sosial, kata-kata yang digunakan untuk membatasi mobilitas warga tak kalah ruwet. Ada lockdown, karantina wilayah, pembatasan sosial, social distancing, physical distancing, masker medis, masker kain, masker K95, PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), bahkan PPKM mikro.
Kini saat vaksinasi mulai dilakukan, tantangannya pun tak mudah. Survei Kementerian Kesehatan dan sejumlah lembaga yang diumumkan November 2020 menunjukkan, 64,8 persen penduduk menerima vaksin dan sisanya tidak tahu atau menolak. Padahal agar vaksinasi mampu membentuk kekebalan komunitas, setidaknya 67 persen penduduk harus divaksin.
"Hingga Oktober 2020 saat Perang Akar Rumput Covid-19 (PARC-19) turun ke masyarakat, masih ada orang yang bertanya, apakah Covid-19 benar-benar ada," kata salah satu inisiator PARC-19 yang juga Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia DKI Jakarta dan dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Baequni Boerman.
Paradoks
Di luar bias informasi, masyarakat juga dibingungkan dengan berbagai paradoks yang terjadi. Saat kegiatan di rumah ibadah dilarang pada masa awal pandemi, pasar atau supermarket boleh buka. Ketika sejumlah tempat wisata dibuka, sekolah justru ditutup. Saat aktivitas perdagangan malam dibatasi demi mencegah kerumunan, lantas apa bedanya dengan kegiatan ekonomi di siang hari?
Baca juga: Mengatur Siasat untuk Menghindari Rasa Penat
"Saat lockdown (karantina wilayah) penuh atau sebagian diberlakukan dan aturan protokol kesehatan ditegakkan dengan pemberian sanksi, nyatanya kumpul-kumpul dan tidak mematuhi protokol kesehatan tetap menjadi hal yang lumrah. Sebagian orang serius menjalankan, tetapi banyak juga yang abai," kata Idhamsyah.
Di sisi lain, sebagai virus dan penyakit baru, informasi yang bisa disampaikan ilmuwan dan tenaga kesehatan menganai Covid-19 tentu terbatas sesuai perkembangan riset yang ada. Temuan antara satu riset dengan riset lain pun bisa saja berbeda. Meski perbedaan ini sangat wajar dalam dunia sains, masyarakat tidak memahami itu.
Situasi makin runyam karena, "Kecerdasan komunitas masyarakat belum kuat dan landasan ilmiah belum dijadikan acuan masyarakat," ujarnya.
Belum lagi, pandangan buruk sebagian masyarakat terhadap tenaga kesehatan sebagai agen perusahaan farmasi atau tudingan sengaja meng-Covid-19-kan pasien demi tunjangan keuangan juga masih ada. Kondisi itu makin rumit karena ilmuwan serta tenaga medis dan kesehatan di Indonesia sering berbeda sikap dalam menyikapi korona.
Dalam ketidakpastian itu, masyarakat Indonesia yang religius justru menggantungkan informasi korona pada tokoh agama yang umumnya tidak memiliki pemahaman komprehensif tentang penyakit Covid-19 maupun virus SARS-CoV-2. Akibatnya, sebagian tokoh agama justru menyepelekan korona di awal pandemi.
Tak jarang, pandangan sepihak tanpa dasar tentang korona itu digunakan sebagai alat untuk menyerang kelompok lain sebagai sisa keterbelahan masyarakat pasca-Pemilu 2019. Alhasil, sejumlah tokoh agama yang banyak diikuti umatnya justru terjebak dalam wacana konspirasi.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Masih Panjang, Antisipasi Potensi Masalah Psikologis
"Kepercayaan pada teori konspirasi itu berbahaya karena bisa menstimulus kebencian lebih tinggi hingga membuat pikiran sulit terbuka dan lebih banyak menyimpan emosi negatif," tambah Idhamsyah.
Bias informasi yang diterima masyarakat itu terjadi karena pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini masih bersifat top down atau dari atas ke bawah. Informasi yang disampaikan pemerintah tidak mampu mengimbangi deresnya informasi di mesia sosial yang belum tentu kebenarannya.
"Banyaknya informasi yang diterima masyarakat, namun mereka sulit menentukan informasi mana yang benar, bisa dipegang dan dipercaya. Akibatnya, masyarakat bingung dan memicu keletihan individu," katanya.
Guru Besar Sosiologi FISIP UI Paulus Wirutomo menilai keletihan sosial itu ditandai dengan menurun atau hilangnya rasa takut dan kepedulian pada keselamatan diri maupun orang lain. Keletihan itu muncul karena lemahnya daya tahan sosial masyarakat.
"Masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman, bahkan kesadaran individu dan kolektif sampai tingkat akar rumput, untuk mampu bertahan bersama," katanya. Kondisi itu terbentuk karena pemerintah sejak awal pandemi hanya mengandalkan birokrasi atau top down untuk mengelola persoalan ini.
Komunitas
Keletihan individu itu bila tidak segera ditangani bisa memicu keletihan sosial yang bisa berdampak besar bagi stabillitas dan ketahanan bangsa. Untuk menghindari keletihan sosial itu, Idhamsyah menyarankan masyarakat menghindari informasi dari manapun yang kebenarannya belum bisa dipercaya atau melakukan verifikasi terlebih dulu.
"Jika bingung dan merasa tenaga medis tidak bisa dipercaya, cari orang terdekat yang memahami persoalan tersebut," tambahnya.
Jika Anda yakin dengan keberadaan korona, hindari mendebat langsung orang yang tidak percaya korona karena akan menambah letih. Membangun kelompok solidaritas dan meningkatkan empati terhadap penyintas atau mereka yang ada di garis depan perang melawan Covid-19 juga bisa dilakukan. Selain itu, fokuskan pandangan bahwa manfaat dari melaksanakan protokol kesehatan bukan hanya untuk diri tapi juga orang lain.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Kelelahan
Baequni menilai pola komunikasi, penyebaran informasi dan edukasi masyarakat terkait Covid-19 tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan
top down, tetapi harus dipadukan dengan pemberdayaan masyarakat akar rumput atau bottom up. "Kunci perang melawan Covid-19 adalah dengan memobilisasi masyarakat," katanya.
Upaya membangun kesadaran masyarakat melawan korona itu tidak bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan saja. Ahli dan ilmuwan sosial perlu dilibatkan untuk membantu memberdayakan masyarakat di tingkat bawah melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tanpa pemberdayaan masyarakat yang baik dan terintegrasi, maka program pemerintah untuk mengendalikan dan menuntaskan Covid-19 akan sulit berhasil.
Paulus sepakat bahwa penyebaran informasi tentang korona perlu disebarluaskan ke masyarakat berbasis komunitas secara jelas dan konsisten. Karena itu, pola pembatasan sosial berbasis komunitas melalui PPKM yang sudah dijalankan beberapa bulan terakhir perlu diperkuat.
"Desa, rukun tetangga, rukun warga adalah sumber modal sosial (untuk mengatasi pancemi Covid-19). Namun, pemberdayaan modal sosial itu butuh kemauan politik dari pemerintah untuk memberdayakannya," katanya.
Dalam komunitas, aspirasi dan kepentingan masyarakat bisa lebih mudah didengar dan diperhatikan. Di sisi lain, individu dalam komunitas juga bisa langsung terlibat dan berpartisipasi nyata dalam setiap upaya mengendalikan korona karena komitmen mereka terhadap lingkungannya jauh lebih besar dibanding pendamping yang berasal dari luar komunitas.
Pelayanan dalam lingkup komunitas pun menjadi lebih murah dan mudah. Mereka bahkan bisa melihat potensi yang bisa dikembangkan dari setiap anggota komunitas, tidak hanya melihat kelemahannya saja. Selain itu, lingkup komunitas yang kecil membuat pelaksanaan protokol kesehatan pun lebih mudah diawasi dan kontrol sosial lebih mudah dijalankan.
Baca juga: Warga Lelah Menjalani Masa Pembatasan Berkepanjangan