Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan praktik kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok bagi perempuan, ketika pembatasan sosial terjadi. Akses untuk melapor pun sangat terbatas.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 yang diluncurkan, Jumat (6/3/2020) di Jakarta,
JAKARTA, KOMPAS—Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020 lalu, tidak menyurutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual dalam berbagai modus. Selama pandemi kekerasan di ranah personal atau rumah tangga menjadi ancaman terbesar bagi perempuan.
Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020, menemukan perempuan dengan kerentanan berlapis terutama disabilitas saat pandemi menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi, terutama kekerasan seksual.
“ Kami menggarisbawahi betapa kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang offline maupun siber. Begitu juga dengan angka perkawinan anak yang menempatkan perempuan menjadi lebih rentan kekerasan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani pada Peluncuran Catahu Komnas Perempuan yang bertajuk “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19” secara daring, di Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang offline maupun siber.
Dari Catahu Komnas Perempuan 2020, terlihat betapa perempuan Indonesia berjuang di dalam himpitan pandemi. Covid-19 hanyalah salah satu dari persoalan yang memperparah ketimpangan yang telah ada, dan menjadi semakin nyata serta membesar.
Persoalan itu hadir sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan diskriminatif terkait pembangunan, tata kelola ruang, dan keberagaman di masyarakat. Meski ada sejumlah kemajuan di tingkat perangkat hukum dan institusi, daya penanganan berjalan pelan dibandingkan meningkatnya intensitas intimidasi dan kriminalisasi perempuan pembela hak asasi manusia.
“ Himpitan pandemi tidak akan segera terurai. Karenanya semua pihak perlu terus mengupayakan agar daya bangkit atau resiliensi terus bertumbuh. Daya ini hadir dari perempuan dan kelompok lainnya di masyarakat serta para pembuat terobosan di pemerintahan dan institusi penegak hukum dalam menyikapi situasi kekerasan dan keterbatasan penanganan,” kata Andy.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Aktivis perempuan menuliskan pesan untuk mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat berlangsung paparan catatan LBH Apik tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, jumat (20/7). Hasil catatan LBH Apik, sepanjang 2016 terdapat peningkatan pengaduan masayarakat terkait kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan berbasis siber
Laporan Catahu Komnas Perempuan 2020 yang dibacakan bergantian oleh para komisioner Komnas Perempuan menampilkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang paling banyak dilaporkan ke lembaga layanan disusul kekerasan di ranah publik/komunitasm dan kekerasan di ranah negara 24 kasus (1 persen). Adapun di ranah publik, kasus kekerasan seksual perlu menjadi fokus perhatian.
Catahu 2020 memperlihatkan ranah paling berisiko bagi perempuan mengalami kekerasan yakni ranah personal, yakni KDRT dan hubungan dalam pacaran yang laporannya mencapai 79 persen (6.480 kasus) atau meningkat 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 75 persen.
Hal itu berupa kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi. Adapun jenis kekerasan seksual di ranah personal paling banyak yakni pencabulan, dan kekerasan jender berbasis siber. Pelakunya meliputi pacar, mantan pacar, dan ayah.
“ Yang menarik kekerasan berbasis siber di ranah KDRT naik signifikan, dari 35 kasus menjadi 329 kasus. Ini berarti terjadi kenaikan 920 persen dibandingkan tahun lalu,” kata Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan.
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan lainya menjelaskan modus kekerasan berbasis siber yang digunakan pelaku antara lain penyebaran konten intim non konsensual dengan ancaman pemerasan. Luasnya akses dalam ranah dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain menjadi pelaku kekerasan.
“Kita harus sama-sama mendorong agar internet menjadi ruang aman dari kekerasan seksual. Itu meliputi antara lain dengan melakukan pendidikan publik untuk kecerdasan digital, membangun dukugan netizen untuk melaporkan kasus berbasis siber, dan mendukung korban," tegas Siti Aminah.
" Negara, dalam hal ini Keminfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) Informa. dan penegak hukum lain yang menangani kejahatan siber mesti segera bertindak mencegah meluasnya penyebaran konten intim,” ungkapnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Penolakan kekerasan terhadap perempuan disuarakan aktivis dalam media luar ruang di kolong Jalan Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (19/3/2020). Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 selama 12 tahun, jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir delapan kali lipat.
Dispensasi nikah
Pada Catahu 2020 juga menemukan dispensasi nikah (perkawinan anak) adalah hal lainnya yang terjadi peningkatan ekstrem tiga kali lipat berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung yakni dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik tajam sebesar 64.211 kasus pada tahun 2020.
“Hal ini disebabkan antara lain situasi pandemi seperti intensitas penggunaan gawai dan persoalan ekonomi keluarga serta adanya perubahan UU Perkawinan yang menaikkan usia kawin menjadi 19 tahun bagi perempuan,” ujar Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan pencegahan kekerasan perempuan pada masa pandemi perlu mendapat perhatian khusus semua pihak. “Tantangan penting untuk diselesaikan terkait posisi perempuan semakin rentan, akibat ketimpangan jender diperburuk pandemi Covid-19,” ujarnya.
Ketimpangan jender tersebut bermuara pada isu-isu lainnya yakni beban ganda, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perkawinan anak, hingga penurunan akses ke layanan kesehatan reproduksi dan seksual.