Mahasiswa Indonesia Mempunyai Toleransi Beragama yang Tinggi
Hasil survei PPIM Universitas Islam Negeri Jakarta kepada 2.886 mahasiswa menunjukkan, 1 dari 3 mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang tergolong rendah atau sangat rendah.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap toleransi beragama mahasiswa dipengaruhi interaksi dengan kelompok berbeda dan iklim sosial kampus. Perguruan tinggi perlu mempunyai kebijakan yang selalu bisa mendorong terciptanya perjumpaan keberagaman.
Hasil survei ”Kebhinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi” yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, 69,83 persen mahasiswa punya sikap toleransi beragama yang tinggi, 20 persen sangat tinggi, 24,89 persen rendah, dan 5,27 persen sangat rendah.
Sebanyak 88,78 persen mahasiswa menunjukkan perilaku toleransi tinggi atau sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain. Sisanya, 11,22 persen mahasiswa berperilaku toleransi rendah atau sangat rendah.
Berdasarkan asal kampus, mahasiswa dari perguruan tinggi kedinasan memiliki toleransi lebih tinggi, diikuti perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta, dan perguruan tinggi agama. Lalu, mahasiswa dari perguruan tinggi agama mempunyai persepsi keterancaman tinggi terhadap perbedaan agama, diikuti perguruan tinggi swasta, perguruan tinggi negeri, dan perguruan tinggi kedinasan.
Penelitian itu menggunakan metode stratified random sampling ke 92 perguruan tinggi di 34 provinsi. Pengumpulan data menyasar ke 2.886 mahasiswa dan 673 dosen selama 1 November-27 Desember 2020.
Komposisi kampus yang diteliti, yaitu 31,44 persen perguruan tinggi negeri, 52,83 persen perguruan tinggi swasta, 4,82 persen perguruan tinggi agama di bawah Kementerian Agama, 7,47 persen perguruan tinggi agama milik swasta, dan 3,45 persen perguruan tinggi kedinasan.
Peneliti PPIM UIN Jakarta Sirojuddin Arif, Senin (1/3/2021), di Jakarta, menjelaskan, penelitian itu mengukur sikap toleransi beragama dari delapan pertanyaan. Pendirian rumah ibadah agama, misalnya, yang paling tidak disukai boleh dilakukan di lingkungan tempat tinggal.
Untuk menangkap perilaku toleransi beragama, peneliti menanyakan sejumlah pertanyaan. Salah satu pertanyaan adalah menerima bantuan dari orang atau organisasi dari agama yang paling tidak disukai.
Interaksi sosial dengan kelompok mahasiswa yang berbeda, seperti pergaulan dan diskusi, berkorelasi positif terhadap pembentukan toleransi beragama. Namun, kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu, seperti lembaga dakwah, berkorelasi negatif dengan toleransi beragama.
Kebijakan kampus yang menghargai kelompok minoritas berkorelasi positif terhadap sikap dan perilaku toleransi mahasiswa. Semakin tinggi tingkat toleransi beragama dosen dan penerimaan atau penghormatan kampus terhadap kelompok minoritas, semakin tinggi pula toleransi beragama mahasiswa.
Upaya promosi pengalaman berinteraksi sosial lintas kelompok keagamaan perlu selalu dilakukan. Kultur keberagaman di kampus juga perlu selalu diciptakan. (Sirojuddin Arif)
”Upaya promosi pengalaman berinteraksi sosial lintas kelompok keagamaan perlu selalu dilakukan. Kultur keberagaman di kampus juga perlu selalu diciptakan,” ujarnya.
Sirojuddin mengakui, penelitian itu memiliki sejumlah kelemahan. Pengukuran iklim sosial kampus, misalnya, belum sampai mempertimbangkan heterogenitas sosial keagamaan dan keragaman jaringan kegiatan mahasiswa.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani, berpendapat, semakin kuat pemahaman agama seseorang seharusnya semakin tinggi sikap dan perilaku toleransi yang dimiliki. Temuan penelitian PPIM UIN Jakarta itu membuatnya kaget, sebab mahasiswa dari perguruan tinggi agama termasuk kelompok yang belum memiliki toleransi beragama yang tinggi.
”Kami selalu mendorong perguruan tinggi agama di bawah Kemenag bukan menjadi ’menara gading’, melainkan menjadi ’mercusuar’. Kampus-kampus tersebut didorong selalu meneladani Rasulullah Nabi Muhammad yang selalu menghargai perbedaan latar belakang,” ujarnya.
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Aris Junaidi mengatakan, pihaknya sedang menyosialisasikan modul empat mata kuliah wajib yang sudah mengandung muatan anti-radikalisme, toleransi, dan bela negara. Harapannya, modul itu menjadi referensi yang pasti bagi mahasiswa.
”Kami juga mendorong para dosen untuk memberikan pembelajaran berbasis proyek permasalahan dan menghindari ceramah. Upaya ini mencegah intoleransi,” tutur Aris.
Sementara itu, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Jamal Wiwoho mengaku, di kompleks kampus sudah berdiri rumah-rumah ibadah dari enam agama, antara lain Islam, Kristen, dan Hindhu. Perayaan agama berlangsung harmonis, bahkan berjalan lintas kampus. Perayaan Natal bersama, misalnya, diselenggarakan UNS dengan ISI Surakarta.
”Tidak ada masalah dengan keberagaman agama. Kebijakan kampus selalu berusaha mengedepankan pengakuan hak asasi manusia. Pada saat perayaan Sumpah Pemuda, mahasiswa dari berbagai latar belakang agama doa bersama juga,” ujarnya.