Meskipun berbahaya bagi anak-anak perempuan, hingga kini perkawinan anak masih tetap berlangsung, bahkan di masa pandemi. Perlu ada upaya masif yang melibatkan semua pemangku kebijakan, untuk mencegah perkawinan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Selama dua pekan terakhir, di bulan Februari 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggelar webinar dengan topik tentang bahaya dan dampak perkawinan anak dari berbagai sisi. Webinar tersebut mengulas dampak perkawinan anak dari segi agama, budaya, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain.
Promosi perkawinan anak yang dilakukan sebuah wedding organizer, baik dalam bentuk daring maupun penyebaran pamflet yang berisi ajakan untuk menikah pada usia 12-21 tahun, membuat geram Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan aktivis organisasi perlindungan anak dan perempuan. Hal itu dinilai kontraproduktif dengan upaya menghapus praktik perkawinan anak yang menghancurkan masa depan anak, yang gencar dilakukan pemerintah saat ini.
“Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar, baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan,” ujar Bintang Darmawati saat berdialog dengan organisasi masyarakat sipil, Rabu (24/2/2021) pekan lalu.
Selain pelanggaran hak asasi manusia (HAM), Bintang mengingatkan bahwa dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, tetapi juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.
Bintang mengingatkan hal itu, karena sangat berbahaya jika sampai ada masyarakat yang terpengaruh dan mengikuti promosi dari wedding organizer (WO) yang menganjurkan menikah usia 12 tahun. Jika itu dilakukan, maka yang akan terjadi “anak punya anak”. Itu artinya seorang perempuan yang masih anak-anak, bisa jadi akan mempunyai anak.
Maka, dampaknya akan sangat besar bagi anak perempuan itu sendiri. Sebab, tubuh biologisnya masih sangat muda dan masih dalam pertumbuhan, terutama rahimnya dan organ-organ tubuh lainnya.
Osteoporosis
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo berulangkali mengingatkan bahaya besar yang akan mengancam anak-anak perempuan ketika terjadi perkawinan anak. Bukan hanya meningkatkan angka kematian ibu dan anak, dampak biologisnya sangat besar karena banyak proses pertumbuhan dan perkembangan yang tak berlanjut sebagaimana mestinya.
Hal ini tidak banyak yang mengetahui jika perkawinan usia anak sangat memengaruhi pertumbuhan tulang. “Ketika anak perempuan hamil dan kemudian tulang diambil oleh janinnya, maka tulang itu pun berhenti tumbuhnya sehingga dia tidak punya kesempatan menjadi perempuan yang lebih tinggi badannya,” ujar Hasto dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu.
Itu berarti, perempuan yang menikah dan punya anak di usia anak juga akan kehilangan kesempatan melewati titik puncak massa tulang (peak bone mass) yang akan terjadi pada usia sekitar 32 tahun. Akibatnya, ketika perempuan yang menikah usia dini akan memasuki masa menopause yang dimulai sekitar usia 51 tahun, tulangnya akan lebih cepat keropos seiring indung telur tidak memproduksi hormon estrogen. Ostereopotik lebih cepat dan akan bungkuk secara fisik lebih awal dibandingkan orang-orang yang menopause.
Tak hanya itu, jika perempuan yang menikah usia anak rentan terkena kanker mulut rahim, jika melakukan hubungan seksual terlalu dini pada di bawah 21 tahun. Sebab, menurut Hasto, pada saat usia anak, sesungguhnya anak belum siap melakukan proses reproduksi.
Informasi mengenai bahaya perkawinan anak secara biologis inilah yang harus terus disosialisasikan. Karena hingga kini informasi dan pengetahuan di seputar kesehatan reproduksi dan seksual tidak banyak diketahui para remaja. Padahal, risikonya sangat tinggi.
Dampak kesehatan mental
Selain memengaruhi kesehatan secara fisik, Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Eva Devita Harmoniati dalam webinar yang digelar KemenPPPA juga mengingatkan perkawinan anak memberikan dampak kesehatan mental pada ibu yang masih berusia remaja, seperti baby blues, depresi, ansietas, sulit bonding (melekat) dengan bayinya, maupun berpikir bunuh diri atau menyakiti bayinya.
Selain itu dampak jangka panjang kesehatan bayi yang dilahirkan, seperti berat lahir rendah, prematuritas, malnutrisi, tengkes (stunting), gangguan perkembangan, pencapaian akademis rendah, serta berisiko mengalami kekerasan dan penelantaran.
“Masalah perkawinan anak bukanlah masalah di satu fase kehidupan tapi dapat berlanjut pada generasi selanjutnya. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegahnya. Diperlukan kerjasama multisektor dan bila perkawinan anak terjadi, maka perlu intervensi dini yang komprehensif pada remaja hamil,” tutup Eva.
Kendati dampaknya sangat besar dampaknya, tidak mudah mencegah perkawinan anak. Direktur Institut KAPAL Perempuan, Misiyah mengungkapkan di lapangan masih banyak hambatan yang sering dijumpai aktivis organisasi masyarakat sipil dalam menangani kasus perkawinan anak. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, perkawinan anak marak terjadi.
Melihat besarnya dampak perkawinan anak, Kementarian PPPP melalui Deputi Pemenuhan Hak Anak Lenny N Rosalin dan Deputi Perlindungan Khusus Anak Nahar terus mengajak semua pihak bersinergi menghentikan perkawinan anak. Nahar bahkan mengingatkan pihak-pihak yang mempromosikan perkawinan anak bisa diancam pidana.