Migrasi siaran televisi analog ke siaran digital tidak hanya menghadapi tantangan teknis infrastruktur, tetapi juga pengisian konten lokal.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan migrasi siaran televisi analog ke siaran digital bukan sebatas menyangkut infrastruktur. Isu pengisian konten lokal juga menjadi tantangan, tetapi kerap kali terlupakan.
Ketua Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Eni Maryani berpendapat, pembahasan pemerintah mengenai migrasi siaran televisi analog ke siaran digital (analog switch off/ASO) berkutat pada teknis infrastruktur dan izin. Pemberian izin operasional ke media disamakan seperti industri pada umumnya.
”Padahal, masalah penyiaran televisi yang terutama terletak pada konten,” kata Eni dalam webinar bertema ”Peluang Konten Lokal dan Stasiun TV Lokal dalam Migrasi Digital”, Kamis (25/2/2021), di Jakarta.
Sebelum ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia juga lemah mengawasi kualitas konten, khususnya porsi konten lokal,
Mengutip salah satu riset konten di 10 televisi nasional tahun 2014, dia menemukan 41 persen konten berita berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta 45 persen dari luar Jabodetabek. Berita dari luar Jabodetabek didominasi wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Bali.
Pada tahun 2020, salah satu riset yang dimiliki Eni menyebutkan, 46 persen konten drama di 10 televisi nasional berasal dari luar negeri dan 54 persen lokal.
Keharusan ASO merupakan amanat dari UU No 11/2020. Dari sisi pengisian konten lokal, Eni mengemukakan, televisi lokal punya peluang. Televisi lokal, misalnya, dapat memberikan sistem komunikasi yang lebih bersifat interaktif dengan warga sehingga dapat terjadi kerja sama dalam proses produksi berita.
Namun, kendalanya ada pada pengelolaan televisi lokal sendiri sampai regulasi. Pasal 72 Ayat (1) PP No 46/2021 menyebutkan, penyelenggaraan penyiaran dapat dilakukan dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia, regional, ataupun lokal dengan lebih dulu mendapat persetujuan menteri.
”Ketentuan itu bisa dimaknai, penyiaran akan fokus isu nasional. Pemasukan iklan juga akan bersumber dari pelaku di pusat,” ujarnya.
Eni menambahkan, pemerintah semestinya menjamin semua proses migrasi di bidang penyiaran televisi memenuhi evaluasi visi-misi. Salah satunya adalah pengisian paling sedikit 10 persen konten lokal dari waktu keseluruhan siaran.
roses produksi
Pemimpin Redaksi Bali TV Nyoman Sugiarta mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan situasi ekonomi di daerah semakin tidak menentu. Kondisi itu berdampak pada televisi lokal yang pendapatannya tergantung dari pelaku industri dan pemerintah daerah.
Pengalaman di Bali, misalnya. Industri pariwisata di Bali bisa dianggap mati suri sehingga mengganggu pemasukan iklan media massa lokal. Karena itu, dengan adanya keharusan migrasi analog ke digital, televisi lokal akan kesulitan pendanaan.
Pasal 81 PP No 46/2021 menyebutkan, lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga penyiaran swasta (LPS), ataupun lembaga penyiaran komunitas (LPK) menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing. LPP TVRI dan LPS yang ditetapkan jadi penyelenggara multipleksing oleh menteri wajib memenuhi permohonan sewa slot dari LPP, LPS, dan LPK. Penyelenggara multipleksing wajib menetapkan syarat penyewaan.
”Keharusan menyewa slot menjadi beban tambahan bagi televisi lokal. Ditambah lagi, televisi lokal harus mengeluarkan biaya perangkat untuk distribusi siaran digital,” ujarnya.
Potensi keuntungan yang bisa diraih oleh televisi lokal ialah konten lokal. Pengalaman Bali TV selama 18 tahun beroperasi, konten lokal berupa tradisi budaya dan kesenian selalu dicari pemirsa. Produksi konten seperti itu dapat digarap maksimal oleh televisi lokal.
Direktur Pemberitaan JTV Abdul Rokhim mengatakan, migrasi penyiaran analog ke digital menimbulkan konsekuensi infrastruktur dan sumber daya manusia. Keduanya butuh investasi.
Keharusan menyewa slot menjadi beban tambahan bagi televisi lokal. Ditambah lagi, televisi lokal harus mengeluarkan biaya perangkat untuk distribusi siaran digital.
Di kalangan pelaku televisi lokal, lumrah apabila produser merangkap tenaga pemasaran. Wartawan televisi turut berperan mencari iklan. Rata-rata 80 persen pendapatan dari iklan pemerintah sehingga susah menjaga independensi jurnalisme. Situasi seperti itu juga dialami produk media massa lainnya.
Infrastruktur penyiaran yang dimiliki oleh televisi lokal berbeda dengan televisi nasional. Apalagi, jika televisi lokal bersangkutan tidak terafiliasi dari jaringan media tertentu.
”Digitalisasi penyiaran adalah keniscayaan. Masyarakat sekarang juga terbiasa melihat konten di perangkat digital. Namun, kesiapan lembaga penyiaran televisi untuk migrasi analog ke digital tidak bisa disamaratakan,” ujar Abdul.
Prinsip efisiensi
Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia menjelaskan, semangat UU No 11/2020 ialah memangkas proses perizinan penyiaran. Rata-rata waktu pengurusan izin 105 hari. Hal ini mengganggu proses produksi konten lokal.
Semangat PP No 46/2021 adalah efisiensi penyelenggaraan penyiaran. Misalnya, pelaku usaha yang memiliki infrastruktur aktif di bidang telekomunikasi aktif ataupun penyiaran bisa membuka akses pemanfaatan sarana secara bersama-sama.
”Kedua regulasi itu menjamin fleksibilitas produksi dan distribusi konten. Pemilik televisi lokal yang punya konten bagus bisa jual ke pemilik aplikasi ataupun televisi lainnya,” kata Geryantika.