Pemahaman Penegak Hukum soal Disabilitas Masih Terbatas
Penyandang disabilitas yang mengalami kasus kekerasan menghadapi hambatan ketika harus berhadapan dengan hukum. Maka, pemahaman aparat kepolisian soal hak-hak disabilitas sangatlah penting.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam memahami hak-hak penyandang disabilitas dalam proses pelaporan dan penyidikan sangat penting untuk mewujudkan akses keadilan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Namun, dalam praktik di lapangan, pemahaman aparat kepolisian masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, sejak akhir 2019, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) tentang Aksesibilitas Pelayanan Kepolisan Negara Republik Indonesia terhadap Penyandang Disabilitas. MOU tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama tentang Aksesibilitas Pelayanan Hukum dan Penyediaan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas.
”Mengingat Polri sebagai pintu utama yang berhadapan langsung dengan korban dalam proses hukum, masyarakat disabilitas berharap MOU dan perjanjian kerja sama ini menjadi landasan kerja-kerja pendampingan kasus baik untuk kepolisian dan organisasi disabilitas, juga lembaga layanan,” ujar Ketua HWDI Maulani Rotinsulu pada acara Sosialisasi MOU dan Perjanjian Kerja Sama HWDI dan Polri, Kamis (25/2/2021), secara virtual.
Maulani menegaskan, kerja sama tersebut diharapkan mewujudkan kepastian hukum dan pemenuhan atas keadilan bagi penyandang disabilitas, khususnya perempuan disabilitas korban kekerasan.
Sebab, lanjut Maulani, kendati telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Nomor 39/2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, hingga kini masih ditemukan kendala dalam mewujudkan akses keadilan dan perlindugan bagi penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum.
Adapun bentuk perwujudan akomodasi yang disepakati terkait dengan penyediaan fasilitas komunikasi audiovisual untuk pemeriksaan jarak jauh dan tersedianya standar pemeriksaan penyandang disabilitas dan pemberian jasa hukum serta tersedia pendamping dan penerjemah untuk penyandang disabilitas sebagai saksi, korban, dan tersangka.
Hal ini menjadi kebutuhan mendesak bagi disabilitas yang berhadapan dengan hukum, termasuk adanya prosedur standar operasional tentang pelayanan hukum bagi disabilitas.
”Hal ini menjadi kebutuhan mendesak bagi disabilitas yang berhadapan dengan hukum, termasuk adanya prosedur standar operasional tentang pelayanan hukum bagi disabilitas,” ujar Maulani seraya menambahkan semenjak penandatanganan kerja sama tersebut, sudah mulai ada pendekatan dari kepolisian daerah kepada kelompok-kelompok disabilitas.
Pihak HWDI telah melakukan pertukaran data, termasuk menyerahkan organisasi penyandang disabilitas, kepada kepolisian daerah agar jika kepolisian membutuhkan informasi disabilitas, informasi telah tersedia.
Ajun Komisaris Besar Joko Tetuko dari Biro Pembinaan dan Operasional Bareskrim Polri menyatakan, lingkup kerja sama HWDI dan Polri, antara lain, soal pertukaran data dan informasi, pelayanan Polri, peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Menurut Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), meningkatkan kesadaran semua pihak bahwa penyandang disabilitas harus punya akses terhadap semua aspek kehidupan sangat penting.
Sebab, dari data yang diperoleh Kementerian PPPA, hingga Desember 2020 ada sekitar 800 laporan kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas yang mayoritas adalah perempuan. ”Ini menjadi catatan penting bagi pihak kepolisian. Artinya, jumlahnya tidak kecil karena perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan harus berhadapan dengan kondisi hukum. Ini harus dipastikan mereka mendapat perlindungan dan hak-hak dengan baik sesuai kondisinya,” ujar Valentina.
Husna, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, mengungkapkan, selama ini pihaknya juga mendampingi penyandang disabilitas yang mengalami kasus, terutama kasus pelecehan seksual.
”Kendala umum dalam menangani kasus adalah penerjemah disabilitas sensorik sangat sulit. Untuk disabilitas mental, kendalanya adalah pendamping belum memahami betul bagaimana cara menghadapi penerjemah,” kata Husna.
Ia mencontohkan kasus pelecehan seksual yang dialami anak perempuan disabilitas dari gurunya yang hingga kini kasusnya menghadapi kendala meskipun sudah dilaporkan kepada kepolisian. Kendala terbesar adalah komunikasi. Meskipun korban bertemu dengan penerjemah, ternyata tidak semua korban mengerti apa yang diterjemahkan sehingga kasusnya berjalan lambat.
Hadir juga dalam sosialiasi tersebut Reza Faraby (Perencana Madya dari Bappenas) serta Fajri Nursyamsi (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia).