Australia memiliki undang-undang yang mengatur pembayaran atas konten media oleh platform digital global. Hal ini bisa menjadi model bagi Indonesia untuk mengatur keseimbangan ekosistem media.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Lolosnya rancangan undang-undang untuk mengatur pembayaran atas konten media oleh platform digital global di Senat Australia memberikan harapan untuk menjaga keseimbangan ekosistem media, dan negara bisa berperan untuk itu.
Setelah disahkan nanti, Australia menjadi negara pertama yang memiliki badan arbitrase pemerintah untuk memutuskan jumlah kompensasi terkait monetisasi konten berita jika negosiasi kedua pihak gagal. Langkah ini menginspirasi negara lain. Kanada misalnya, akan mengadopsi aturan serupa.
Di Indonesia, Dewan Pers tengah menerjemahkan peraturan tentang kompensasi atas monetisasi konten berita oleh platform digital global dari sejumlah negara, termasuk dari Australia. Rancangan undang-undang di Australia ini bisa menjadi model. Kedekatan geografis serta kerja sama Indonesia dan Australia selama ini akan memudahkan Indonesia mempelajari langkah Australia tersebut.
Dalam sejumlah webinar dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2021, kalangan media di Indonesia sepakat bahwa perlu ada peraturan untuk menjaga ekosistem media yang saat ini didominasi platform digital global. Dominasi platform telah membuat bisnis media sebagai produsen konten semakin terpuruk, berbanding terbalik dengan platform yang menjadi agregator konten.
Merrin Hambley dari Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) pada webinar dalam rangka peringatan HPN 2021 mengatakan RUU tersebut akan menjamin eksosistem media yang lebih adil. Peraturan ini bakal memperkuat posisi penerbit berita untuk mendapatkan kompensasi atas monetisasi konten berita yang telah menarik 81 persen iklan daring di Australia ke Facebook dan Google.
Belajar dari proses pembahasan RUU tersebut di Australia, perlu komitmen kuat negara melalui pemerintah dan juga kalangan perusahaan media untuk bersama-sama bernegosiasi dengan platform digital global. Facebook sempat berhenti mendistribusikan konten berita di Australia yang berdampak berkurangnya informasi pada masyarakat yang mengandalkan kanal informasi bebas.
Google juga pernah mengancam keluar dari Australia jika pembahasan RUU tersebut dilanjutkan. Alasannya, menurut Mel Silva, Wakil Presiden Google Australia dan Selandia Baru, platform digital global merupakan layanan internet terbuka yang dibangun dengan pemikiran agar publik dapat saling terhubung secara bebas. Australia menandingi dengan membuka peluang masuknya platform lain.
Perusahaan media pun harus membangun soliditas untuk menghadapi platform digital global. Harus diakui, banyak media daring di Indonesia bergantung pada platform digital global untuk mendistribusikan konten mereka, bahkan untuk mendapatkan iklan dari sana.
Apa yang terjadi di Australia, ketika sejumlah media melakukan kesepakatan dengan Facebook dan Google baru-baru ini, sebelum RUU disahkan, dapat menjadi contoh. News Corp milik Rupert Murdoch misalnya, sepakat dengan Google untuk mendapatkan pembayaran yang signifikan selama tiga tahun.
Kesepakatan tersebut menjadi penanda baik meski juga menimbulkan dugaan bahwa platform digital global melakukan itu untuk menunjukkan bahwa mereka telah memberikan kontribusi signifikan terhadap keberlanjutan industri berita. Dengan demikian, mereka tidak perlu “tunduk” pada arbitrase pemerintah.
Pada akhirnya, kemampuan perusahaan media untuk bernegosiasi menjadi penentu apakah mereka bisa mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan platform digital global.