Berperan melahirkan bahasa Indonesia, Sanusi Pane diusulkan menjadi pahlawan nasional. Ia juga berjasa dalam menghidupkan bahasa Indonesia dengan gagasannya mendirikan Institut Bahasa Indonesia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sanusi Pane diusulkan menjadi pahlawan nasional karena berperan melahirkan bahasa Indonesia. Ia juga berjasa dalam menghidupkan bahasa Indonesia di tengah masyarakat dengan gagasannya mendirikan Institut Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pun kini menembus sekat perbedaan dan menjadi pengikat di tengah kebinekaan Indonesia.
”Perjuangan menghidupkan bahasa Indonesia sebagai bahasa baru tentu tidak selesai saat dideklarasikan. Di sinilah gagasan pemuda asal Sumatera Utara, Sanusi Pane, menjadi sangat sentral dengan membentuk Institut Bahasa Indonesia,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Endang Aminudin Aziz, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (23/2/2021).
Endang menyampaikan hal tersebut dalam seminar bertajuk ”Mengusung Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Sumatera Utara. Hadir Sekretaris Daerah Sumatera Utara Sabrina.
Endang mengatakan, peran Sanusi Pane dalam melahirkan bahasa Indonesia terlihat dalam tiga tonggak sejarah penting, yakni Kongres Pemuda I 1926, Kongres Pemuda II 1928, dan Kongres Bahasa Indonesia I 1938. Pada Kongres Pemuda 1926 sudah terjadi diskusi untuk menentukan pilihan dan nama bahasa pemersatu yang akan digunakan.
Bahasa Melayu menjadi pilihan pemuda saat itu karena sebelumnya sudah menjadi bahasa pengantar di Nusantara. Namun, penamaan bahasa itu masih dalam perdebatan dan tidak diputuskan pada kongres itu. Sanusi Pane dan M Tabrani lebih memilih melahirkan nama bahasa baru, yakni bahasa Indonesia.
Namun, M Yamin dan Jamaludin menolak usul itu karena ketika itu memang tidak ada bahasa Indonesia. ”Bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun,” demikian ucapan Yamin sebagaimana dicatat dalam buku Sebuah Otobiografi M Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal.
Keputusan untuk menentukan nama bahasa persatuan pun diambil pada Kongres Pemuda 1928. ”Sanusi Pane dan M Tabrani berkeinginan membuat nama bahasa itu dengan nama bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah nama yang benar-benar baru dan baru dipakai pada Kongres Pemuda II,” kata Endang.
Menurut Endang, keputusan tentang bahasa pemersatu bisa diambil karena para pemuda tidak mengedepankan sentimen etnis dan mayoritas. Kalau bukan karena kebesaran jiwa para pemuda, patut diduga pilihan bahasa dan penamaannya tidak akan segera tercapai.
Tantangan utama bahasa Indonesia setelah deklarasi Sumpah Pemuda adalah bagaimana menghidupkannya di tengah masyarakat yang mempunyai bahasa daerah yang sangat beragam. Pada Kongres Bahasa Indonesia 1938, Sanusi Pane mengusulkan pendirian Institut Bahasa Indonesia.
Lembaga ini bertugas untuk menghidupkan bahasa Indonesia di tengah masyarakat. Institut ini pun telah beberapa kali berubah nama dan kini menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara Maryanto mengatakan, Institut Bahasa Indonesia yang lahir dari gagasan Sanusi Pane telah membuat bahasa Indonesia dapat hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam. ”Bahasa Indonesia pun bermartabat sebagai bahasa persatuan pengikat keindonesiaan dalam kebinekaan kita,” katanya.
Sanusi Pane juga punya peluang besar karena selama ini belum ada pahlawan nasional yang diangkat atas jasanya yang secara spesifik dan murni di bidang bahasa Indonesia dan sastra. (Asvi Warman Adam)
Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan, ada sejumlah tantangan dalam penetapan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional dalam waktu dekat. Pertama, tahun 2020 sudah diangkat tokoh asal Sumut SM Amin menjadi pahlawan nasional. ”Biasanya cenderung untuk mengangkat dari daerah lain. Namun, lebih baik diusul sekarang walau belum diangkat,” kata Asvi.
Tantangan kedua, menurut Asvi, Sanusi Pane adalah abang kandung dari Lafran Pane yang telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Dari 191 pahlawan nasional di Indonesia, belum ada yang merupakan saudara kandung. Namun, Sanusi dan Lafran berada dalam bidang yang berbeda. Lafran berjasa dalam pembinaan mahasiswa yang melahirkan organisasi besar Himpunan Mahasiswa Islam.
Pertimbangan lainnya, menurut Asvi, jika peran Sanusi Pane dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, sampai saat ini masih ada sejumlah tokoh penting dalam Sumpah Pemuda yang belum diangkat menjadi pahlawan nasional. Mereka adalah Ketua Kongres Pemuda 1926 M Tabrani dan Ketua Kongres Pemuda 1928 Soegondo Djojopuspito.
Meski demikian, Asvi juga mencatat sejumlah peran penting Sanusi Pane selain di dalam Kongres Pemuda dan Kongres Bahasa. Sanusi Pane menerjemahkan karya sastra Jawa kuno berjudul Ardjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa. Karya sastra itu lebih dulu diterjemahkan Poerbatjaraka ke dalam bahasa Belanda. Sanusi menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dari bahasa Belanda.
Asvi mengatakan, Sanusi Pane juga punya peluang besar karena selama ini belum ada pahlawan nasional yang diangkat atas jasanya yang secara spesifik dan murni di bidang bahasa Indonesia dan sastra. Sementara ada empat sastrawan besar yang menjadi pahlawan nasional, yakni Abdul Muis yang diangkat pada (1959), M Yamin (1973), Amir Hamzah (1975), dan Raja Ali Haji (2004).
”Mereka semua adalah sastrawan besar. Namun, jasa Abdul Muis lebih kepada aktivitas politiknya dalam pergerakan buruh. M Yamin merupakan tokoh politik penting dalam persiapan kemerdekaan, dan Amir Hamzah adalah korban revolusi sosial di Sumatera Timur,” kata Asvi.
Yang lebih murni jasanya dalam bahasa dan sastra adalah Raja Ali Haji. Namun, Raja Ali Haji yang hidup di abad ke-19 berjasa dalam pengembangan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia.
”Di sini peluang Sanusi Pane sangat besar karena jasanya dalam pengembangan Bahasa Indonesia dan pengembangan kelembagaan bahasa Indonesia,” kata Asvi.