Pembelajaran Teknologi Digital Menjadi Kemutlakan
Dengan memiliki keterampilan dasar ataupun kemahiran teknologi digital, pekerja mampu menyokong pertumbuhan ekonomi. Siapa pun kini dituntut memiliki keterampilan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Keterampilan teknologi digital menjadi kebutuhan bagi siapa pun, baik pekerja yang berkaitan langsung dengan teknologi digital maupun tidak, juga bagi mereka yang sedang mencari kerja atau belum bekerja.
Riset firma konsultan strategi dan ekonomi, AlphaBeta, berjudul ”Unlocking APAC’s Digital Potential: Changing Digital Skill Needs and Policy Approaches (2020)” mempertegas hal itu.
Co-Founder and Director AlphaBeta Fraser Thompson, Senin (22/2/2021), di Jakarta, mengatakan, riset yang didukung Amazon Web Services ini menyasar responden pekerja profesional, pemilik industri, dan pemangku kebijakan di enam negara kawasan Asia Pasifik, salah satunya Indonesia. Di Indonesia, ada sekitar 500 orang yang diwawancarai.
Berdasarkan wawancara dengan para responden diketahui bahwa keterampilan teknologi digital baru dimiliki sekitar 19 persen dari total angkatan kerja. Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, maupun sedang mencari pekerjaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2020, jumlah angkatan kerja di Indonesia 138,22 juta orang, naik 2,36 juta orang dibandingkan Agustus 2019.
Dengan asumsi angkatan kerja mesti mempunyai keterampilan teknologi digital, AlphaBeta memprediksi Indonesia butuh lebih dari 110 juta orang terampil hingga tahun 2025.
Fraser menjelaskan, dengan memiliki keterampilan dasar ataupun kemahiran teknologi digital, pekerja mampu menyokong pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, penduduk usia bekerja penting menguasai pemahaman tentang komputasi awan.
Dari sisi sektor industri, penggunaan teknologi digital merupakan keniscayaan. Dengan kata lain, hampir semua sektor industri membutuhkan teknologi digital, meski dengan porsi berbeda-beda.
Di sektor industri manufaktur, misalnya, dari hasil riset ditemukan, analisis mahadata mampu membantu pelaku industri di sektor itu untuk menentukan waktu yang tepat dalam pengelolaan rantai pasok dan prediksi kebutuhan pemeliharaan perangkat. Namun, dalam riset, responden menyebutkan sebagian besar pekerja industri diperkirakan belum menguasai pemodelan data berskala besar.
Teknologi digital berkembang pesat sehingga memengaruhi jenis keterampilan yang dibutuhkan industri. Maka, pendekatan kebijakan yang tepat adalah membudayakan belajar dan pelatihan keterampilan kerja sepanjang hayat bagi angkatan kerja. (Fraser Thompson)
”Teknologi digital berkembang pesat sehingga memengaruhi jenis keterampilan yang dibutuhkan industri. Maka, pendekatan kebijakan yang tepat adalah membudayakan belajar dan pelatihan keterampilan kerja sepanjang hayat bagi angkatan kerja,” tutur Fraser.
Beberapa waktu lalu, pemerintah pernah menyebutkan, kebutuhan talenta teknologi sebanyak 600.000 orang, tetapi hanya tersedia 100.000 orang per tahun. Kekurangan talenta teknologi digital pada 2030 bahkan diperkirakan akan mencapai 9 juta orang (Kompas, 15/2/2021).
Sebelumnya, McKinsey melalui laporan studi ”The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia Potential (September 2012)” memprediksi pada akhir tahun 2030, Indonesia akan membutuhkan 113 juta orang tenaga kerja terampil dan semiterampil.
Dalam laporan studinya itu, McKinsey beralasan, proyeksi jumlah kebutuhan pekerja terampil dan semiterampil itu akan mampu menyokong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan 5-6 persen pada 2030. Indonesia juga diperkirakan bisa meraih posisi ketujuh negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Namun, mengenai suplai, laporan itu mengungkapkan, Indonesia kemungkinan hanya mampu menyediakan 104 juta pekerja terampil dan semiterampil pada 2030. Artinya, Indonesia kekurangan 9 juta orang.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam mengatakan pentingnya program pengayaan kompetensi secara spesifik atau micro credentials digencarkan. Program yang menjadi bagian dari Kampus Merdeka ini diyakini mampu menyikapi cepatnya perubahan kompetensi dan keterampilan di pasar kerja yang semakin terpengaruh tren teknologi digital.
Nizam menyebutkan sudah ada konsorsium perguruan tinggi dengan sejumlah perusahaan teknologi untuk menyelenggarakan micro credentials untuk talenta terampil bidang digital.
Selama 22-26 Februari 2021, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud juga memfasilitasi program pelatihan bagi pelatih (TOT) bidang data sains dan kecerdasan buatan. Total peserta mencapai 2.450 orang dari perguruan tinggi.
Baca juga : Gawai Berkualtas Diprioritaskan Milenial agar Tak Ketinggalan Zaman
Akses belajar
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Umar Baihaqki, secara terpisah mengatakan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemerintah membuka akses seluas-luasnya agar warga bisa bersekolah melalui program wajib belajar. Di beberapa daerah, kebijakan wajib belajar dapat diikuti dengan menggratiskan biaya pendidikan dasar hingga menengah.
Di jenjang pendidikan tinggi, pemerintah selama ini cenderung menitikberatkan pada kualitas layanan institusi pendidikan tinggi. Jika dilanjutkan, situasi itu menghambat partisipasi ke pendidikan tinggi sehingga anak tidak memperoleh keterampilan memadai.
Menyikapi narasi hilangnya pekerjaan-pekerjaan lama akibat penerapan teknologi digital, menurut Umar, institusi pendidikan tidak bisa berbuat banyak apabila sebagian warga tidak punya akses ke teknologi dan terkendala finansial. Fenomena seperti itu telah tampak selama masa pembelajaran jarak jauh karena pandemi Covid-19.
Baca juga : Teknologi Digital dan Ekosistem Inovasi
Salah satu solusi untuk memberi layanan pendidikan tinggi yang murah adalah dengan mengembangkan konsep pendidikan jarak jauh, seperti yang sekarang telah dijalankan oleh Universitas Terbuka (UT).
Kendalanya, sebagian mahasiswa kesulitan untuk berkonsultasi dengan dosen atau bahkan mengikuti kuliah tatap muka akibat keterbatasan akses dan kualitas jaringan telekomunikasi.