Peran Cheng Ho dalam Islamisasi Nusantara
Buku berjudul “Islam di China, Dulu dan Kini” yang ditulis Novi Basuki, peneliti sejarah, dinilai sangat komprehensif dan akan membantu meluruskan sejarah di negeri ini.
”Walakin, hingga kini saya belum menemukan rujukan otoritatif sekelas Ming Shi, Yingya Shenglan, atau Xi Yang Fan Guo Zhi yang menyebut adanya peranan Cheng Ho—baik langsung maupun tidak langsung—dalam islamisasi Nusantara.”
Kalimat lugas itu dituliskan Novi Basuki, peneliti sejarah dalam bukunya, berjudul Islam di China, Dulu dan Kini, yang diluncurkan dan diskusikan, Sabtu (20/2/2021) lalu, secara dalam jaringan (daring).
Dalam buku terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) akhir tahun 2020 itu, Novi yang kini menempuh studi doktoral di Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou, China, bukan tengah menguji keyakinan sejumlah warga akan peran Laksamana Cheng Ho atau Zheng He dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, dalam penjelajahannya antara tahun 1405-1433. Ia pun terus mencari bukti atau literatur dari keyakinan itu.
Baca juga : Peringatan Ke-615 Kedatangan Cheng Ho
Meskipun membahas tentang Islam di China, Novi yang menyelesaikan jenjang sarjana dan master di Universitas Huaqiao dan Universitas Xiamen, China, memasukkan bahasan tentang warga China yang diyakini beragama Islam dan perannya di Nusantara, sehingga buku karyanya itu memiliki konteks di negeri ini.
Dalam Bab ”Adakah Peran Cheng Ho dan China dalam Islamisasi Nusantara?”, ia membuka dengan kalimat, ”Beberapa warganet yang membaca artikel Apa Agama Cheng Ho? bersikeras memastikan dia seorang Muslim karena, katanya, informasi tersebut terdapat dalam literatur resmi China, semacam Sejarah Ming (Ming Shi), kitab tarikh tentang Dinasti Ming yang dikompilasi sejarawan istana Dinasti Qing.” Namun, ia belum menemukan rujukan itu.
Tiada sedikit pun dalam kitab sejarah rujukan berbahasa Mandarin itu yang menyatakan Cheng Ho bertugas pula untuk dakwah.
Penulis pada laman Historia itu menuliskan, dari pembacaannya terhadap 332 jilid babon berbahasa Mandarin kuno yang dieditori Zhang Tingyu (1672-1755), tak ada sebesar biji zarah pun keterangan mengenai status keagamaan yang dianut Laksamana Agung Cheng Ho. Kaisar Yongle tahun 1405 memerintahkan Cheng Ho, bersama koleganya Wang Jinghong sebagai utusan ke Samudera Barat.
Tiada sedikit pun dalam kitab sejarah rujukan berbahasa Mandarin itu yang menyatakan Cheng Ho bertugas pula untuk dakwah. Mengenai kepercayaan Cheng Ho itu dituliskannya di Historia pada 16 November 2017.
Informasi mengenai Cheng Ho hanya dituliskan, ia orang Yunnan dan dikenal dengan sebutan Kasim Sanbao. Pada mulanya, ia bekerja di istana Raja Yan dan karena berjasa diangkat menjadi kasim.
Raja Yan, yang kemudian menjadi Kaisar Yongle, memerintahkan Cheng Ho menjadi utusan ke Samudra Barat. ”Sebegitu saja informasinya. Sisanya soal pelajaran Cheng Ho yang membawa lebih dari 27.800 orang dengan 62 kapal besar. Lalu mentok. Saya coba telusuri berkali-kali catatan yang ditulis oleh Ma Huan, Juru Bahasa Cheng Ho yang ikut dalam ekspedisi ke-4, ke-6, dan ke-7 itu, tetapi tetap tidak menemukan titik terang sampai sekarang,” terang Novi.
Ma Huan menulis di Jawa—khususnya Tuban, Gresik, dan Surabaya—terdapat banyak orang China yang mengimani Islam. Catatan Negeri Samudra Barat (Xi Yang Fan Guo Zhi), yang digarap oleh Gong Zhen, seorang awak kapal Cheng Ho, yang ikut serta dalam muhibah terakhir, melengkapi tulisan Ma Huan, serta menyatakan, orang China yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou, Quanzhou, dan daerah lain yang kemudian memilih tinggal di Jawa, semuanya menganut agama Islam. Dengan demikian, keislaman mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Cheng Ho.
Namun, Novi menambahkan, mengingat banyaknya orang China yang menganut Islam, seperti diakui Ma Huan dan Gong Zhen, tidak mustahil kalau mereka juga mempunyai andil dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Jawa, melalui dakwah secara langsung atau tidak langsung, atau lewat kawin-mawin dengan warga lokal.
Baca juga : Mengenang Ekspedisi Cheng Ho
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Dr Nurni Wuryandari, menambahkan, pada masa Cheng Ho mendarat di Jawa, ada tiga ras penduduk di pulau ini, yakni Arab, Jawa, dan China. Saat itu memang banyak warga China dan keturunannya yang belajar keislaman pada warga Arab. Kemungkinan Cheng Ho pun belajar dan menjadi Islam saat di Jawa Timur dan bukan di Jawa Tengah.
Nurni juga menilai, buku yang ditulis Novi itu sangat lengkap, dengan rujukan yang komprehensif, sehingga bisa menjadi bagian dari upaya meluruskan dan merekonstruksi kembali sejarah di negeri ini. Apalagi, Novi menguasai bahasa Arab dan Bahasa Mandarin sehingga bisa memperoleh rujukan yang sangat lengkap.
Bisa menjadi bagian dari upaya meluruskan dan merekonstruksi kembali sejarah di negeri ini.
Peneliti sejarah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Saiful Hakam menambahkan, buku yang ditulis Novi memberikan persepsi yang jernih mengenai keberadaan umat Islam di China. Meski menganut komunisme sebagai sistem politik, warga negara yang menganut Islam atau agama lain di China tetap dilindungi. Agama ditempatkan di ranah privat dan pelaksanaannya harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Menurut Saiful, Konstitusi China menjamin kebebasan warga negara untuk menganut agama apa saja, tetapi dalam penerapannya bersifat pribadi. Pemeluk agama apa pun di China tidak diperbolehkan menggelar ibadah di ruang publik. Tidak seperti di Indonesia. Di China, orang harus bisa membedakan mana yang privat dan mana yang umum.
”Buku ini sangat menarik bagi publik Indonesia yang selama ini terbelenggu dengan prasangka tentang China, tetapi ingin keluar dari belenggu prasangka. Kita harus mengakui, pengetahuan orang Indonesia tentang China masih sangat terbatas. Keterbatasan itu ditambah dengan beban perbedaan budaya, terutama bahasa, dan beban politik dalam bentuk prasangka negatif yang diproduksi sejarah nasional kita,”papar Saiful.
Kita harus mengakui, pengetahuan orang Indonesia tentang China masih sangat terbatas. Keterbatasan itu ditambah dengan beban perbedaan budaya, terutama bahasa dan beban politik dalam bentuk prasangka negatif yang diproduksi sejarah nasional kita.