Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, keluarga kembali diingatkan pentingnya mereka sebagai pertahanan pertama pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga menjadi pusat pertahanan bahasa ibu. Kebiasaan berkomunikasi dengan bahasa daerah di keluarga sekaligus bisa menanamkan nilai karakter yang terkandung dalam keluarga.
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muh Abdul Khak menyampaikan hal itu, Minggu (21/2/2021), di Jakarta. Pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh tanggal 21 Februari, dia mengingatkan keluarga sebagai pertahanan pertama bahasa ibu.
Tanggal 17 November 1999, dengan dukungan 188 negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Tanggal ini mengacu kepada peristiwa kerusuhan mahasiswa di Universitas Dhaka pada 21 Februari 1953. Mahasiswa menuntut diakuinya bahasa Bengali sebagai bahasa ibu suku Bengal.
Keluarga yang masih homogen tetap berkomunikasi dalam bahasa daerahnya sehingga anak-anak terbiasa berbahasa daerah. Hal itu perlu dilakukan sebab, ketika keluar rumah, anak akan mengenal bahasa nasional dan bahasa asing. Dalam konteks mendapatkan informasi bahasa, bahasa ibu akan terkalahlan oleh ”kekuatan” bahasa nasional.
Pembelajaran bahasa ibu/bahasa daerah di sekolah berfungsi sebagai aspek pendukung. Meski demikian, bukan berarti pembelajaran bahasa daerah di sekolah tidak penting. (Muh Abdul Khak)
”Pembelajaran bahasa ibu/bahasa daerah di sekolah berfungsi sebagai aspek pendukung. Meski demikian, bukan berarti pembelajaran bahasa daerah di sekolah tidak penting,” ujar Abdul.
Menurut dia, muatan lokal bahasa daerah perlu digalakkan, bahkan untuk kelas awal di SD. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak punya kapasitas mengintervensi langsung agar sekolah dan keluarga siswa aktif melestarikan bahasa daerah.
”Hanya saja, secara umum kami melakukan pendidikan masyarakat terkait pedoman perilaku terkait Covid-19. Kami bekerja sama dengan Satgas Covid-19 untuk menerjemahkan pedoman perilaku dalam 91 bahasa daerah,” imbuh Abdul.
Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terdapat 718 bahasa daerah terpetakan dari 2.560 daerah pengamatan. Dilihat dari vitalitasnya, 21 bahasa daerah tergolong aman, 24 bahasa daerah termasuk rentan, dan 12 bahasa daerah mengalami kemunduran. Lalu, sebanyak 24 bahasa daerah lainnya terancam punah, 5 bahasa daerah termasuk kritis, dan 10 bahasa daerah sudah punah.
Variabel penting
Ketua Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Ari Prasetiyo saat dihubungi terpisah, mengatakan, keluarga merupakan variabel penting untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa ibu. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan dominan bagi anak. Di dalamnya, unsur produksi bahasa sebagai sarana komunikasi akan berkembang.
”Produksi bahasa anak sangat dipengaruhi oleh pemicunya, terutama orangtua yang pertama kali hadir dalam kehidupan anak,” ujarnya.
Ari memandang, penggunaan bahasa ibu/bahasa daerah secara umum relatif berkurang. Intensitas pemakaiannya kalah dibanding bahasa Indonesia.
Di lingkungan keluarga dan sekolah bisa bersama-sama dibangun wacana pentingnya bahasa daerah. Selain pelestarian bahasa itu sendiri, bahasa daerah mengandung nilai karakter yang tinggi.
Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa terdapat ungkapan ngelmu iku kalakone kanthi laku yang artinya proses sesuatu penting dibanding hasil. Generasi muda sekarang cenderung meninggalkan proses dan lebih suka fokus pada hasil.
”Apabila bahasa Jawa tidak diketahui dan dipahami, ungkapan ngelmu iku kalakone kanthi laku tidak akan dimengerti,” kata Ari.
Di tengah kondisi pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, interaksi anak dan orangtua semestinya meningkat. Dia berpendapat, kondisi itu memungkinkan pengalaman berbahasa ibu/bahasa daerah dapat ditingkatkan.
Menurut Ari, program muatan lokal bahasa daerah di sekolah perlu didukung. Sebab, program ini bisa menekan kepunahan bahasa daerah.
”Apalagi, porsi penggunaan bahasa ibu di lingkungan keluarga telah terbatas. Materi bahasa daerah di sekolah perlu ditambah,” ujarnya.
Anggota Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Sri Hariyati, saat dihubungi terpisah, menceritakan, di Blitar, jumlah guru bahasa Jawa semakin berkurang meskipun bahasa daerah itu masih jadi muatan lokal. Kekurangan itu diatasi dengan meminta guru mata pelajaran lain untuk mengajar.
Sri yang juga guru honorer Bahasa Indonesia untuk SMP pernah mengajar Bahasa Jawa. Dia mesti belajar dulu sebelum mengajar.
Dia menceritakan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia juga semakin berkurang karena pensiun. Beban mengajar yang bertambah ini tidak diikuti dengan perbaikan kesejahteraan.
Di masyarakat sekarang, lanjut Sri, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia jenjang SMP harus berhadapan dengan siswa-siswa yang tidak lancar menulis. Apabila guru harus memperdalam kelemahan itu, guru tidak akan bisa menuntaskan administrasi kurikulum.
Sementara guru bahasa daerah sekarang pun harus berhadapan dengan kondisi anak yang tidak lagi fasih berbahasa. Pengalamannya di Blitar, Sri mengamati, anak-anak hanya sebatas mampu berbahasa Jawa tingkat ngoko. Lingkungan keluarga tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa sampai ke tingkat lebih tinggi.
”Jadi, kami harus berhadapan dengan anak-anak yang bicara kepada guru dengan bahasa Jawa tingkat rendah. Pada saat bersamaan, mereka tidak bisa menulis dan berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar,” imbuh Sri.