Remaja Bisa Membantu Perubahan Sosial di Masyarakat
Untuk melakukan perubahan sosial, siapa pun bisa melakukannya. Para remaja pun bisa berlatih memecahkan permasalahan sosial yang terjadi di lingkungannya.
Menjadi pelaku perubahan sosial bisa dilakukan siapa saja. Tidak perlu menunggu usia dewasa. Sejak usia remaja, kesempatan untuk terjun melakukan perubahan sosial selalu terbuka lebar.
Itrin Diana Mozez (15), siswi sekolah menengah pertama (SMP) asal Sumba, Nusa Tenggara Timur, merintis Komunitas Pitagoras sejak setahun lalu. Nama ”Pitagoras” merupakan singkatan dari ”Pengikat Antar Golongan dan Ras”.
Sejak awal masuk SMP, selayaknya remaja yang aktif, dia ingin masuk ke komunitas dengan kegiatan-kegiatan pengembangan diri yang positif. Namun, keinginan itu susah terwujud. Tawuran antarkelompok remaja kerap terjadi.
Lalu, remaja berlatar agama sama biasanya masuk di satuan pendidikan tertentu sehingga satu sekolah cenderung diisi siswa yang homogen. Hal itu mengekalkan stereotip terkait agama.
Dari pengalaman tersebut, Komunitas Pitagoras dibentuk. Itrin mulanya hanya mengajak beberapa teman dekatnya untuk bergabung. Lalu, belakangan, kakak kelas Itrin pun ikut terlibat juga guru sekolah.
Tiga kegiatan utama komunitas ini bergerak pada isu pendidikan, lingkungan, dan toleransi. Isu pendidikan, misalnya. Komunitas Pitagoras menggalang donasi buku bacaan dan alat tulis melalui media sosial, lalu hasilnya dibagikan kepada anak di sekolah dasar di Sumba yang kesusahan fasilitas pendidikan.
”Masih ada kampung di Sumba belum mendapat akses listrik secara optimal. Kalaupun terakses listrik, kondisinya tidak merata di setiap rumah. Maka, hasil donasi buku bacaan biasanya kami distribusikan ke salah satu rumah warga, kami bentuk semacam rumah baca sebagai rujukan bagi warga lainnya,” ujar Itrin saat dihubungi Sabtu (20/2/2021) dari Jakarta.
Sementara untuk mengikis stereotip agama, Komunitas Pitagoras biasanya membuka program jalan-jalan ataupun perayaan keagamaan bersama. Sebagai contoh, perayaan Natal di tepi pantai. Kebutuhan akomodasi ditanggung gotong royong. Setelah perayaan usai, anggota komunitas membantu bersih sampah di sekitar pantai.
”Kami sekarang memiliki anggota tetap 15 orang. Ada sejumlah orang dewasa menjadi sukarelawan. Sejauh ini, orangtua kami mendukung meskipun mulanya mereka khawatir sebab anak seusia kami harus jalan-jalan mencari dan mendistribusikan donasi ke sekolah di kampung-kampung,” imbuh Itrin.
Baca juga : Tahun yang Berat bagi Kawula Muda
Isu kekerasan
Lain cerita dengan Faye Simanjutak (18), pendiri Rumah Faye di Batam. Rumah Faye merupakan organisasi nirlaba di bidang edukasi dan advokasi antiperdagangan anak. Organisasi ini sudah berjalan selama empat tahun.
Faye mengakui, sejak usia anak, orangtuanya memang mendorong dia aktif di berbagai kegiatan di luar sekolah, mulai dari bakti sosial sampai menjadi sukarelawan di organisasi nirlaba. Ketika dia berusia 10 tahun, Faye memiliki seorang teman yang pernah menjadi korban kekerasan seksual dari anggota keluarganya.
Saat itu, aku kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun, aku bisa memahami seorang anak yang mengalami permasalahan tidak berani bercerita ke orang dewasa. Mereka mau terbuka kepada teman sebaya karena merasa tidak akan dihakimi. (Faye Simanjutak)
”Saat itu, aku kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun, aku bisa memahami seorang anak yang mengalami permasalahan tidak berani bercerita ke orang dewasa. Mereka mau terbuka kepada teman sebaya karena merasa tidak akan dihakimi,” ujarnya.
Ketika usia 11 tahun, Faye mengaku pernah menjadi sukarelawan di sebuah organisasi antiperdagangan anak. Dari sanalah dia belajar mengenai regulasi sampai mekanisme penanganan kasus. Sayangnya, di Indonesia, dia mengamati perumusan kebijakan pencegahan di Indonesia belum masif melibatkan anak.
”Edukasi pencegahan pun sering kali tidak sampai ke anak-anak,” tuturnya.
Dia sempat menuangkan gagasan pentingnya pelibatan anak dalam kebijakan pencegahan ke surat lalu mengirimkan ke berbagai organisasi masyarakat. Ini dilakukan sebelum akhirnya Faye memutuskan mendirikan Rumah Faye. Dia mendapat dukungan penuh orangtua.
Saat ini, Rumah Faye telah berjejaring dengan beberapa organisasi peduli kesetaraan jender dan antiperdagangan anak. Sebagai contoh, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pendanaan organisasi dilakukan mandiri. Sejak September 2016-Januari 2020 terdapat 109 anak perempuan dan 9 bayi dibantu.
Sementara Nuke Aprilia Cut Meltari (19) dari Jambi memilih melakukan perubahan sosial dengan mendirikan program Nukeytalks. Program ini berisi tentang pelatihan pengembangan diri berdasarkan hasil pengalaman Nuke mengikuti berbagai organisasi di sekolah. Nukeytalks dirintis bersamaan dengan dimulainya pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19.
Mulanya, dia hanya iseng membuat program Nukeytalks dengan mengumumkan di Twitter. Dia tidak punya target apa pun, selain mengisi waktu luang selama kuliah berjalan dari rumah. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, jumlah pendaftar mencapai 3.000 orang.
Oleh karena itu, dia akhirnya mengajak beberapa teman membantu. Juga, beberapa orang yang lebih dewasa berlatar belakang profesional bidang sumber daya manusia ikut terlibat. Nuke mendapatkan mereka dari hasil dia pernah magang.
Dari 3.000 orang pendaftar, semuanya berusia 15-20 tahun. Dia menyeleksi menjadi 5.00 orang untuk menyesuaikan dengan kemampuan/kapasitas Nukeytalks. Bermodal media sosial dan aplikasi Zoom, kelas pengembangan diri itu dijalankan. Nuke tidak memungut biaya.
Institusi pendidikan dasar hingga tinggi, menurut Nuke, cenderung kurang memperhatikan pentingnya kecerdasan emosional. Keluarga di rumah pun biasanya lebih suka menekankan ke anak segala hal mengenai akademik. Sementara ruang-ruang yang membantu anak untuk memahami kebutuhan dirinya sendiri, termasuk talenta, masih kurang.
”Kalau ditarik ke masa lalu, aku berlatar belakang anak dari broken home sehingga paham betul rasanya butuh ruang belajar pengembangan diri. Tidak semua remaja punya fasilitas mengasah kecerdasan emosional yang berguna ketika mereka dewasa dan terjun di dunia kerja,” ujarnya.
Selalu berubah
Itrin, Faye, dan Nuke merupakan contoh dari remaja yang punya kepedulian sosial. Ketiganya sekarang termasuk sembilan remaja di bawah 20 tahun yang masuk nominasi Ashoka Young Changemaker 2021. Nani Zulminarni, Direktur Regional Ashoka untuk Asia Tenggara, mengemukakan, Ashoka Young Changemaker merupakan salah satu pilar kegiatan Ashoka—organisasi yang mengawali gerakan kewirausahan sosial. Di Indonesia, Ashoka berdiri sejak 1984.
”Kami percaya bahwa setiap orang bisa menjadi agen perubahan, termasuk anak dan remaja. Perubahan yang mereka lakukan bermanfaat bagi lingkungan terdekat mereka,” katanya.
Menurut Nani, orang dewasa mesti memfasilitasi gagasan-gagasan perubahan yang muncul dari anak dan remaja. Institusi pendidikan punya peran penting untuk memperluas dampak atas implementasi gagasan perubahan sosial yang mereka buat.
Baca juga : Kaum Muda Melawan Pandemi Covid-19
Senias film dokumenter sekaligus Framework Change Global Leadership Ashoka, Amelia Hapsari, berpendapat, dunia terus berubah. Keterampilan membuat solusi semestinya bisa ditumbuhkan sejak usia anak.
”Keterampilan seperti itu akan bermanfaat bagi individu anak kelak saat dia dewasa. Selain itu, dengan keterampilan yang sama, dia bisa mengajak orang lain untuk bersama-sama memecahkan permasalahan di masyarakat,” ujar Amelia.