Aksi Kekerasan Wakil Rakyat di Hadapan Rakyat Dikecam
Perkawinan seharusnya membawa kebahagiaan. Namun dalam kenyataan, praktik kekerasan dalam rumah tangga terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, KDRT tidak lagi terjadi di rumah, tetapi juga di area publik.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga selama ini tidak banyak terungkap karena tersembunyi di balik tembok-tembok rumah. Namun, peristiwa yang di jalan raya Tumatangtang, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, pada 24 Januari 2021 membuka mata banyak orang, betapa kekerasan dalam rumah tangga bisa berpindah ke ruang publik.
Peristiwa yang terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial dan menjadi perbincangan hangat di media sosial, bahkan dipublikasikan di media massa, menarik perhatian publik. Pasalnya, di dalam video tersebut terlihat seorang perempuan berada di atas kap mobil yang sedang melaju, berpegangan di wiper mobil berteriak minta tolong. Mobil tersebut akhirnya berhenti setelah dihadang masyarakat setempat yang mendengarkan teriakan sang perempuan.
Belakangan terungkap, perempuan tersebut nekat mencegat mobil tersebut karena di dalam mobil itu terdapat suaminya bersama perempuan lain. Diduga, perempuan itu menjalin hubungan khusus dengan suaminya.
Sang suami tersebut merupakan salah satu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sulut. Sementara itu, istrinya seorang pemimpin lembaga keagamaan di Sulut. Dua-duanya adalah sosok yang cukup dikenal masyarakat Sulut.
Maka, sesaat setelah video tersebut viral, kecaman pun memenuhi media sosial. Berbagai pernyataan ditujukan kepada sang suami. Perbuatan tersebut dinilai sebagai perbuatan yang tidak manusiawi dan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berisiko menghilangkan nyawa seseorang.
Tak hanya berhenti di kecaman, para aktivis perempuan dan perlindungan anak pun angkat suara, melalui Gerakan Perempuan Sulut (GPS) Lawan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Mereka mengecam perbuatan yang dilakukan JAK. Para perempuan dan aktivis yang di dalamnya juga terdapat sejumlah perempuan pendeta dan Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) pun mengeluarkan petisi dan menemui Badan Kehormatan (BK) DPRD Sulut.
Mereka menyerukan kepada semua pihak untuk mencegah, menghentikan, dan menghapus berbagai praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menuntut JAK segera diberhentikan dari jabatan sebagai pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Sulut. Sebagai wakil rakyat yang seharusnya memberi contoh dalam perlindungan perempuan dan anak, JAK justru mempertontonkan sikap yang sangat tidak manusiawi di hadapan publik, mengemudi mobil yang mengancam nyawa istrinya.
Suara para perempuan Sulut tersebut langsung ditanggapi BK DPRD Sulut. Sekitar dua pekan kemudian, DPRD Sulut menggelar rapat paripurna mendengarkan hasil pemeriksaan BK terhadap dugaan pelanggaran sumpah dan janji yang dilakukan oleh JAK.
Ketua BK DPRD Sulut Sandra Rondonuwu menyampaikan, dari pemeriksaan, JAK melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya yang ditonton langsung masyarakat. Perbuatan tersebut selain pelanggaran terhadap sumpah dan janji, juga mencederai kewibawaan dan kehormatan DPRD sebagai lembaga representasi masyarakat.
Kejadian ini bukanlah soal JAK semata-mata, melainkan merupakan pembelajaran penting bagi setiap anggota DPRD untuk berhati-hati dan menjaga kehormatan lembaga. (Sandra Rondonuwu)
Oleh karena itu, BK DPRD Sulut merekomendasikan untuk menetapkan sanksi pelanggaran sumpah dan janji kepada JAK dengan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua DPRD Sulut. Adapun terkait pemberhentian JAK dari anggota DPRD Sulut, BK menyerahkan keputusan tersebut pada mekanisme pimpinan partai yang bersangkutan.
”Kejadian ini bukanlah soal JAK semata-mata, melainkan merupakan pembelajaran penting bagi setiap anggota DPRD untuk berhati-hati dan menjaga kehormatan lembaga,” tegas Sandra.
Rekomendasi BK tersebut kemudian diserahkan kepada Ketua DPRD Fransiscus Andi Silangen, yang kemudian membacakan usulan pemberhentian JAK dari jabatan wakil ketua DPRD, dan menyerahkan pemberhentian sebagai anggota DPRD kepada pihak partai tempat JAK bernaung. Selanjutnya, usulan tersebut akan dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk proses pemberhentian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tak hanya ke DPRD Sulut, sejak dua pekan lalu, melalui laman: change.org GPS juga disampaikan petisi ”Stop Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak, Pecat James Arthur Kojongian Dari DPRD Sulut!” Hingga Jumat (19/2/2020), lebih dari 5.300 orang menandatangani petisi tersebut dengan menyertakan sejumlah alasan, mengapa mendukung petisi tersebut antara lain:
”Tidak sepantasnya seorang pejabat melakukan hal sedemikian kepada keluarga terutama istri. Jika jabatan beliau diteruskan saya takut ada pejabat lain yang melakukan hal sama. Sangat tidak etis sekali menurut saya. Karena ulah satu orang, nama kota juga ikut tercemar. Masih banyak orang baik yang bisa menggantikan beliau.”
”Seorang wakil rakyat tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang tidak baik, apalagi di depan publik. Mohon agar beliau diberikan sanksi yang sepatutnya demi keadilan bagi perempuan.”
Sebagian masyarakat mengungkapkan tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang pejabat publik tega melakukan kekerasan, dengan cara menjalankan mobil pada saat istrinya persis di depan mobil. Jika saja sang istri tidak berpegangan pada wiper mobil, mungkin saja nyawanya bisa melayang, Beruntung, aksi kekerasan itu segera dihentikan masyarakat.
Peristiwa tersebut mengundang keprihatinan mendalam, bukan hanya KDRT saja, melainkan juga menunjukkan betapa rendahnya penghargaan pada nilai-nilai perkawinan yang seharusnya menjadi sakral bagi setiap pasangan.
Gerakan Perempuan Sulut menegaskan, peristiwa tersebut sesungguhnya hanyalah fenomena gunung es dari kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Sulut.
”Peristiwa itu menjadi alarm bagi seluruh masyarakat untuk bersama-sama peduli terhadap situasi dan kondisi perempuan yang mengalami kekerasan, dan melindungi para perempuan dan anak, supaya jangan ada lagi yang menjadi korban,” tegas Ruth Ketsia Wangkai dan Jul Takaliuang dari GPS.
Tak hanya di Sulut, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberi dukungan atas Gerakan Perempuan Sulut, untuk mengingatkan publik agar insiden serupa tidak berulang. Karena itu, Komnas Perempuan mengapresiasi rekomendasi BK DPRD Sulut sebagai bentuk komitmen dalam perlindungan perempuan di Sulut.
”Kami sudah mengirim surat kepada DPRD Sulut dan menyampaikan pandangan kami kepada BK DPRD Sulut,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani yang berharap pihak terkait menindaklanjuti rekomendasi BK DPRD Sulut tersebut.
Peristiwa KDRT yang ditampilkan di ruang publik sesungguhnya hanya sebagian kecil berbagai bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini terjadi. Bagi masyarakat Sulut sendiri, menjadi tamparan sekaligus pelajaran berharga, sekaligus membuka mata masyarakat untuk mencegah praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak yang hampir setiap saat terjadi.
Sudah saatnya menghentikan sikap permisif masyarakat yang melihat praktik KDRT, termasuk permisif dalam memandang praktik hubungan antara pasangan laki-laki/perempuan yang telah berkeluarga dengan orang lain.
Lebih dari itu, peristiwa di Kota Tomohon yang melibatkan pejabat publik seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik dan semua pihak untuk berhenti melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji, yang merendahkan harkat dan martabat perempuan.