Budaya penelitian di perguruan tinggi akan membantu menghasilkan pengetahuan yang relevan bagi pembuat kebijakan ataupun kampus.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian akademis berkelanjutan akan menghasilkan pengetahuan yang relevan bagi pembuat kebijakan dan perguruan tinggi itu sendiri. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu terus-menerus membangun budaya riset dan penelitian.
Ketua Forum Rektor Indonesia Arif Satria saat dihubungi, Rabu (17/2/2021), di Jakarta, mengatakan, bentuk penelitian dasar harus selalu dilakukan perguruan tinggi untuk kebutuhan langsung keilmuan. Kemudian, riset terapan juga harus dikembangkan agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai contoh, topik riset substitusi tepung terigu. Perguruan tinggi sudah mempunyai penelitian-penelitian yang mendukung, seperti tepung berbahan singkong. Pemerintah semestinya telah mempunyai kebijakan dan peraturan teknis yang menjadi acuan menyeluruh baik bagi industri maupun pemerintah daerah.
Hal terpenting yang tidak boleh diabaikan sebenarnya adalah formulasi kebijakan nasional berbasis hasil riset. Jadi, keduanya (penelitian dan kebijakan) berjalan linear.
”Hal terpenting yang tidak boleh diabaikan sebenarnya adalah formulasi kebijakan nasional berbasis hasil riset. Jadi, keduanya (penelitian dan kebijakan) berjalan linear,” ujarnya.
Sebelumnya, saat mengumumkan dana riset bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) bagi 12 perguruan tinggi negeri berbadan hukum, Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro menyebut ada tiga kelompok topik riset yang ditekankan pemerintah. Kelompok pertama adalah prioritas riset nasional yang mempunyai sekitar 50 topik, lalu kelompok kedua adalah topik inovasi penanganan Covid-19 dan vaksin, serta kelompok ketiga adalah produk tepat guna.
Menurut Arif, penekanan seperti itu sah-sah saja. Penelitian di perguruan tinggi akan mengikuti dengan menyelaraskan agenda risetnya. Hanya saja, pemerintah pusat perlu ikut mengawasi pelaksanaan dan menjadi mediator apabila terjadi permasalahan.
Contohnya, insentif supertax deduction yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153 Tahun 2020. Insentif ini berupa pengurangan penghasilan bruto bagi pelaku industri yang mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi. Hanya saja, Arif memandang, sosialisasi insentif itu perlu lebih digencarkan pemerintah.
Dalam konteks hilirisasi, kejadian yang pernah muncul adalah pelaku industri membeli produk hasil penelitian dari perguruan tinggi. Namun, pelaku industri bersangkutan hanya mengontrak lisensi saja dan sengaja hasil penelitian itu tidak dikembangkan. Menyikapi hal ini, pemerintah seharusnya turun dan berperan sebagai mediator.
Kebutuhan pendanaan penelitian besar. Karena itu, kolaborasi antar-perguruan tinggi, pelaku industri, dan lembaga riset semestinya perlu didorong. Selain membantu berbagi keperluan anggaran, kolaborasi riset mampu menekan pengulangan tema.
Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf berpendapat, Indonesia masih termasuk salah satu negara yang belanja penelitian dan pengembangannya rendah meskipun dari sisi pendapatan, Indonesia telah masuk negara upper-middle income.
Menurut riset Linking Academic Research and Policymaking (dalam buku Knowledge, Politics, and Policymaking in Indonesia, terbitan Springer, 2018), pada 2015, belanja penelitian dan pengembangan di Indonesia hanya 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, empat tahun sebelumnya, pada 2011, belanja penelitian dan pengembangan Malaysia sekitar 1 persen dari PDB, China 1,7 persen, Singapura 2,1 persen, dan Korea Selatan 3,7 persen.
Mayoritas pendanaan penelitian dan pengembangan di Indonesia berasal dari pemerintah. Sebaliknya, lembaga penelitian di Malaysia, China, Jepang, Korsel, dan Singapura menerima investasi dari swasta lebih besar.
Di Indonesia, masih banyak para peneliti bidang sains dan teknologi yang mengeluh tentang fasilitas laboratorium yang ketinggalan. Dengan kata lain, kebutuhan pendanaan riset mesti ditambah untuk mengatasi masalah infrastruktur.
Lalu, pendanaan perlu mempertimbangkan bahwa penelitian memiliki proses yang berjangka panjang. Selain itu, keluaran riset mesti berupa publikasi ilmiah. Perguruan tinggi seringkali dituntut harus sesegera mungkin menerbitkan publikasi ilmiah. Padahal, proses kajian (peer-review) yang penuh kehati-hatian bisa berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
Selain itu, kontrol kualitas dari jurnal sebagai acuan peer-review butuh ditingkatkan dengan mensyaratkan publikasinya di jurnal terindeks dan berdampak di laman sains (WoS). Dan ironisnya, sejauh ini, Indonesia tercatat sebagai salah satu pengguna jurnal abal-abal terbesar.
”Hal itu bukan hanya pemborosan anggaran, melainkna juga bisa masuk kasus penyalahgunaan dana publik yang telah ditetapkan untuk penelitian akademis,” katanya.
Dia memandang, kebijakan pemerintah terkait riset sering kali belum mengakomodasi semua bidang ilmu. Sebagai contoh, pada saat hilirisasi cenderung bias ke bidang atau tipe riset tertentu.
”Jangan sampai sistem menganakemaskan dan menganaktirikan bidang-bidang riset tertentu hanya karena seolah tidak kelihatan hilirnya. Hulu dan hilir saling melengkapi. Riset basic mRNA di Jerman melahirkan produk hilir Pfizer bisa jadi contoh,” katanya.
Pelaksana Tugas Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Muh Dimyati mengatakan, data produktivitas paten Indonesia yang tercatat dalam database Organisasi Dunia untuk Hak Kekayaan Intelektual (WIPO) selama lima tahun terakhir naik. Di Asia Tenggara, produktivitas Indonesia dalam menghasilkan jumlah paten menempati posisi nomor satu.