Tahun Ini, 150-200 D-3 Ditargetkan Naik Tingkat ke D-4 atau Sarjana Terapan
Peningkatan diploma tiga menjadi sarjana terapan merupakan program prioritas nasional. Kebijakan ini diharapkan melalui proses kajian persiapan matang dan komprehensif.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berharap, sampai akhir tahun 2021, terdapat 150-200 program diploma tiga yang beralih status naik menjadi diploma empat atau sarjana terapan. Rencana kebijakan ini perlu mempertimbangkan pemetaan kesiapan pasar kerja dan masyarakat.
Harapan kenaikan status tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wikan Sakarinto, Selasa (16/2/2021), di Jakarta. Kebijakan kenaikan status D-3 menjadi D-4/S-1 terapan tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Nomor 55/D/HK/2020 tentang Persyaratan dan Prosedur Peningkatan Program Diploma Tiga Menjadi Sarjana Terapan tanggal 9 November 2020.
Keputusan itu menjelaskan, peningkatan program D-3 menjadi D-4/S-1 Terapan merupakan salah satu program strategis untuk meningkatkan relevansi kompetensi lulusan vokasi dengan dunia usaha/industri (DUDI). Maka, dalam proses alih status itu, perguruan tinggi vokasi harus berkolaborasi dengan DUDI yang dimulai dari penyusunan kurikulum.
Wikan mengatakan, kenaikan status membutuhkan 14 syarat yang wajib dipenuhi. Misalnya, pemimpin perguruan tinggi memiliki D-3 terakreditasi minimal B atau baik sekali, pernah terlibat membina sekolah menengah kejuruan, dan bekerja sama dengan mitra DUDI.
Beralih status naik menjadi D-4/S-1 terapan itu hak. Namun, kalau perguruan tinggi mau upgrading, kampus bisa mendapat beberapa keuntungan. Misalnya, lulusan lebih berdaya saing, meningkatkan cutting score seleksi penerimaan, dan minat mahasiswa mengikuti kuliah akan naik.
”Beralih status naik menjadi D-4/S-1 terapan itu hak. Namun, kalau perguruan tinggi mau upgrading, kampus bisa mendapat beberapa keuntungan. Misalnya, lulusan lebih berdaya saing, meningkatkan cutting score seleksi penerimaan, dan minat mahasiswa mengikuti kuliah akan naik,” ujarnya.
Apabila telah berstatus D-4/S-1 terapan, pelaksanaan pembelajaran tetap dengan porsi 60 persen praktik dan 40 persen teori. Kemudian, penelitian terapan bisa semakin digencarkan, baik berkolaborasi dengan industri maupun lintas institusi perguruan tinggi.
Ketua Forum Direktur Politeknik Negeri Indonesia (FDPNI) Zainal Arief mengatakan, peminat politeknik negeri jenjang D-3 dan S-1 terapan masih cukup besar. Rata-rata rasio pendaftar dengan daya tampung adalah 10:1.
”Tidak bisa dibuat rata semua D-3 menjadi D-4 karena masih ada kebutuhan tenaga lulusan D-3. Proses upgrading mesti dilakukan bertahap dan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan lokasi, kompetensi, dan waktu,” ujarnya.
Lebih jauh, menurut Zainal, sambil menunggu waktu kenaikan status, pemerintah perlu segera melakukan penguatan bagi program D-3. Misalnya, penguatan sarana-prasarana, sumber daya manusia, dan kolaborasi program akademik dengan industri.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat, saat dihubungi terpisah, mengatakan, kebijakan menaikkan status D-3 menjadi D-4/S-1 terapan perlu dipersiapkan secara matang dan komprehensif. Pasalnya, ada perbedaan karakteristik dan orientasi antara jenjang D-3 dan D-4/S-1 terapan.
Kondisi D-3 di Indonesia mempunyai beragam jurusan. Keberagaman ini berimplikasi pada sumber daya manusia, sektor usaha, dan infrastruktur.
”Pemerintah tidak bisa terlalu memaksakan upgrading harus selesai pada tenggat tertentu. Lalu, apakah pemerintah sudah memikirkan implikasi upgrading ke Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Sistem Pendidikan Nasional?” ujar Rakhmat.
Meski demikian, Rakhmat menceritakan, di luar negeri, jenjang D-3 atau D-4 tidak ada meskipun pendidikan vokasi berkembang pesat. Beberapa negara menerapkan sarjana vokasi dan sarjana akademik. Perbedaannya terletak pada pembobotan pembelajaran. Sarjana vokasi menekankan keterampilan aplikatif, sedangkan sarjana akademik menekankan pengetahuan.
Apabila Pemerintah Indonesia ingin mengikuti situasi itu, dia berpendapat amat dimungkinkan. Ketiadaan jenjang pendidikan tinggi vokasi tidak akan menimbulkan kesan membingungkan masyarakat dan DUDI.
”Jika mau ’disetarakan’ sarjana vokasi seperti di luar negeri, perubahan harus bertahap. Jangka panjang. Masyarakat dan DUDI mesti diedukasi dulu,” pungkasnya.