Kecerdasan buatan makin banyak digunakan dalam layanan kesehatan jarak jauh. Pemanfaatan teknologi itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan dan kenyamanan bagi pengguna dan mitra penyedia layanan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Kecerdasan buatan telah digunakan perusahaan teknologi di bidang kesehatan Halodoc sejak tiga tahun lalu. Penyediaan layanan kesehatan jarak jauh itu memakai kecerdasan buatan untuk meningkatkan mutu layanan. Untuk itu, Halodoc selalu menambah tenaga ahli setiap tahun.
Chief Product Officer Halodoc Alfonsius Timboel, Jumat (12/2/2021), di Jakarta, mengatakan, Halodoc mulai mengeksplorasi inovasi kecerdasan buatan (AI) pada tahun 2018. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan pengalaman dan kenyamanan layanan bagi pengguna dan mitra.
”Pengembangan AI selalu fokus pada human-centered artificial intelligence atau menitikberatkan pada pengetahuan manusia sebagai bagian krusial dalam meningkatkan kemampuan AI secara berkelanjutan,” ujarnya.
Proyek inovasi AI pertama Halodoc diluncurkan pada tahun 2018, yakni berupa image filtering menggunakan mesin pembelajaran yang disebut Not Sale for Work (NSFW). Inovasi ini lahir dari aduan mitra dokter perempuan yang beberapa kali mengirimkan foto kurang pantas dan tidak berhubungan dengan konsultasi yang dilakukan.
Kecerdasan artifisial dipakai untuk mengidentifikasi apakah foto yang dikirim berasal dari pangguna NSFW atau tidak. Jika foto yang dikirim pengguna teridentifikasi masuk kriteria NSFW, foto yang ditampilkan di aplikasi dokter akan tampak blur atau kabur. Setelah menerapkan teknologi itu, tak pernah ada lagi komplain dari mitra dokter menyangkut foto pasien yang kurang relevan dengan konsultasi.
Pengembangan AI selalu fokus pada human-centered artificial intelligence atau menitikberatkan pada pengetahuan manusia.
Proyek inovasi AI kedua adalah SAPE (Subjective, Assessment, Planning, dan Etiquette) yang meluncur pada triwulan II tahun 2019. Proyek SAPE bertujuan menjaga kualitas konsultasi dokter mitra Halodoc.
Bekerja sama dengan Google, Halodoc merumuskan Natural Language Processing berdasarkan ribuan konsultasi dokter sebelumnya untuk merumuskan standar SAPE. Dalam konsultasi, mitra dokter harus menerapkan prinsip ini untuk memastikan semua pasien mendapat mutu sama saat memakai Halodoc.
Dalam setiap konsultasi, dokter wajib bertanya tindak lanjut, lalu menjelaskan dugaan penyakit yang diderita, dan menerangkan pilihan langkah lanjutan dari konsultasi tersebut. AI kemudian berfungsi untuk mengidentifikasi konsultasi dokter dengan pasien dan memberikan umpan balik berupa rating dari tiap kriteria SAPE ini.
Selanjutnya, hasilnya akan dilaporkan kepada Komite Medik yang berisi para dokter senior dari berbagai latar belakang. Apabila ada umpan balik buruk, dokter bersangkutan akan dibimbing oleh dokter senior. Dengan adopsi proyek SAPE, rating aplikasi Halodoc naik dari 4,5 menjadi 4,8 dari skala 5. Penilaian puas dari konsumen meningkat 64 persen.
Selama dua tahun terakhir, Alfonsius menyampaikan, tim yang bertanggung jawab untuk inovasi AI selalu naik. Meski demikian, masih ada tenaga asing.
”Di sejumlah negara, pencarian tenaga kompeten di bidang AI ataupun mesin pembelajaran juga sulit. Hal ini wajar sebab AI ataupun mesin pembelajaran makin dibutuhkan industri,” ujarnya.
Seiring dengan peningkatan permintaan tenaga ahli bidang AI dan teknologi yang terus berkembang, pemerintah semestinya ikut memastikan kurikulum di pendidikan tinggi mendukung. Jadi, setiap lulusan segera berkontribusi ke industri. ”Hal itu mempersingkat waktu mereka belajar baru dan adaptasi,” imbuhnya.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia bidang kecerdasan buatan, pemerintah memiliki strategi nasional pengembangan kecerdasan buatan hingga 2045. Perguruan tinggi menjadi salah satu elemen penting untuk menyukseskan strategi nasional itu.
Dokumen ”Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045” yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) disebutkan, Indonesia punya peluang ekosistem inovasi kecerdasan buatan (AI) yang terlihat dari beberapa hal.
Pemerintah, misalnya, telah melaksanakan Program Satu Data melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019, Visi Indonesia Emas 2045, Peta Jalan Making Indonesia 4.0, Rencana Induk Riset Nasional, dan sejumlah sektor prioritas yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Dokumen yang dikeluarkan tahun 2020 ini juga memuat beberapa kekuatan Indonesia untuk menerapkan AI. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur dan konektivitas nasional yang semakin meningkat ke seluruh wilayah Nusantara dan potensi pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Selanjutnya, kampus perguruan tinggi menyebar merata dan beberapa di antaranya telah berstandar internasional. Pemerintah juga mempunyai program pendanaan riset yang memungkinkan dipakai perguruan tinggi dan pelaku industri.
Nurtami, Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI) Bidang Riset dan Inovasi, Kamis (11/2/2021), mengatakan, sejalan dengan ”Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045”, UI telah mempunyai peta jalan desain proses riset AI melalui Surat Keputusan (SK) Rektor UI Nomor 1738 Tahun 2020. SK ini menyiratkan pentingnya AI untuk fokus riset di UI.
”Selama tiga tahun mendatang, kegiatan fokus untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul, terutama bidang AI. Kami menyediakan layanan komputasi untuk mendukung riset AI yang berupa infrastruktur high performance computing (HPC). HPC ini dapat dipakai untuk praktik pengelolaan mahadata dari berbagai kegiatan akademik ataupun riset,” ujarnya.
Untuk mempersiapkan sumber daya manusia kompeten di bidang inovasi AI, UI memiliki program pendidikan formal dan informal berupa pelatihan dan lokakarya.
Inti keilmuan untuk inovasi AI terletak pada ranah ilmu komputer. Maka, Fakultas Ilmu Komputer UI menyiapkan program studi (prodi) yang lebih banyak aktif. Di luar itu, sivitas akademika di luar prodi tetap bisa mengikuti pelatihan kompetensi yang mendukung AI, seperti bertemakan mesin pembelajaran dan sains data.