Transformasi Lembaga Penyiaran Publik Perlu Dukungan Masyarakat
Transformasi lembaga penyiaran publik di Indonesia membutuhkan dukungan utama dari masyarakat, kebijakan pemerintah, dan perbaikan manajemen di internal.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lanskap industri media dan situasi politik bergerak dinamis selama 20 tahun terakhir. Namun, transformasi yang dilakukan lembaga penyiaran publik belum mampu mengikuti perubahan itu.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar ”Tantangan Masyarakat Sipil Mewujudkan Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia: Perspektif Internasional”, Minggu (14/2/2021), di Jakarta.
Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, TVRI dan RRI diakui sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara. Sejak 2005 hingga kini, status TVRI berubah menjadi LPP sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia. Sementara status RRI berubah menjadi LPP sesuai dengan PP Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.
Pendiri Rumah Perubahan LPP, Masduki, berpendapat, penyebab transformasi LPP masih lemah dipengaruhi dari aspek regulasi. UU No 32/2002 hanya berisi dua pasal, yakni pasal 14 dan 15, yang secara khusus mengatur tentang LPP. Ada penyimpangan semangat UU No 32/2002 dalam peraturan turunan, seperti PP No 11/2005, PP No 12/2005, dan PP No 13/2005.
Upaya dari manajemen LPP untuk bertransformasi secara optimal belum tampak. Sebaliknya, dia memandang terdapat resistensi. Ditambah lagi, ada persoalan sistemis yang belum terselesaikan, seperti ketergantungan anggaran operasional dari negara.
Sekitar 20 tahun terakhir, masyarakat berhadapan dengan pendengung (buzzer), disinformasi, dan hoaks. Masyarakat sebenarnya membutuhkan platform alternatif untuk melawan isu tersebut. LPP sejatinya punya peluang peran besar. (Masduki)
”Sekitar 20 tahun terakhir, masyarakat berhadapan dengan pendengung (buzzer), disinformasi, dan hoaks. Masyarakat sebenarnya membutuhkan platform alternatif untuk melawan isu tersebut. LPP sejatinya punya peluang peran besar,” ujar Masduki.
Konsultan International Media Support/IMS Indonesia R Kristiawan berpandangan senada dengan Masduki. Persoalan belum optimalnya transformasi LPP dapat ditelaah dari faktor kebijakan dan manajerial.
”Asistensi akademisi dan organisasi masyarakat sipil bisa dimaksimalkan. Akan tetapi, bayang-bayang negara dalam tubuh LPP masih kuat. Kami rasa, melanjutkan skema UU khusus TVRI dan RRI akan membantu menguatkan kelembagaan LPP,” katanya.
Senior Editor Deutsche Welle Jerman Hendra Pasuhuk mengatakan, media sosial membawa perubahan besar di lanskap industri media massa secara umum. Cara kerja media sosial umumnya meneruskan konten dari produser.
LPP semestinya bergerak dari paradigma pelayanan menjadi partisipasi dan pemberdayaan publik. Partisipasi publik penting untuk membantu LPP sebagai supervisi konten.
Di luar negeri, ketahanan LPP di tengah dinamika industri media massa dan situasi politik bergantung pada rasa kepemilikan publik. Wacana konten dilontarkan dari publik, misalnya akademisi.
Untuk konteks Indonesia, dia memandang, rasa kepemilikan publik perlu dibangkitkan. Hingga sekarang, belum ada riset opini seluruh warga tentang urgensi kehadiran LPP. Rasa memiliki LPP cenderung datang dari kelompok kecil di masyarakat.
Jurnalis senior dan mantan Direktur VOA Indonesia Frans Padak Demon mengatakan, dinamika transformasi LPP akan selalu terjadi guna mencari bentuk terbaik. Pengalaman VOA, misalnya, dapat dipelajari oleh LPP di Indonesia.
VOA pernah berstatus perusahaan jawatan, seperti dialami oleh dua LPP Indonesia itu. Namun, VOA mempunyai prinsip kerja jurnalistik kuat yang tertuang dalam VOA Charter. Inilah yang menjadi ”pagar api” antara redaksi dan pengelolaan nonredaksi.
Di tengah perubahan lanskap industri media massa karena media sosial, VOA membuat prinsip kode etik baru bagi wartawannya. Salah satunya, akun pribadi media sosial milik jurnalis dilarang mengunggah konten yang berpihak pada sikap politik tertentu.
Sebagai LPP, NHK juga punya dasar kerja jurnalistik yang kuat pula. Isu kesehatan dan keselamatan selalu diutamakan. Sebab, kedua isu itu yang dikemas dengan pendekatan jurnalistik yang optimal selalu ditunggu publik.
NHK saat ini punya sekitar 27 perusahaan afiliasi yang bisa tetap mendatangkan pemasukan. Di luar itu, pendapatan utama mereka dari iuran pemilik televisi dan perusahaan tetap berjalan.
Menurut Frans, di tengah pergerakan industri media massa dan politik yang amat dinamis, LPP bisa bertahan jika selalu berpijak pada konten yang kuat. Tradisi kuat jurnalisme di VOA ataupun NHK bisa dipakai sebagai inspirasi untuk pengembangan LPP di Indonesia.