Diduga Mengarah Perdagangan Anak, Polisi Diminta Selidiki Promo Perkawinan Anak
Promosi Aisha Weddings dengan menganjurkan perkawinan anak, selain melanggar hukum, juga kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran informasi dalam bentuk pamflet ataupun secara daring yang berisi ajakan untuk menikah pada usia 12-21 tahun mengundang kemarahan dan kecaman publik. Selain dinilai melanggar hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Perlindungan Anak, konten dan promosi Aisha Weddings Organizer ditengarai mengarah pada modus perdagangan orang.
Karena itu, aparat penegak hukum didesak segera melakukan penyelidikan agen atau penyalur pamflet Aisha Weddings yang menimbulkan keresahan atas timbulnya modus baru perdagangan anak yang dikemas dalam jasa perkawinan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Rabu (10/2/2021), setelah mendapat informasi tersebut langsung berkoordinasi dengan Kepolisian Negara RI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan meminta dilakukan penyelidikan lebih lanjut atas penyebaran konten tersebut.
Kami khawatir, data pribadi anak-anak dan remaja yang tertarik dengan situs tersebut justru disalahgunakan dan mereka menjadi target tindakan pelanggaran hukum lainnya, seperti eksploitasi seksual ekonomi kepada anak hingga perdagangan anak. Itu sebabnya kami akan melibatkan pihak aparat hukum agar anak-anak tidak menjadi korban. (I Gusti Ayu Bintang Darmawati)
”Kami khawatir, data pribadi anak-anak dan remaja yang tertarik dengan situs tersebut justru disalahgunakan dan mereka menjadi target tindakan pelanggaran hukum lainnya, seperti eksploitasi seksual ekonomi kepada anak hingga perdagangan anak. Itu sebabnya kami akan melibatkan pihak aparat hukum agar anak-anak tidak menjadi korban,” ujar Bintang, yang sejak Rabu pagi hingga petang terus mengeluarkan pernyataan menentang penyebaran konten tersebut.
Peredaran informasi tersebut dinilai sebagai tindakan pelanggaran hukum karena mendorong perkawinan anak, yang bertentangan dengan undang-undang dan tidak sejalan dengan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, terutama dalam pencegahan perkawinan anak.
Di dalam akun tersebut terdapat pesan untuk kaum muda yang tertulis, antara lain, ”Semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih”. Akun tersebut juga menganjurkan nikah siri dan poligami.
”Pesan ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat dan sangat memengaruhi cara pandang kaum muda untuk terdorong melakukan nikah secara siri dan menikah di usia anak,” ujar Bintang.
Aisha Weddings dinilai telah memengaruhi pola pikir anak muda, termasuk menyampaikan jika menikah itu mudah. Padahal, pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 yang menyebutkan perkawinan diizinkan apabila perempuan dan laki-laki sudah berumur 19 tahun.
Tak hanya itu, promosi Aisha Weddings tersebut juga melanggar dan mengabaikan pemerintah dalam melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016.
Sejumlah organisasi perlindungan anak dan perempuan menyinyalir promosi konten tersebut mengarah pada perdagangan orang dengan modus perkawinan anak. Polisi diminta mengusut hal tersebut.
”Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku di Indonesia dan merupakan sikap melawan negara. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan tegas untuk penegakan hukum oleh pihak yang berwenang dan dibutuhkan desakan publik untuk menghentikan tindakan yang merusak generasi bangsa,” ujar Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menegaskan, pihaknya telah meminta kepada kepolisian untuk mengusut hal tersebut karena selain menampilkan gambar-gambar anak, konten tersebut juga menganjurkan perkawinan dalam usia anak, yang jelas tertulis mulai dari usia 12 tahun.
”(Ada) Dugaan terkait pelanggaran tindak pidana perdagangan orang, kami sudah koordinasi dengan kepolisian untuk mengejar pelaku dan koordinasi dengan Kominfo agar menutup situs-situs terkait,” ujar Rita.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menyatakan, konten promosi Aisha Wedding Organizer menunjukkan proses tawar-menawar anak perempuan sebagai obyek komoditas jasa perkawinan. Hal ini ditengarahi mengarah pada modus perdagangan orang yang termaktub dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
”Di mana anak perempuan dipromosikan sedemikian rupa dengan anjuran-anjuran tertentu agar terjadilah praktik dagang, dan dalam kasus ini jelas sekali bahwa jasa wedding organizer ini memperdagangkan anak perempuan untuk memperoleh keuntungan usaha,” kata Mike.
Promosi perkawinan yang dilakukan Aisha Weddings merupakan potensi adanya perdagangan anak dan modus pedofilia dengan dalih menjual jasa perkawinan. Karena itu, aparat penegak hukum diminta segera melakukan penyelidikan agen atau penyalur pamflet Aisha Weddings yang menimbulkan keresahan atas timbulnya modus baru perdagangan anak yang dikemas dalam jasa perkawinan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyatakan, pihaknya mendukung langkah Kementerian PPPA untuk mendorong kepolisian melakukan penyelidikan yang utuh mengenai pelaksana promosi tersebut, sebab mendorong pelanggaran hukum terkait usia minimum pernikahan dan memiliki indikasi perdagangan orang melalui modus perkawinan anak.
”Dari informasi yang dihimpun, jasa yang diajukan juga mendorong perkawinan lebih dari satu tanpa memperhitungkan pengalaman kelam perempuan. Ketiga persoalan tersebut, yakni perkawinan anak, indikasi perdagangan orang, perkawinan poligami, dalam pengamatan Komnas Perempuan menempatkan perempuan dalam risiko tinggi mengalami kekerasan berkelanjutan,” kata Andy.
Sementara itu, penerbit harian Kompas mengeluarkan pernyataan terkait penyisipan brosur di lembaran harian Kompas edisi Selasa, 9 Februari 2021, di wilayah tertentu. Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo menegaskan penyisipan brosur dilakukan tidak sepengetahuan dan tidak seizin harian Kompas.
”Kami menyesalkan kejadian tersebut dan meminta maaf atas ketidaknyaman yang dialami pembaca setia harian Kompas. Kami sedang menelusuri penyisipan tersebut dan mengupayakan agar kejadian seperti itu tidak terjadi lagi di kemudian hari,” ujar Budiman.