Industri media terdesak Pandemi Covid-19 dan perkembangan platform digital. Menyikapi ini, pemerintah menjanjikan sistem ekonomi dan aturan main yang adil.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menjanjikan sistem ekonomi dan aturan main yang adil untuk industri media dan platform digital. Sejumlah regulasi telah diterbitkan. Meskipun demikian, pemerintah masih membuka diri untuk berbagai rekomendasi baru.
Hal itu disampaikan Presiden pada acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/2/2021). Hadir dalam acara yang juga digelar secara virtual itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh.
”Saya juga menyadari bahwa industri media sedang terdesak dengan perkembangan media sosial yang sangat masif dan cepat. Saya setuju, diperlukan konvergensi dan level playing field yang adil,” kata Presiden dalam pidatonya.
Sebagian aspirasi tersebut, menurut Presiden, sudah ditampung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan pelaksana yang berkaitan dengan informasi baru saja terbit, yakni Peraturan Pemerintah tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Namun, pemerintah masih membuka diri terhadap aspirasi dari media.
Untuk itu, Presiden Jokowi berjanji memerintahkan para menteri terkait guna menerbitkan regulasi yang melindungi hak karya jurnalistik. Dengan demikian, manfaat ekonomi dari karya jurnalistik bisa dinikmati secara berimbang oleh media konvensional sebagai produsen karya maupun platform digital selaku agregatornya.
Selama ini, penerbit berita mengunggah dan mendistribusikan konten mereka ke platform digital global. Platform digital global menggunakan teknologi mereka untuk menentukan di mana dan kapan konten tersebut muncul di platform, termasuk untuk mengontrol ekosistem periklanan digital.
Kondisi ini memunculkan sejumlah mata rantai persoalan yang berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat. Penerbit berita memang mendapatkan keuntungan karena konten mereka terdistribusi, tetapi ini tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh platform digital.
Bukan hanya itu, ini menjadi ”bumerang” bagi penerbit karena iklan yang tersedot ke platform digital. Kondisi ini membuat bisnis penerbit surut karena pendapatan iklan turun.
Pandemi memperparah kondisi ini. Sejumlah media cetak tutup. Pendapatan iklan media daring pun, berdasarkan data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), turun hingga 50 persen dibanding sebelum pandemi meski keterbacaan berita meningkat sekitar 40 persen.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Pusat Atal S Depari mengatakan, di tengah krisis ekonomi akibat pandemi, sejumlah perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan. Bahkan, tak sedikit perusahaan media yang gulung tikar. Ada pula yang berusaha menyambung hidup dengan pindah ke platform digital sambil belajar beradaptasi.
Distribusi konten di platform digital global yang tidak membedakan konten jurnalistik dan konten nonjurnalistik, termasuk hoaks, bisa menyesatkan publik. Cara kerja algoritma mesin pencari, menurut Pengurus Pusat AMSI Anthony Wonsono, Senin (8/2/2021), juga memengaruhi cara kerja di ruang redaksi. Demi umpan klik (clickbait) pada konten di platform digital global, sering kali kualitas jurnalisme dipertaruhkan.
Pertimbangan untuk menjaga profesionalisme dan kemerdekaan pers dalam ekosistem media itulah yang membuat Dewan Pers menginisiasi kajian peraturan tentang hak pengelola media. ”Publisher right itu isu bisnis yang berdampak pada kualitas jurnalisme dan kemerdekaan pers,” kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.
Kebebasan pers
Di tengah peringatan Hari Pers Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan semua pihak untuk menjaga kebebasan pers yang merupakan buah dari reformasi. Pers tidak saja menjadi mata dan telinga publik, tetapi juga wujud dari kebebasan berpendapat.
”Oleh karena itu, pers penting karena merupakan esensi bagi HAM dan demokrasi,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab.
Amiruddin mengatakan, pers adalah sarana bagi pemenuhan hak untuk mengetahui dan hak memperoleh informasi. Oleh karena itu, Komnas HAM memandang insan pers adalah pejuang-pejuang HAM karena menjadi wadah bagi perwujudan kebebasan berpendapat.
Ia mengingatkan, kebebasan pers yang dirasakan saat ini adalah buah dari reformasi. Oleh karena itu, semua komponen bangsa perlu bersama-sama merawatnya. Tujuannya agar HAM dan demokrasi di Indonesia menjadi lebih bermutu.
Penekanan terhadap pentingnya kebebasan berpendapat juga disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Pers, dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS). Mereka menuntut perlindungan terhadap jurnalis dan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ade Wahyudin dari LBH Pers merujuk pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat lebih aktif mengkritik kinerja pemerintah. Menurut dia, dari sekadar pernyataan retorik dan kebijakan spontan yang tak konsisten, Presiden perlu memperhatikan banyaknya kasus yang memberangus kebebasan berpendapat. Sebagai contoh, tahun 2020, Kapolri mengeluarkan surat telegram terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/presiden/pemerintah selama pandemi Covid-19.
Sustira Dirga dari ICJR menambahkan, berdasarkan hasil Survei Indikator Politik yang dirilis 25 Oktober 2020, sebanyak 36 persen dari 1.200 responden di seluruh Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. Adapun 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat.(LAS/IKA/EDN/DKA)