Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus dinantikan publik untuk melindungi korban kekerasan seksual. DPR diharapkan segera mewujudkan dengan menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Prolegnas Prioritas 2021.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah kejahatan serius yang harus menjadi perhatian bersama. Angka kekerasan seksual yang terus dilaporkan para penyintas hingga masa pandemi Covid-19 membuktikan Indonesia saat ini membutuhkan sistem yang holistik untuk dapat menghapuskan kekerasan seksual.
Maka, langkah-langkah progresif harus dibarengi dengan pengembangan suatu sistem perlindungan yang benar-benar mampu menghapuskan kekerasan seksual. Karena itulah, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak disahkan menjadi undang-undang.
Sebab, kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah begitu seringnya dan begitu mudahnya kekerasan seksual menghampiri siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dan di segala usia. (I Gusti Ayu Bintang Darmawatim)
”Sebab, kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah begitu seringnya dan begitu mudahnya kekerasan seksual menghampiri siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dan di segala usia,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawatim dalam sambutannya pada Grup Diskusi Terarah ”TOK RUU PKS” yang diselenggarakan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR, secara daring dan luring, Selasa (9/2/2020).
Saat ini, menurut Bintang Darmawati, Kementerian PPPA menerima pengaduan dan laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah, kantor, pabrik, perkebunan, lingkup perguruan tinggi, lembaga pendidikan asrama, terminal, dan halte kendaraan umum.
Bahkan kekerasan seksual juga terjadi di rumah sakit, tempat pengungsian, dan lembaga yang memiliki mandat untuk memberikan perlindungan bagi penyintas kekerasan. ”Semakin sering kekerasan seksual terjadi, semakin banyak daerah dan tempat menjadi ranah kekerasan seksual, maka semakin lemah masyarakat dalam melindungi warganya,” papar Bintang.
Kondisi ini diperparah oleh kemiskinan, bencana alam, serta krisis sosial ekonomi lainnya sehingga relasi antarindividu di masyarakat semakin timpang dan semakin rentan.
Bintang menegaskan, pandemi Covid-19 membuat keadaan semakin tidak menguntungkan terutama bagi perempuan dan anak. Kebijakan ”di rumah saja” memiliki tantangan tersendiri. Dengan tinggal di rumah, kekerasan tidak mudah diketahui oleh orang lain. Sementara penyintas semakin terbatas peluangnya untuk menghindari kekerasan di dalam rumah dengan cara berpindah tempat.
Begitu juga situasi di luar rumah juga tidak lebih baik. Krisis sosial ekonomi akibat pandemi juga membuat perempuan rawan terhadap eksploitasi seksual. Pada berbagai situasi pandemi, banyak ditemukan kasus perempuan yang dieksploitasi secara seksual sebagai syarat mendapatkan hak atas kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Menurut Bintang, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dapat ditunda lagi karena secara dasar penyusunannya telah memenuhi syarat, yakni berdasarkan landasan filosofis. Adanya pengaturan ini merupakan komitmen dan mandat dari Pancasila dan UUD 1945. Banyaknya isu mengenai penghapusan kekerasan seksual dan banyaknya penyintas menjadi landasan sosiologis RUU ini.
Sementara itu, landasan yuridisnya adalah adanya kekosongan hukum mulai dari upaya pencegahan hingga penanganan dan rehabilitasi yang berperspektif penyintas dan memberikan efek jera pada pelaku.
Dalam diskusi yang dibuka Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengungkapkan, pada periode lalu, sekalipun ada pertentangan yang hebat antarfraksi sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa disahkan, sebenarnya ada yang disepakati DPR bahwa kekerasan seksual memang nyata, dan kasus tidak tertangani, termasuk perlunya pelayanan negara untuk hadir pemulihan bagi korban. ”Artinya, kita membutuhkan undang-undang,” kata Marwan.
Hadir juga Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani yang menegaskan betapa pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU mengingat banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di masyarakat.
Ketua Penggiat Keluarga Indonesia Euis Sunarti mengatakan, jika dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih ingin menggunakan terminologi ”kekerasan seksual”, perlu dilakukan revisi secara total terkait definisinya, landasan nilai, dan paradigmanya, disertai aturan larangan perilaku seksual menyimpang, dan memisahkan pengaturannya antara dalam ikatan pernikahan dan di luar ikatan pernikahan.
Selain itu, perlu juga menerima masukan dari berbagai pihak untuk mengubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau mengubah lingkup pengaturannya untuk fokus hanya pada perlindungan korban kejahatan seksual.