Penyusunan kamus bahasa daerah tidak mudah dilakukan. Selain kompetensi sumber daya manusia, hambatan utama lainnya adalah keterbatasan sumber data sekunder untuk membantu sebagai acuan penyusunan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan kamus bahasa daerah sering kali terhambat kurangnya pengetahuan tentang leksikografi. Pengalaman dan wawasan penyusunan kamus pun kebanyakan diturunkan dari peneliti terdahulu.
Analis Kata dan Istilah Balai Bahasa Provinsi Bali, Ni Luh Partami, menceritakan hal tersebut saat sesi diskusi daring ”Serba-serbi Penyusunan Kamus Bahasa Daerah dan Pengembangan Kosakata Bahasa Indonesia”, Selasa (9/2/2021), di Jakarta.
Sebagian besar peneliti senior yang menularkan ilmu atau wawasan menyusun kamus bahasa daerah kini sudah pensiun atau meninggal dunia. Mereka tidak meninggalkan ”jejak digital” (data pustaka) yang bisa digunakan kembali sebagai acuan penyusunan baru. Data pustaka yang ditinggalkan berwujud cetak dan tidak semuanya dalam kondisi baik.
Para orientalis Indonesia berlatar belakang Inggris dan Belanda pernah membuat kamus atau mengumpulkan kosakata dari sejumlah bahasa daerah di Indonesia. Sebagai contoh, bahasa Melayu, Sakai, Batak, Bali, Angkola-Mandailing, Lampung, Badui, Basemah-Serawai, Bugis, Dayak, Gayo, Gorontalo, Madura, Sasak, dan Rote. Para orientalis Indonesia itu, misalnya, Herman Neubronner van der Tuuk, August Hardeland, RJ Wilkinson, KF Holle, HJ Eggink, dan OL Helfrich.
Partami mengakui, sumber-sumber pustaka sekunder yang berharga kurang diperhatikan. Salah satunya kamus bahasa daerah yang disusun oleh orientalis Indonesia.
Kantor kami berpindah-pindah. Ini menyebabkan sumber data tertulis sekunder yang berharga tercecer di mana-mana.
”Kantor kami berpindah-pindah. Ini menyebabkan sumber data tertulis sekunder yang berharga tercecer di mana-mana,” ujarnya.
Saat ini, masyarakat mengenal Kamus Bahasa Bali-Bahasa Indonesia edisi pertama (2005), edisi kedua (2008), dan edisi ketiga (2016). Di setiap edisi terdapat penambahan lema. Di luar itu, masyarakat juga mengenal berbagai kamus budaya Bali yang mencakup, antara lain, kamus istilah arsitektur tradisional, tari, dan boga Bali.
Keuntungan yang dimiliki Balai Bahasa Provinsi Bali adalah penyusun dan informan berlatar belakang penutur sekaligus pelaku budaya. Namun, keuntungan tersebut, kata Partami, semestinya diikuti dengan kompetensi leksikografi yang memadai. Ditambah lagi, program digitalisasi masif arsip kamus ataupun sumber pustaka sekunder pendukung penyusunan kamus.
Analis Kata dan Istilah Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Anthony Suryanyahu, mempunyai pandangan senada. Dinamika linguistik bergerak cepat, dipengaruhi kondisi sosial dan budaya.
Kamus bahasa daerah dan sumber pustaka riset terdahulu semestinya bisa memudahkan penyusunan baru, tetapi belum terarsip digital secara optimal. Padahal, itu akan membantu tim untuk memperhitungkan lema dasar dan turunan masuk atau tidak saat penyusunan baru.
Anthony mengaku sempat memanfaatkan kamus bahasa daerah yang disusun oleh orientalis Indonesia, seperti August Hardeland. Dia dan tim pernah menggunakan beberapa bagian, tetapi mesti mencari konteks kondisi kekinian.
Masih banyak bahasa daerah di Kalimantan Tengah yang belum terkodifikasi. Literatur penelitian masih minim. (Anthony Suryanyahu)
”Masih banyak bahasa daerah di Kalimantan Tengah yang belum terkodifikasi. Literatur penelitian masih minim. Apabila ada penyusunan baru, kami umumnya segera langsung pakai data primer yang perolehannya sering kali terhambat minimnya pemahaman adat istiadat,” ujarnya.
Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Perkamusan dan Peristilahan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Azhari Dasman Darnis, mengatakan, pihaknya saat ini memetakan semua wujud kamus yang ada. Hasilnya dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni kamus berwujud fisik; kamus berwujud fisik dan kopi lunak, tetapi rusak; serta kamus berbentuk kopi lunak, tetapi tidak ada fisik.
Untuk kelompok pertama dan kedua, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa akan melakukan pemindaian. Sementara kelompok ketiga akan dialih bentuk. Ketiga bentuk tersebut akan dimasukkan ke pangkalan data sehingga mudah untuk dialihwahanakan ke berbagai wujud yang mudah diakses.
Untuk kamus-kamus bahasa daerah, menurut Azhari, akan ada digitalisasi secara berkelanjutan. Pelakunya adalah kantor balai bahasa.
”Kamus tua umumnya sudah lapuk dan belum terdigitalisasi. Sebagian besar entri kata di dalamnya sudah tidak dikenal atau digunakan penutur asli. Meski demikian, keberadaan kamus tersebut tetap penting,” ujarnya.