Prinsip penyelenggaran pendidikan secara demokratis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia perlu dikedepankan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surat keputusan bersama tiga menteri terkait penggunaan seragam dan atribut di sekolah negeri dianggap mengandung pendekatan hak asasi manusia. Pendekatan ini semestinya juga termaktub dalam peraturan ataupun kebijakan seputar pendidikan lainnya.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah ini ditandatangani dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 3 Februari 2021.
Inti dari SKB tiga menteri adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri jenjang dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan ataupun tidak pakaian seragam dan atribut kekhasan agama tertentu sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah daerah (pemda) dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Pemda ataupun kepala sekolah sesuai dengan kewenangannya wajib mencabut peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan, atau imbauan tertulis yang bertentangan dengan SKB tiga menteri paling lama 30 hari kerja terhitung sejak SKB ditetapkan.
Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengatakan, dalam perspektif HAM, hak beragama dan berkeyakinan terdiri dari wilayah internum dan eksternum. Wilayah internum merupakan wilayah spiritual sangat privat dan individual. Sementara eksternum adalah wilayah tempat manifestasi agama atau keyakinan seseorang ke ruang publik.
Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum. Ini diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, moral masyarakat, dan hak mendasar orang lain.
”SKB memang tidak ada dalam struktur peraturan perundang-undangan. Makna dari SKB tiga menteri adalah mengingatkan terhadap pendekatan HAM yang sudah ada di ketentuan sebelumnya, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia,” ujar Beka saat menghadiri diskusi daring bertajuk ”Sekolah sebagai Penyemai Toleransi: Respons terhadap SKB 3 Menteri”, Senin (8/2/2021), di Jakarta.
SKB tiga menteri terkait seragam dan atribut di sekolah negeri menegaskan adanya permasalahan yang sedang terjadi, bukan semata-mata viral kasus SMK Negeri 2 Kota Padang.
Dia berpendapat, SKB tiga menteri terkait seragam dan atribut di sekolah negeri menegaskan adanya permasalahan yang sedang terjadi, bukan semata-mata viral kasus SMK Negeri 2 Kota Padang, Sumatera Barat. Deretan kasus yang sama sebelum-sebelumnya pernah terjadi. Apabila ada usulan memperluas cakupan SKB tiga menteri ke sekolah umum yang dikelola organisasi masyarakat, Beka menilai, prinsip dasar HAM yang mesti diterapkan.
”Prinsip dasarnya (SKB tiga menteri) adalah penghormatan terhadap pihak yang berbeda. Prinsip inilah yang mesti disebarluaskan ke ketentuan lain yang akan datang. UU No 20/2003 pun telah menyebut prinsip senada dengan SKB, yakni penyelenggaran pendidikan demokratis dan menjunjung tinggi HAM,” imbuhnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mempunyai pendapat senada. Prinsip SKB tiga menteri adalah menghargai HAM terkait agama dan keyakinan individu. Prinsip ini seharusnya dapat diperluas ke apa pun bentuk sekolah.
Prinsip itu juga mestinya dapat dipakai pemerintah untuk menyelaraskan peraturan yang sudah ada, termasuk menyangkut kurikulum.
Retno mengakui, saat ini berkembang pembahasan implementasi SKB tiga menteri terkait seragam dan atribut di kalangan guru. Misalnya, kelompok guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Mereka selama ini mewajibkan penggunaan jilbab kepada peserta didik sebagai bagian dari pemenuhan kompetensi dasar yang diamanatkan kurikulum.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo berpendapat, Pasal 4 Ayat (1) UU No 20/2003 adalah roh penyelenggaraan pendidikan yang menghormati keberagaman. SKB tiga menteri tentang seragam dan atribut berkaitan dengan isi pasal itu.
Sebelum viral kasus SMKN 2 Kota Padang, dia menceritakan, kasus imbauan wajib ataupun pelarangan menggunakan seragam dan atribut kekhususan agama sudah muncul. Perasaan tidak nyaman mengenai kasus itu pun ada, tetapi tidak pernah mendapatkan pengakuan.
Menurut Henny, SKB tiga menteri memberikan pengakuan bahwa ada permasalahan intoleran terhadap keragaman, terutama melalui wujud seragam dan atribut kekhususan agama. Untuk jangka panjang, pengakuan keberagaman di sekolah harus ditegakkan.
”Dasarnya adalah UU No 20/2003. Pengawas ataupun komite sekolah perlu turut menyisir peraturan ataupun ketentuan penyelenggaraan pendidikan yang tidak sesuai dengan UU No 20/2003,” katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengutip pernyataan Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin tentang keyakinan atau pandangan agama. Dalam hal nilai-nilai agama yang fundamental, seperti keadilan dan kemanusiaan, misalnya, negara harus hadir.
Pada konteks pandangan agama yang masih diperdebatkan dalam agama bersangkutan, negara tidak bisa mengaturnya secara sepihak. Sebab, hal itu terkait dengan tafsir siapa yang akan digunakan.