Memadamkan Api Diskriminasi
Sebagian peserta pelatihan yang mendengar cerita dari penyintas langsung meminta maaf jika peliputan mereka pernah melukai kelompok terpinggirkan. Mereka mengakui dulu tak mengetahui penulisan berperspektif keberagaman.
Jurnalisme seharusnya menjadi jembatan untuk memanusiakan manusia, bukan mendorong orang terjerumus ke dalam api diskriminasi.
Fivo Nugraha berusia 13 tahun saat ratusan orang merangsek masuk ke kampungnya di lingkungan jemaah Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Juli 2010. Massa mendesak Ahmadiyah dibubarkan.
Bentrokan tak terhindarkan. Rumah tetangga Fivo terkena lemparan. Polisi yang datang ke lokasi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Ujungnya, rumah ibadah Ahmadiyah disegel.
Peristiwa itu membekas di benak Fivo. Saat mendengar bunyi pukulan di tiang listrik, kenangan traumatis muncul. Pukulan tiang listrik yang lazim dibunyikan peronda sebagai tanda kawasan aman berubah menjadi alarm menakutkan bagi Fivo. ”Kalau ada suara pukulan tiang listrik, langsung teringat,” kata Ketua Pemuda Ahmadiyah Manis Lor ini kepada Kompas, Senin (1/2/2021).
Saat pelajaran agama, Fivo dan teman-temannya diminta keluar kelas. Mereka dianggap tak memeluk enam agama yang diakui pemerintah. ”Pemberitaan terhadap kami pada 2001-2010 juga banyak yang negatif,” katanya.
Kenny Misnain, Ketua Umum Srikandi Panyawangan (komunitas transpuan yang fokus pada pencegahan HIV/AIDS di Kuningan), juga mengkritik diskriminasi media terhadap transpuan. Transpuan kerap ditampilkan di media sebagai pendosa, perusak, dan penyebar penyakit.
Seperti pertengahan Januari 2021, warga mendapati sejumlah transpuan di kamar kos dengan kondisi nyaris tanpa busana. Berita muncul dengan judul, seperti ”Warga Kuningan Geger, Gerebek Pelaku Threesome Ternyata Waria” dan ”Duh! Lagi Asyik Indehoy, Waria Tanpa Busana Ini Bikin Gaduh Warga Sekitar”.
”Banyak berita juga menjurus kalau HIV penyakit waria. Yang menular perilaku seksual, bukan orientasi seksual,” ungkap Kenny.
Jembatan kemanusiaan
Justru melalui Srikandi Panyawangan yang dibentuk pada 2013, transpuan setempat berjuang mencegah penularan HIV/AIDS. ”Kami tes HIV setiap tiga bulan. Kami bekerja sama dengan puskesmas. Anggota kami, 57 orang, juga sudah punya KTP,” lanjutnya.
Baca juga: Jangan Panggil Aku Bencong
Kenny hanya ingin transpuan diperlakukan sebagai manusia, warga negara yang memiliki hak sama dengan lainnya. ”Semoga media bisa jadi jembatan untuk memanusiakan kami,” paparnya.
Perwakilan masyarakat Akur Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri, menilai, media bisa menyelamatkan kelompok terpinggirkan agar tak terdiskriminasi. Pemberitaan media, terutama yang berskala nasional, bahkan mampu ikut membuka segel bakal makam sesepuh adat Sunda Wiwitan.
Pemerintah Kabupaten Kuningan menyegel pembangunan bakal makam itu karena dinilai tak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Sunda Wiwitan berupaya mengurus berbagai administrasi untuk IMB, tetapi dipersulit (Kompas, 30/7/2020).
Kisah Fivo, Kenny, dan Djuwita itu disampaikan di hadapan 20 jurnalis asal Jabar dalam pelatihan ”Jurnalisme Keberagaman: Ciptakan Media Inklusif untuk Semua di Jawa Barat” di Kota Cirebon, 22-24 Januari 2021. Kegiatan ini digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
Baca juga: Komnas HAM Minta Penyegelan Bakal Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Dihentikan
Baca juga: Penghentian Penyegelan Bakal Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Kembali Disuarakan
Sejuk didirikan pada 2008 oleh wartawan, aktivis HAM, dan kelompok dialog antariman. Sejuk aktif menggelar pelatihan bagi wartawan untuk mengedepankan perspektif jurnalisme keberagaman.
Ahmad ”Alex” Junaidi, salah satu pendiri Sejuk, mengatakan, media bisa mendorong perdamaian dengan perspektif jurnalisme keberagaman. Pendekatan ini mengedepankan prinsip keadilan, kepatutan, serta mendorong perdamaian dalam meliput isu keragaman agama, suku, dan seksualitas.
Sejuk menggagas panduan jurnalisme keberagaman. Isinya, antara lain, jurnalis perlu memperhatikan beberapa prinsip sebelum peliputan hingga setelah penayangan berita. Misalnya, komitmen tak melibatkan keyakinan pribadi yang menyebabkan bias serta mempelajari latar belakang peristiwa berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.
Budhi Kurniawan, yang juga pendiri Sejuk, menambahkan, jurnalis perlu memperhatikan diksi. Beberapa diksi yang perlu dihindari dalam meliput isu kepercayaan atau keberagaman seksual di antaranya ”sesat”, ”kafir”, dan ”tobat”. ”Diksi dan narasumber menunjukkan keberpihakan jurnalis,” ungkap Executive Producer Kompas TV tersebut.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai, tanpa narasi keberagaman dari media, demokrasi Indonesia kian terancam. Dalam survei SMRC pada Agustus 2020, tingkat kepuasan warga terhadap demokrasi hanya 67 persen, turun dibandingkan dengan April 2019 yang sebesar 74 persen.
Penurunan ini dipengaruhi aspek kebebasan berpendapat dan intoleransi beragama. ”Media harus punya narasi tandingan. Narasi keagamaan yang tidak sektarian,” ujarnya.
Berdasarkan riset Setara Institute, pada 2007-2018, terdapat 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Tanah Air. Tiga peringkat teratas ialah Jawa Barat (269), Jawa Timur (270), dan DKI Jakarta (291).
Sebagian peserta pelatihan yang mendengar cerita dari para penyintas langsung meminta maaf jika peliputan mereka pernah melukai kelompok terpinggirkan. Mereka juga menyatakan terkendala beberapa hal, seperti belum mengetahui format penulisan yang mengedepankan keberagaman hingga tak memiliki akses ke komunitas terpinggirkan. Belum lagi persoalan ruang redaksi yang abai terhadap keberagaman.
Permohonan maaf tulus itu sepertinya diterima dengan lapang dada. Kenny, misalnya. Dia tersenyum. Kedua tangannya lantas mengatup di depan dada. Seperti kata Kenny, jurnalisme seharusnya menjadi jembatan untuk memanusiakan manusia, bukan mendorong orang terjerumus ke dalam api diskriminasi.