RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran Belum Optimalkan Peran Penyiaran Publik
Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran diharapkan sejumlah pihak tidak mengabaikan peran lembaga penyiaran publik.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, yang tak lain amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, belum optimal mengakomodasi kepentingan lembaga penyiaran publik. Padahal, keberadaannya dibutuhkan sebagai pendukung keberagaman konten.
Salah satu titik lemah rancangan PP itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid, khususnya dari sisi keberadaan LPP RRI. Menurut Meutya, ketentuan Pasal 72 Ayat (3) RPP yang menyebut penyelenggaraan penyiaran untuk cakupan wilayah regional atau lokal belum mengakomodasi satuan kerja lembaga penyiaran publik (LPP) RRI di daerah. Hal Ini akan menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum satuan kerja RRI di daerah.
Eksistensi satuan kerja RRI di daerah perlu dipertahankan, bahkan mesti diperkuat. Sebab, fasilitas itu berfungsi sebagai penjaga informasi di wilayah terdepan atau terbelakang Indonesia.
Dalam pasal yang sama, pengaturan cakupan siaran internasional RRI juga belum tertuang. Ketentuan ini perlu diatur supaya RRI dapat mendukung siaran luar negeri sebagai bagian diplomasi lini kedua.
Meutya mencontohkan juga Pasal 78 Ayat (5) RPP tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Ketentuan ini menyoal penyelenggaraan jasa penyiaran televisi melalui media terestrial dilakukan dengan teknologi digital melalui penyelenggaraan multipleksing. Namun, ketentuan itu hanya memasukkan lembaga penyiaran swasta (LPS) jasa penyiaran televisi dan LPP TVRI.
Dia mengatakan, diskusi yang berkembang meminta LPP RRI dimasukkan sebagai bagian dari penyelenggara multipleksing. Sebab, RRI dan TVRI merupakan satu kelompok LPP, bagian dari representasi publik untuk mengelola kanal frekuensi sebagai kekayaan negara yang terbatas. Selain itu, apabila LPP RRI diikutsertakan sebagai penyelenggara multipleksing, pengaturan penyelenggaraannya menjadi lebih efektif dan efisien.
”Sebagai LPP, ketersediaan kanal frekuensi RRI mesti dijamin. Dengan demikian, prinsip LPP yang harus selalu menyediakan keragaman konten tetap berlangsung,” katanya.
Menurut Meutya, Komisi I DPR meminta agar semua pemangku kepentingan di industri penyiaran, termasuk LPP RRI, memperhatikan dengan cermat dan teliti substansi di RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Dia berharap hal itu bisa mendorong kesesuaian materi RPP dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Selain itu, Komisi I DPR meminta pemerintah melibatkan publik dalam penyusunan RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Tujuannya adalah meminimalkan kesalahpahaman dan kesan tidak dimasukkannya aspirasi mengenai LPP.
Pegiat Rumah Perubahan LPP, Darmanto, mempunyai pandangan senada. Salah satu implikasi UU No 11/2020 adalah LPP RRI berpotensi kehilangan mandat untuk menyelenggarakan siaran internasional.
Implikasi lainnya berkaitan dengan potensi kehilangan hak penyelenggaraan penyiaran untuk cakupan wilayah siaran regional dan lokal. Ada potensi stasiun RRI dan TVRI di daerah hanya berfungsi sebagai stasiun relai. Ini terlihat dari substansi Pasal 72 Ayat (2) RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
Sementara Pasal 72 Ayat (3) RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran menyebutkan, penyelenggara penyiaran untuk cakupan siaran regional ataupun lokal dapat dilakukan oleh, antara lain, LPP lokal, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio melalui media terestrial.
Darmanto memandang, proses pembahasan RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran cenderung tertutup. Dewan pengawas kabarnya tidak dilibatkan.
”Kesadaran membangun wacana publik mesti dibangkitkan. Secara keseluruhan, UU No 11/2020 dan turunannya cenderung kurang memperhatikan keutuhan negara. Lembaga penyiaran swasta cenderung diberikan kekuatan berskala nasional," katanya.
Perizinan usaha
Sementara itu, Ketua Pansus RUU Penyiaran 2002 Paulus Widiyanto berpendapat, minimalisnya penguatan diplomasi lini kedua tidak hanya dialami LPP RRI, tetapi juga LPP TVRI. UU No 11/2020 beserta RPP turunannya menempatkan kedua LPP seolah-olah badan usaha.
”Ketentuan perizinan usaha jelas terangkum sejak awal,” ujarnya.
Secara keseluruhan, UU No 11/2020 dan RPP turunannya, dia nilai, melupakan hal paling esensial dari penyiaran, yakni konten. Substansi regulasi itu cenderung ke urusan infrastruktur.
Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Pamungkas Trishadiatmoko mengatakan, di beberapa negara yang sudah melakukan transformasi digital bidang penyiaran, penyiaran publik yang bisa bertahan punya citra kuat. Penyiaran publik ini mengakomodasi konten lokal.
Untuk pembahasan RPP, dia berharap ada kajian akademis. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan bisa kolaboratif selama proses pembahasan masih berlangsung.