Mengajarkan Empati Meningkatkan Kreativitas Siswa
Mengajar anak-anak dengan cara yang mendorong mereka untuk berempati kepada orang lain akan meningkatkan kreativitas mereka.
Kebutuhan merupakan induk dari penemuan karena menjadi motivasi untuk menciptakan penemuan baru. Namun, studi terbaru menunjukkan, selain faktor kebutuhan, aspek penting yang memengaruhi penemuan dan kreativitas adalah faktor empati.
Mengajar anak-anak dengan cara yang mendorong mereka untuk berempati dengan orang lain ternyata meningkatkan kreativitas mereka. Metode ini juga memperdalam keterlibatan siswa dalam pembelajaran, termasuk keterbukaan berpikir dan empati kognitif.
Mengajar anak-anak dengan cara yang mendorong mereka untuk berempati dengan orang lain ternyata meningkatkan kreativitas mereka.
Tim Fakultas Pendidikan dan Departemen Teknik Universitas Cambridge yang disebut Designing Our Tomorrow (DOT) menemukan hal tersebut dalam penelitian pelajaran desain dan teknologi (D&T) siswa kelas IX (usia 13-14 tahun) di dua sekolah di London, Inggris. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Improving Schools pada 25 Januari 2021.
Dalam penelitian ini, siswa di kedua sekolah, sebut saja sekolah A dan B, ditantang merancang ”paket” atau metode pengobatan asma untuk anak-anak usia enam tahun ke bawah, kasus yang banyak terjadi di Inggris. Siswa sekolah A menghabiskan waktu satu tahun mengikuti pelajaran D&T sesuai ketentuan kurikulum.
Sementara siswa di sekolah B diberi ”alat” berpikir desain teknik untuk mendorong kemampuan siswa berpikir kreatif dan berempati sambil memecahkan permasalahan. Empati merupakan kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat dari sudut pandang orang tersebut, dan juga membayangkan diri sendiri berada pada posisi orang tersebut.
Para siswa diberi data jumlah kematian anak-anak di Inggris akibat asma dan video anak kecil yang menderita asma. Siswa juga mengeksplorasi masalah dan menguji ide desain mereka dengan memainkan peran sebagai pasien, anggota keluarga, dan tenaga medis.
Kreativitas siswa di dua sekolah tersebut dinilai pada awal dan akhir tahun ajaran menggunakan Torrance Test of Creative Thinking, jenis tes psikometri. Hasilnya menunjukkan, kreativitas siswa sekolah B meningkat secara signifikan. Jika pada awal tahun ajaran nilai kreativitas siswa sekolah A lebih tinggi 11 persen, pada akhir tahun ajaran skor kreativitas siswa sekolah B lebih tinggi 78 persen daripada siswa sekolah A.
Para peneliti juga memeriksa kategori tertentu dalam Torrance Test of Creative Thinking yang menunjukkan empati emosional atau kognitif, seperti ”ekspresi emosional” dan ”keterbukaan pikiran”. Siswa sekolah B kembali mendapat nilai yang jauh lebih tinggi dalam kategori ini, menunjukkan bahwa peningkatan empati yang nyata mendorong skor kreativitas secara keseluruhan.
Baca juga : Pengajaran yang Menghormati Semua
Peneliti juga menemukan, siswa laki-laki dan perempuan di sekolah B menanggapi pelajaran D&T dengan cara yang menentang stereotip jender tradisional. Ekspresi emosional anak laki-laki meningkat signifikan, 64 persen lebih tinggi. Sementara siswa perempuan lebih meningkat dalam hal empati kognitif, mencapai 62 persen lebih.
Perbedaan jender yang dipetakan dalam penelitian ini menunjukkan, intervensi memungkinkan siswa sekolah B mengatasi beberapa hambatan belajar yang sering kali diciptakan oleh peran jender. Anak laki-laki, misalnya, sering kali merasa kecil hati untuk mengungkapkan emosi di sekolah.
Mata rantai yang hilang
”Mengajar untuk empati telah menjadi masalah meskipun menjadi bagian dari kurikulum nasional D&T selama lebih dari dua dekade. Bukti ini menunjukkan bahwa ini adalah mata rantai yang hilang dalam proses kreatif, dan penting jika kita menginginkan pendidikan untuk mendorong para perancang dan insinyur masa depan,” kata Bill Nicholl, pemimpin penelitian ini yang juga dosen senior pendidikan D&T di Universitas Cambridge, seperti dikutip Science Daily pada 2 Februari 2021.
Dr Helen Demetriou, dosen afiliasi di bidang psikologi dan pendidikan di Fakultas Pendidikan Universitas Cambridge dengan minat khusus pada empati, yang terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan, ”Kami dengan jelas membangunkan sesuatu pada siswa ini dengan mendorong mereka untuk berpikir tentang pikiran dan perasaan orang lain. Dengan melakukan itu, kami tidak hanya mengajarkan empati, tetapi juga mendukung pengembangan kreativitas anak-anak, dan pembelajaran mereka yang lebih luas.”
Para peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan siswa di sekolah B. Hasilnya, siswa telah berempati secara mendalam dengan tantangan yang dihadapi oleh anak penderita asma, dan ini telah memengaruhi keputusan kreatif mereka di kelas.
Semua temuan tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa kebutuhan untuk memelihara ”pelajar yang cerdas secara emosional” tidak hanya di kelas D&T, tetapi juga di semua mata pelajaran. ”Nilai bagus itu penting, tetapi bagi masyarakat untuk berkembang, individu yang kreatif, komunikatif, dan empati juga penting,” kata Demetriou.
Nicholl menambahkan, ”Mengajar anak-anak untuk berempati adalah tentang membangun masyarakat di mana kita menghargai sudut pandang satu sama lain. Tentunya itu adalah sesuatu yang kita ingin pendidikan lakukan.”
Baca juga : Anak-anak yang Dapat Mengendalikan Diri Menua Lebih Lambat
Kreativitas dan empati memiliki sifat yang serupa, yaitu yang satu dibutuhkan agar yang lain berkembang. Ciri-ciri tersebut termasuk keterbukaan perseptual dan pribadi yang tidak biasa, penolakan terhadap penutupan, tidak menghakimi, keadaan tanpa ego, dan keinginan untuk bekerja di luar batas-batas diri.
Dalam pendidikan desain, empati diakui sebagai hal yang esensial untuk desain yang berpusat pada manusia atau pengguna. Empati juga dianggap penting untuk menghindari pendekatan egosentris terhadap desain saat berhubungan dengan orang lain yang tidak sama dengan desainer. Dengan kata lain, menanamkan empati dalam proses kreativitas merupakan rumus untuk menumbuhkan kreativitas dan menghasilkan desain yang sukses.