Pandemi Covid-19 menguji ketahanan perempuan dalam menghadapi berbagai tantangan. Program pemerintah yang benar-benar menyentuh kebutuhan perempuan menjadi harapan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir setahun membuat semua orang menghadapi berbagai tantangan. Namun, perempuanlah yang terkena dampak paling tidak proporsional serta menanggung beban paling besar dari dampak ekonomi dan sosial Covid-19. Kendati demikian, sejak awal pandemi, perempuan dengan segala keberagaman terus berjuang dan menunjukkan resiliensinya dan hadir dengan berbagai aksi kolektif.
Oleh karena itu, perlu ada mitigasi pandemi yang berbasis jender agar ketimpangan jender yang terjadi selama masa krisis tidak akan semakin membawa perempuan pada situasi sulit. Tidak hanya menghadapi krisis pandemi, di sejumlah daerah, perempuan menghadapi bencana sehingga beban berlapis harus dipikul perempuan.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran Jurnal Perempuan (JP) 107 berjudul Perempuan dan Pandemi Covid-19, yang mengusung tema ”Memahami Pandemi Covid-19 dari Kacamata Feminisme”. Acara yang berlangsung daring, Kamis (4/2/2021), itu diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dengan dukungan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste serta Kurawal Foundation.
Lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi, dan perempuanlah yang dipaksa untuk menanggung beban rumah tangga yang meningkat di rumah. (Cameron Mackay)
”Lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi, dan perempuanlah yang dipaksa untuk menanggung beban rumah tangga yang meningkat di rumah. Sebanyak 58 persen perempuan di sektor formal Indonesia dan 71 persen di sektor informal kehilangan pekerjaan mereka atau mengalami penurunan pendapatan,” ujar Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste Cameron MacKay pada pembukaan acara tersebut.
Dampak yang sama, menurut Mackay, juga terjadi di Kanada. Ia mengutip pernyataan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang mengatakan pandemi telah menyoroti dan memperdalam ketidaksetaraan serta ketidakadilan yang ada bagi perempuan di dalam masyarakat. Kita tahu bahwa dibutuhkan kerja keras untuk memperbaiki kesenjangan ini, yang akan bertambah buruk tanpa tindakan tegas.
”Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu memastikan perempuan mendapatkan dukungan sehingga kita tidak kehilangan kemajuan yang telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Mackay.
Direktur Kurawal Foundation Darmawan Triwibowo menyampaikan, JP 107 membuktikan bahwa perempuan membayar ongkos pandemi berlipat-lipat kali daripada laki-laki. Bahkan, berdasarkan Laporan Awal UN Women dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2020, perempuan kehilangan 50 persen jam kerja, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35 persen.
Dalam diskusi pada Peluncuran JP 107 hadir sebagai pembicara Misiyah (Direktur Institut KAPAL Perempuan) yang membawakan topik ”Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid-19”; Retna Hanani (dosen Fakultas Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Semarang) dengan topik ”Politik Spasial di Masa Pandemi Covid-19 dan Dampaknya terhadap Perempuan”; serta Atnike Nova Sigiro (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) dengan topik ”Membaca Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Perempuan dengan Kacamata Feminisme Interseksional”.
Antike menegaskan, Jurnal Perempuan 107 mengonfirmasi bahwa ketimpangan jender telah memperburuk dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan, seperti perempuan di Indonesia dengan entitas yang beragam, baik secara sosial, ekonomi, kondisi geografis, maupun budaya.
”Perempuan dari kelompok marjinal, seperti pekerja rumah tangga, perempuan nelayan, perempuan di daerah tertinggal, perempuan kepala keluarga, perempuan lanjut usia, perempuan dengan disabilitas, dan anak perempuan, harus menghadapi tantangan spesifik yang tidak dapat dijawab dengan mitigasi pandemi yang seragam,” ujar Atnike.
Dalam keberagaman situasi perempuan tersebut, kebijakan mitigasi pandemi perlu diterjemahkan secara kontekstual dengan tetap memastikan perspektif kesetaraan dan keadilan jender. Pengarusutamaan jender ini perlu diterjemahkan dalam penanganan dan pemulihan pandemi Covid-19 bagi masyarakat oleh pemerintah pusat dan daerah. Jadi, tidak bisa hanya diserahkan menjadi tugas satgas Covid-19.
”Bantuan memang ada. Tetapi, apakah bantuan itu menyentuh kebutuhan perempuan? Bantuan yang diberikan berbasis kepala keluarga seperti bola liar, kalau diberikan uang terserah mau dibelikan apa saja. Negara kita hadir dengan bantuan netral ketika memberikan bantuan sosial, dengan menganggap laki-laki dan perempuan kebutuhannya sama saja,” ujar Misiyah.
Seharusnya bansos harus dihitung per jiwa, bukan per kepala keluarga, karena dengan per jiwa bisa diperhitungkan kebutuhan perempuan. Sebab, jika terjadi bencana alam, kebutuhan bisa langsung dideteksi kebutuhan perempuan, tetapi dalam masa pandemi bisa menghitung kebutuhan perempuan dalam sebulan seperti apa. Sebab, sering kebutuhan perempuan tidak diperhitungkan.
Adapun Retna menilai pandemi memberikan beban domestik tambahan seperti kebutuhan perawatan, pengasuhan, dan moda hubungan interpersonal dalam keluarga yang berubah. ”Kekerasan domestik dan meningkatnya konflik di dalam keluarga sebagai akibat dari makin kerasnya tekanan ekonomi di kalangan keluarga kelas pekerja sehingga menyita perhatian pekerja dari masalah-masalah kerja dan organisasi mereka,” ujarnya.