Kembalikan Sekolah Negeri sebagai Tempat Mengenal Toleransi
Pelajar dan alumni bersuara terkait surat keputusan yang menjamin kebebasan berseragam sekolah dengan atau tanpa atribut keagamaan tertentu. Mereka berharap tidak ada lagi aturan memaksa di sekolah negeri.

Suasana belajar di salah satu kelas SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pelajar bersuara seiring munculnya surat keputusan yang menjamin kebebasan berseragam di sekolah negeri. Mereka yang pernah mengalami praktik intoleransi pemakaian seragam ini berharap ada angin perubahan.
Siswa aktif di sejumlah sekolah negeri menyambut baik hal tersebut. Karina Kurniawan, siswi kelas XII SMA Negeri 10 Padang, berharap regulasi terbaru memberi ruang kebebasan bagi dirinya yang beragama Katolik.
Setidaknya selama enam tahun menuntut ilmu di sekolah negeri di Padang, ada semacam instruksi yang berlaku umum agar pelajar perempuan memakai jilbab. Karena persyaratan itu, ia sempat mengurungkan niat mengincar SMA negeri favorit di kotanya.
Saat akhirnya memilih sekolah yang sekarang, sempat ada pertanyaan dari sejumlah guru kenapa dia tidak pakai jilbab seperti teman lain. Kondisi itu kerap terjadi saat awal-awal masuk sekolah dulu.
Baca juga : Kemerdekaan Berseragam Diserahkan pada Individu-individu

Kelas mata pelajaran umum digelar di aula SMA 2 Malang, Jawa Timur.
”Sebenarnya kalau pakaian lengan panjang itu enggak masalah bagi aku. Tetapi, kalau sampai harus berjilbab, aku enggak setuju, terutama untuk alasan biar ’seragam’. Bukan berarti kalau seluruh siswa perempuan berjilbab artinya bersatu, kan,” kata Karina, Kamis (4/2/2021).
Menurut dia, tingkat toleransi tiap sekolah bisa berbeda-beda. Dia merasa beruntung karena sekolahnya cukup toleran menerima kalangan non-Muslim. Sementara ada sekolah negeri lain yang sangat saklek dengan instruksi berjilbab untuk pelajar perempuan.
Sisil Harefa, siswi kelas XII SMK Negeri 3 Padang, bercerita, banyak pelajar Kristen atau Katolik yang mengurungkan niat masuk sekolah negeri karena peraturan pakai jilbab. Bagi teman-teman di lingkungannya, masuk sekolah negeri berarti harus berkompromi dengan pemakaian jilbab.
Hal tersebut membuat sebagian siswa dari kalangan mampu akhirnya memilih sekolah swasta. ”Bagi yang kurang mampu, ya, harus terbiasa dengan peraturan yang ada saat itu,” ucap Sisil.
Baca juga : Seragam yang Membelenggu Keberagaman

Siswa mengakses pelajaran daring melalui gawai yang terhubung dengan jaringan internet nirkabel di SMK Negeri 1 Cangkringan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (1/2/2021).
Pengalaman berat
Iklim yang kurang toleran sempat membuat Kadek Firdhayanti (22) menjalani pengalaman berat saat bersekolah di Padang. Siswi alumnus sekolah favorit di Padang ini beberapa kali bermasalah dengan guru lantaran tidak menyesuaikan diri dengan aturan berjilbab. Padahal, Kadek beragama Hindu.
Beberapa urusan Kadek di sekolah menjadi sulit karena dirinya tidak mau memakai jilbab. Seorang guru pernah mempermasalahkan keanggotaan Kadek dalam organisasi sekolah karena dirinya tidak pakai jilbab.
Karena alasan tidak pakai jilbab pula, Kadek tidak diikutsertakan dalam anggota paduan suara di kantor gubernur. ”Aku sudah diajak latihan beberapa kali waktu itu. Gara-gara aku enggak mau pakai jilbab sewaktu H-1, aku batal diajak geladi bersih dan acara. Padahal, seluruh angkatan aku hari itu ikut semua,” ujarnya.
Praktik intoleransi semacam itu juga terjadi di SMK Negeri 2 Padang, 21 Januari silam. Jeni Cahyani Hia, siswi kelas X jurusan otomatisasi tata kelola perkantoran, beberapa kali dipanggil guru jurusan dan guru bimbingan konseling (BK) karena tidak mengenakan jilbab. Ayah Jeni, Elianu Hia, bahkan dipanggil wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Baca juga : Siswa Non-Muslim di SMK 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab

Adam, siswa kelas III SD Negeri Petukangan Selatan 03, Jakarta Selatan, dijemput orangtuanya seusai mengikuti pelajaran di sekolah, Selasa (19/1/2021).
Para pelajar merespons Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB ini ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Rabu (3/2/2021), di Jakarta.
SKB menyerahkan keputusan memakai atau tidak memakai seragam dengan atribut agama tertentu kepada setiap individu siswa sekolah negeri. Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang.
Mendikbud Nadiem mengatakan, pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah negeri adalah bentuk moderasi beragama dan toleransi atas keberagaman. Sekolah berfungsi membangun wawasan, sikap, dan karakter untuk memelihara persatuan dan memperkuat kerukunan antar-umat beragama.
”Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB ini ditetapkan,” ujarnya.
Baca juga : ”Quo Vadis” Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035

Siswa meninggalkan sekolah, sementara lainnya tiba di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (4/1/2021).
Jika terjadi pelanggaran terhadap SKB tiga menteri, Nadiem mengatakan, akan ada sanksi. Sebagai gambaran, pemda memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, ataupun tenaga kependidikan. Gubernur memberlakukan sanksi kepada bupati atau wali kota. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerapkan sanksi kepada gubernur. Lalu, Kemendikbud menetapkan sanksi yang berkaitan dengan penerimaan bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.
Pelajar dan alumni berharap banyak dengan kondisi terbaru saat ini. Mereka yang masih menjalani pendidikan ingin dihargai dalam perbedaan. Dengan aturan terbaru pula, mereka berharap mendapat dukungan keberagaman dan kebebasan beragama, termasuk dalam berseragam sekolah.
Respons positif datang dari Ael (50) orangtua siswa di Kota Depok, Jawa Barat. Ael mendukung penerbitan SKB 3 Menteri itu. Karena sekolah negeri adalah sekolah yg dibiayai pemerintah, maka sebaiknya pengelolaanya dijalankan dengan aturan pemerintah. Karenanya, pemerintah daerah sebaiknya menjalankan aturan tersebut tanpa menambahkan ketentuan baru.
"Sebaiknya tidak membuat peraturan seragam sekolah sesuai agama tertentu saja. Lebih baik menekankan sikap saling bertoleransi, menghargai serta menghormati sesama," kata Ael.

Sebanyak 14 sekolah jenjang SMP negeri dan swasta di Surabaya, Senin (7/12/2020), mulai menggelar simulasi sistem pembelajaran blended learning.
Persoalan intoleransi di sekolah negeri sudah berlangsung lama. Namun, tidak banyak orangtua ataupun murid yang berani menyuarakannya. Bahkan, mereka cenderung memendamnya karena alasan untuk menghindari konflik. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, berharap SKB tiga menteri itu mengembalikan sekolah negeri sebagai sekolah untuk semua anak bangsa.
Sekolah negeri mestinya menjadi tempat pertama anak-anak untuk mengenal perbedaan dan demokrasi. Namun, bertahun-tahun, di sejumlah daerah ada pihak-pihak yang ingin menyeragamkan atribut sekolah meski dia berbeda keyakinan. Penyeragaman ini terjadi pada mereka yang ingin melarang dan mengharuskan mengenakan sesuatu terkait simbol agama.
Berdasarkan pantauan KPAI, lima tahun terakhir praktik intoleransi karena seragam sekolah terjadi di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. ”Mewajibkan dan melarang (atribut seragam sesuai keyakinan mayoritas siswa) sama-sama tidak boleh. Keputusan ini sudah tepat,” kata Retno.
Jika niat mendidik siswa untuk mengenal agamanya lewat busana yang dipakai, kata Retno, sebaiknya melalui pendekatan penyadaran. Jika ada unsur pemaksaan, menurut pandangan Retno, kurang tepat untuk konteks saat ini. Namun, dia mengakui, ada pandangan yang menyebut bahwa pendidikan kepada pelajar bisa dengan paksaan. ”Memang ada yang berpandangan begitu,” katanya.