Kemerdekaan Berseragam Diserahkan pada Individu-individu
Surat Keputusan Bersama Mendikbud, Mendagri, dan Menag menegaskan, pemerintah daerah dan sekolah negeri tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut agama tertentu.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyerahkan keputusan memakai atau tidak memakai seragam dengan atribut agama tertentu kepada setiap individu siswa sekolah negeri. Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang.
Hal tersebut ditegaskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB ini ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Rabu (3/2/2021), di Jakarta.
Nadiem mengatakan, pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah di bawah pemda merupakan salah satu bentuk moderasi beragama dan toleransi atas keberagaman agama. Sekolah berfungsi membangun wawasan, sikap, dan karakter untuk memelihara persatuan dan memperkuat kerukunan antar-umat beragama.
Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB ini ditetapkan.
”Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB ini ditetapkan,” ujarnya.
Jika terjadi pelanggaran SKB tiga menteri, Nadiem mengatakan, akan ada sanksi. Sebagai gambaran, pemda memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, ataupun tenaga kependidikan. Gubernur memberlakukan sanksi kepada bupati atau wali kota. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerapkan sanksi kepada gubernur. Lalu, Kemendikbud menetapkan sanksi yang berkaitan dengan penerimaan bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.
Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.
Nadiem mengatakan, aduan dan pelaporan pelanggaran sudah dibuka melalui unit layanan terpadu di Kemendikbud. Penyampaiannya juga bisa melalui saluran telepon di 777, alamat surel pengaduan@kemdikbud.go.id, laman Kemdikbud.lapor.go.id, dan Ult.kemdikbud.go.id.
”Permendikbud No 45/2014 memang menyertakan konsep template dan contoh pakaian seragam. Dalam permendikbud ini tidak tertuang pernyataan mewajibkan atau melarang seragam muslimah. Saya harap SKB semakin mempertegas hal itu,” imbuhnya.
Tito menambahkan, pihaknya telah menugaskan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum untuk mengevaluasi peraturan daerah yang berbau intoleran. Di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, pelatihan wawasan kebangsaan dan pluralisme juga digelar bersama.
Bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, kementerian mengoptimalkan diseminasi nilai-nilai keberagaman untuk organisasi masyarakat.
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi 137/PUU-XIII/2015, Kemendagri tidak dapat menganulir perda yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan. Kemendagri berperan sebagai pencegah munculnya perda intoleran, juga memberi koreksi saat penyusunan peraturan. ”Kami pun bisa mengeluarkan upaya koersif bersama aparat penegak hukum,” kata Tito.
Yaqut mengatakan, salah satu indikator keberhasilan moderasi beragama adalah toleransi. Keharmonisan hidup antar-umat beragama dapat tercapai apabila hak sipil dan hak beragama masyarakat terlindungi.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu secara terpisah berpendapat, SKB tiga menteri merupakan langkah awal yang konkret untuk merealisasikan kebinekaan. Sekolah negeri seharusnya menjadi penyemai keberagaman yang utama.
Dia menilai, SKB tiga menteri memperjelas kepastian bahwa tidak seorang pun bisa memaksakan memakai jenis/model seragam yang tidak dikehendaki, apa pun kepercayaannya.
”Apa korelasi antara pengakuan hak seseorang menentukan sendiri model seragam yang dipilihnya dan isu intoleransi? Saya termasuk yang percaya bahwa sekolah seharusnya mengupayakan diri menjadi ruang perjumpaan keragaman dalam bentuk apa pun. Sejak dalam pikiran, perjumpaan terhadap perbedaan mesti terbentuk,” ujar Henny.
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Yunita Faela Nisa, memandang, saatnya pemerintah pusat hadir di ruang publik atas nama ketertiban. Apalagi, di sekolah negeri/publik yang harus menaungi semua orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan beragam.
Sesuai riset PPIM UIN Jakarta berjudul ”Suara dari Senayan: Pandangan Wakil Rakyat tentang Peran Negara dalam Pendidikan Agama” (2020), sejumlah anggota legislatif punya pandangan akomodasionis dan intervensionis. Akibatnya, bias mayoritas terjadi di beberapa peraturan, mulai dari perda sampai peraturan sekolah.
Baca juga : Seragam yang Membelenggu Keberagaman
”Tidak boleh ada, atas nama otonomi, pemerintah daerah bertindak diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda. Pemerintah wajib hadir dalam menjaga pendidikan di Indonesia agar mampu menjaga keberagaman dan keadilan,” kata Yunita.