Peta Jalan Pendidikan Diletakkan sebagai Visi Negara
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 merupakan desain pendidikan Indonesia ke depan menuju Indonesia Emas. Karena itu, peta jalan pendidikan ini harus diletakkan sebagai visi negara, bukan visi pemerintah.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 harus diposisikan sebagai visi negara yang menjadi pijakan kebijakan pendidikan secara berkesinambungan meski pemerintahan berganti. Karena itu, peta jalan pendidikan ini harus dibuat sebagai desain besar pendidikan yang menjawab permasalahan pendidikan dengan memperhatikan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia.
Pemilihan umum setiap lima tahun sekali sering kali berimbas pada tata kelola pendidikan yang tidak simultan karena berganti kepemimpinan, baik di pusat maupun daerah. Akibatnya bukan hanya sinergi pusat dan daerah untuk mengelola pendidikan terkendala, masalah-masalah mendasar dalam pendidikan seperti ketimpangan dan tata kelola guru juga tak kunjung terselesaikan.
”Kami tidak ingin dunia pendidikan terinterupsi terus-menerus dengan kepentingan politik jangka pendek,” kata Ketua Komisi X DPR yang juga Ketua Panitia Kerja Peta Jalan Pendidikan Komisi X DPR Syaiful Huda dalam Diskusi Terpumpun Peta Jalan Pendidikan yang diselenggarakan secara daring oleh Lembaga Kebijakan dan Kajian Pendidikan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Selasa (2/2/2021).
Dalam diskusi tersebut mengemuka sejumlah usulan untuk penyempurnaan peta jalan pendidikan karena belum ada aspek filosofisnya, landasan hukumnya, hingga bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Draf peta jalan pendidikan yang ada dinilai belum menjawab permasalahan pendidikan di Indonesia.
Kami tidak ingin dunia pendidikan terinterupsi terus-menerus dengan kepentingan politik jangka pendek. (Syaiful Huda)
Dalam rapat dengar pendapat Panja Peta Jalan Pendidikan dengan pemerintah pada 28 Januari 2021, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 merupakan penajaman dan elaborasi dari peta jalan pendidikan yang dibuat pada 2015. Peta jalan pendidikan ini juga memperhatikan tren global di sektor pendidikan.
”Peta jalan sebelumnya kurang fokus pada kualitas pembelajaran dan hasil belajar. Itu kini menjadi fokus tinggi. Selama ini, ukuran kualitas pendidikan didasarkan pada input, baik sarana dan prasarana maupun pelatihan guru. Sekarang hasil belajar menjadi indikator kualitas pendidikan, dan ini ditentukan kualitas pembelajaran,” katanya.
Isu strategis
Namun, isu-isu strategis seperti tata kelola guru, menurut Syaiful, justru belum ada penjelasannya. ”Peta jalan (masih) memuat pointer-pointer, belum menjadi narasi besar layaknya peta jalan. Sampai hari ini kami juga belum mendapatkan naskah akademik peta jalan pendidikan ini,” katanya.
Draf peta jalan pendidikan seharusnya menjadi dokumen terbuka. Namun, tanpa naskah akademik, kata Deputi Menteri Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono, masyarakat akan kesulitan memahami isinya.
Agus mengatakan, ada empat variabel yang menentukan pendidikan, yaitu guru, infrastruktur, kurikulum, dan pendanaan. Dari empat variabel ini, guru perlu mendapat perhatian lebih karena merupakan aktor utama pendidikan. Ini menjadi tantangan terberat yang harus dijawab dalam peta jalan pendidikan, bagaimana guru ditata dan dikelola.
Dalam draf peta jalan pendidikan, pada slide ke-21, misalnya, disebutkan data tentang kompetensi guru yang masih rendah. Namun, dalam draf tersebut belum tergambar bagaimana tata kelola guru akan dilakukan karena hal ini juga terkait pembagian kewenangan pusat dan daerah.
”Jangan sampai dengan tata kelola yang berjenjang ini, guru menjadi korban politik praktis di daerah,” kata Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Baidowi.
Jangan sampai dengan tata kelola yang berjenjang ini, guru menjadi korban politik praktis di daerah. (Baidowi)
Menurut Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama KH Arifin Junaidi, tata kelola guru tidak bisa ditangani dengan konsep guru penggerak karena akan melahirkan kelompok elite dan konsepnya tidak demokratis. ”Pengembangan ekologi pendidikan melalui guru penggerak agar didesain dengan tidak mengabaikan sumber daya yang ada, termasuk keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK),” katanya.