Risiko Negatif Digitalisasi Perlu Diantisipasi
Transformasi digital untuk layanan pendidikan memiliki potensi risiko kebocoran dan kapitalisasi mahadata.
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi layanan pendidikan adalah keniscayaan. Meski demikian, potensi risiko dari digitalisasi seperti kejahatan siber dan kapitalisasi mahadata perlu diantisipasi.
Hal itu mengemuka dalam webinar ”Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi: Kebijakan Digitalisasi Pendidikan, Siapa yang Diuntungkan?” pada Minggu (31/1/2021) di Jakarta.
Co-Founder PesonaEdu Hary Candra mengatakan, pemerintah menjadikan 2021 sebagai tahun untuk fokus digitalisasi sekolah mulai dari sisi administrasi sampai distribusi layanan pendidikan. Di tataran internasional, transformasi ke arah digital juga sedang berjalan.
Menurut dia, pemerataan akses terhadap gawai dan jaringan infrastruktur dasar masih bermasalah. Hal ini mendesak segera diselesaikan. Terlepas dari urusan itu, digitalisasi sekolah juga membutuhkan konten pembelajaran yang interaktif.
Pemerataan akses terhadap gawai dan jaringan infrastruktur dasar masih bermasalah. Hal ini mendesak segera diselesaikan.
Sejumlah negara melakukan pendistribusian gawai diikuti keragaman produk digital pembelajaran. Negara-negara tersebut memperhatikan sekolah yang memang terbatas gawai ataupun jaringan internet.
”Dengan kata lain, hingga urusan konten pembelajaran, pemerintah tidak lepas tangan. Pemerintah tetap perlu campur tangan saat kurasi konten,” ujar Hary.
Melek teknologi
Education Industry Manager Microsoft Indonesia Obert Hoseanto berpendapat, kemudahan akses terhadap gawai merupakan hal mendasar dalam digitalisasi sekolah. Apabila ingin mendukung dengan menyediakan gawai, pemerintah semestinya memahami terlebih dulu keragaman kondisi jaringan infrastruktur dasar dan literasi warga sekolah sasaran.
”Hasilnya akan sangat aneh apabila menggeneralisasi kondisi infrastruktur jaringan dasar dan satu jenis spesifikasi teknologi gawai tertentu. Permasalahan dunia pendidikan yang beraneka ragam semestinya mendapat solusi teknologi yang bervariasi juga,” tutur Obert.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Ferdiansyah, mengatakan, digitalisasi sekolah digaungkan pemerintah bersamaan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19. Berbagai keluhan PJJ yang muncul mengerucut kepada belum meratanya infrastruktur dasar, seperti listrik dan jaringan telekomunikasi seluler, serta kepemilikan gawai. Ada pula permasalahan guru belum siap konten pembelajaran melalui media daring yang interaktif.
Dia pun punya pandangan senada dengan Obert yang menyebut keragaman literasi warga sekolah. Oleh karena itu, selain pemetaan kebutuhan gawai, infrastruktur dasar, dan konten, pemerintah perlu menghitung tingkat melek teknologi warga.
Baca juga : RUU PDP Bahas Pengaturan Platform Teknologi
Mahadata
Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa Darmaningtyas berpendapat, kebijakan digitalisasi sekolah menemukan momentumnya saat ini. Kebijakan itu patut disikapi secara cerdas. Warga sekolah perlu memanfaatkan aneka program digitalisasi sekolah yang akan dikeluarkan pemerintah.
Meski demikian, dia memandang perlunya menyikapi secara kritis mahadata yang berpotensi dihasilkan dari digitalisasi layanan pendidikan.
”Jenis mahadata akan berbagai macam. Potensi risiko yang mungkin muncul adalah keamanan data. Lalu, siapa yang akan mengelola mahadata tersebut,” ujarnya.
Pendiri Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, menambahkan, pendidikan merupakan sektor strategis. Digitalisasi layanan pendidikan di sekolah akan memproduksi mahadata yang dimanfaatkan untuk kebutuhan personalisasi atau profiling.
Sebagai sektor strategis, digitalisasi layanan pendidikan tidak lepas dari potensi risiko kebocoran data. Sementara hingga sekarang, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. ”Produk hukum di Indonesia selama ini selalu tertinggal dengan kehadiran teknologi,” kata Ardi.
Dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan akan membangun platform teknologi untuk mendorong kolaborasi pemangku kepentingan sehingga bisa meningkatkan keefektifan pembelajaran melalui pendekatan fleksibel. Platform teknologi akan dibangun menjadi dua bentuk, yakni platform sekolah dan platform pemerintah.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendikbud Hasan Chabibie menyampaikan, untuk kebijakan digitalisasi sekolah, Kemendikbud berupaya berkolaborasi lintas kementerian/lembaga. Urusan sekolah belum terpapar akses internet, misalnya, Kemendikbud sudah melakukan sinkronisasi data dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, Kemendikbud juga berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
Aplikasi Rumah Belajar juga terus ditingkatkan konten-konten interaktif. Layanan pendidikan di laman Bersama Hadapi Korona juga terbuka bagi penyedia layanan teknologi pendidikan lainnya.
Aplikasi Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah) terbuka bagi mitra penyedia jasa yang sesuai persyaratan. Kabar SIPLah akan diakuisisi dan dikelola perusahaan swasta tidak benar.
Baca juga : Demi Kedaulatan Data Warga Indonesia
”Keamanan siber telah jadi pertimbangan Kemendikbud. Kami sudah bekerja sama dengan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara). Apabila ada kerentanan di aplikasi pembelajaran, BSSN selalu menginformasikan kepada kami,” ucap Hasan.