Peran kebudayaan sangat penting karena mampu menjadikan semua unsur masyarakat melebur menjadi satu dalam warna kebinekaan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Pekan lalu, Selasa (26/1/2021), belasan seniman dan pelaku budaya bertemu dalam acara Reriungan atau Kumpul Kebudayaan di Limas Kinayungan, Jalan Pakem KM 17, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Butet Kartaredjasa menginisiasi pertemuan itu secara informal dengan saling senggol melalui pesan singkat.
Tampak dalam pertemuan itu seniman dan pelaku budaya, seperti Butet, Agus Noor, Totok Hedi Santosa, Marwoto, Hairus Salim, Yuswantoro Adi, Encik Krishna, Ong Hari Wahyu, Anang Batas, dan Nazarius Sudaryono. Dengan menerapkan protokol kesehatan, mereka ngobrol santai tentang kebudayaan di Limas Kinayungan, galeri budaya milik wartawan senior Thomas Pudjo Widijanto.
Butet mengawali acara dengan membaca puisi berjudul ”Suara Alam” karya Thomas Pudjo Widijanto. Puisi ini menceritakan bahwa nurani itu milik semua anak manusia, seperti Nikita Mirzani yang beberapa saat lalu tiba-tiba cuitannya lantang menggetarkan nadi kemanusiaan.
”Nikita Mirzani, kau bukan rembulan tapi mendadak kulihat wajahmu bulat dan bersinar. Kau juga bukan seorang Dewi khayangan tapi kulihat wajahmu seperti memancarkan kasih untuk mendidikku tentang sikap hidup….
Pelajaran hidup bukan selalu dari para dewa-dewi, tetapi dari hati nuranimu pun (engkau) mampu menyebarkan persaudaraan...,” ujar Butet mendaraskan salah satu petikan syair puisi itu.
Selepas Butet membacakan puisi karya Thomas Pudjo, sastrawan Agus Noor tiba-tiba teringat pada nama-nama. Ia lalu mencoba membacanya dengan pendekatan semiotika. ”Kenapa nama-nama itu menjadi penting. Kenapa Nikita?” katanya.
Dalam tausiah budayanya, Agus Noor mengatakan bahwa masa depan dan perjalanan kebudayaan harus senantiasa diarahkan dalam kebinekaan. Ia pun mengambil contoh dengan fenomena kebudayaan yang terjadi di Yogyakarta.
Menurut dia, Yogyakarta memiliki ketajaman budaya yang unik karena kota itu menjadi tempat berkumpulnya seniman dari daerah-daerah di Indonesia yang awalnya menimba ilmu di Yogyakarta kemudian tinggal dan menetap di Yogyakarta sebagai sumber inspirasi.
Di Yogyakarta, identitas asal dan kultural melebur. (Agus Noor)
”Di Yogyakarta, identitas asal dan kultural melebur. Orang membayangkan Encik Krishna itu orang Yogyakarta, padahal dia orang Wonogiri. Ong Hari Wahyu yang identitasnya Madiun tiba-tiba juga hilang. Agus Noor yang santri juga hilang. Semua yang datang mengalami proses kultural dan identitas-identitas itu hilang di Yogya. Ong bukan menjadi orang Madiun, Encik bukan menjadi orang Wonogiri, bahkan Romo Sindhu pun bukan lagi orang Batu, Malang. Semua yang datang ke Yogya mengalami proses kultural. Kuncinya pada Pujo, putra Jogja. Kita semua begitu, telah menjadi putra Jogja (Yogya),” papar Agus Noor.
Dari perumpamaan fenomena kebudayaan di Yogyakarta itu, Agus Noor mencoba menariknya dalam konteks yang lebih luas, yaitu Indonesia. Seperti halnya para seniman di Yogyakarta, di Indonesia, peran kebudayaan juga menjadi sangat penting karena menjadikan semua unsur masyarakat melebur menjadi satu dalam warna kebinekaan.