Pencapaian intervensi spesifik penanganan tengkes mengalami penurunan akibat terhambatnya layanan kesehatan ibu dan anak di masa pandemi. Meski demikian, pemerintah optimistis bisa menekan angka tengkes.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan jumlah anak berumur kurang dari lima tahun alias balita yang mengalami tengkes atau stunting hanya tersisa 14 persen pada 2024. Target itu tidak mudah karena jumlah anak balita tengkes pada 2019 masih mencapai 27,7 persen dan dipastikan akan naik pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
”Target 14 persen itu bukan angka yang mudah. Namun, kalau dikerjakan serius, menguasai lapangan, dan dikelola dengan manajemen yang baik serta bekerja sama, target itu bukan hal yang sulit,” kata Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Kemitraan Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Tengkes alias anak yang pertumbuhannya terhambat menjadi persoalan serius bagi bangsa. Kondisi yang ditandai tinggi badan anak balita lebih rendah dibandingkan standar tinggi sesuai umurnya itu menandakan tidak berkembangnya organ dan otak anak. Selain kecerdasannya terganggu, saat dewasa mereka jadi mudah sakit, produktivitas rendah, dan lebih berisiko menderita berbagai penyakit degeneratif.
Pada 2007-2013, jumlah anak balita tengkes berkisar 35-37 persen. Intervensi kuat beberapa tahun terakhir mampu menurunkan prevalensi anak tengkes hingga 27,7 persen pada 2019. Pandemi Covid-19 dipastikan akan memengaruhi capaian program kesehatan, termasuk tengkes.
”Selama 2020, capaian semua program percepatan penurunan stunting mengalami penurunan,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono.
Target 14 persen itu bukan angka mudah. Namun, kalau dikerjakan serius, menguasai lapangan, dan dikelola dengan manajemen baik serta bekerja sama, target itu bukan hal sulit.
Program intervensi spesifik guna penanganan tengkes yang capaiannya menurun itu meliputi, antara lain, pemberian vitamin A pada anak balita 6-59 bulan, program makanan tambahan, air susu ibu eksklusif untuk bayi hingga enam bulan, dan inisiasi menyusui dini.
Intervensi lain yang capaiannya turun adalah pemeriksaan ibu hamil, jumlah ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah, jumlah anak balita ditimbang, imunisasi campak pada bayi kurang dari dua tahun, hingga persalinan di fasilitas kesehatan.
Penurunan capaian itu merupakan imbas dari terganggunya layanan kesehatan ibu dan anak di fasilitas kesehatan dasar. Selain itu, banyak fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan berfokus pada penanganan dan pengendalian Covid-19. Situasi ini diprediksi masih akan terjadi hingga tahun 2022 walau saat ini program vaksinasi sudah dimulai.
Di tengah tantangan yang tidak mudah itu, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas percepatan penanganan tengkes, Senin (25/1/2021), mengamanatkan kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menjadi ketua pelaksana program percepatan penanganan tengkes di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, untuk mencapai target anak tengkes 14 persen pada 2024, BKKBN akan menggunakan pendekatan pembangunan keluarga yang menjadi salah satu program prioritas BKKBN. Pada April-Mei 2021, BKKBN juga akan melakukan pendataan terhadap 66,8 juta keluarga hingga bisa dipetakan keluarga mana saja yang memiliki risiko mempunyai anak tengkes.
”Ke depan, BKKBN akan fokus pada pembangunan kualitas manusia, bukan hanya kuantitasnya, termasuk salah satunya penurunan stunting,” katanya. Upaya itu juga akan dilakukan dengan melibatkan 1,3 juta kader, 13.000 penyuluh KB (PKB) dan petugas lapangan KB (PLKB) berstatus pegawai negeri sipil (PNS), serta 9.600 PKB/PLKB non-PNS.
Namun, dengan 22.600 PKB/PLKB itu akan sulit menjangkau lebih dari 83.000 desa/kelurahan di Indonesia. Di masa kejayaan program KB di era Orde Baru, Indonesia pernah memiliki 45.000 PKB/PLKB. Belum lagi, sebagian besar PKB/PLKB yang ada saat ini sudah mendekati usia pensiun. Karena itu, Hasto berharap agar ada kemudahan dalam perekrutan PKB/PLKB, baik yang berstatus PNS maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).
Menanggapi usulan penambahan tenaga PKB/PLKB itu, Presiden Jokowi menyanggupinya. Saat ini, yang dibutuhkan adalah tenaga operasional di lapangan yang bisa menyentuh langsung masyarakat. Kehadiran PKB/PLKB itu diharapkan tidak hanya bisa menyuluh atau melayani KB di masyarakat, tetapi juga mewujudkan keluarga berkualitas.
”Keluarga adalah tiang negara. Jika setiap keluarga berkualitas, Indonesia juga akan berkualitas dan sejahtera,” tambahnya.
Upaya percepatan penurunan tengkes itu juga memerlukan keselarasan kerja antarberbagai lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Selama tahun 2020 saja, anggaran pencegahan tengkes dari 20 kementerian dan lembaga mencapai Rp 27,5 triliun yang sebagian besar untuk bantuan sosial dan ekonomi, bukan untuk sektor kesehatan. Dana yang besar itu, menurut Dante, perlu dikoordinasikan dengan baik hingga mampu mempercepat penurunan tengkes.
Meski anggaran penurunan tengkes sangat besar, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro menilai dana alokasi khusus untuk program KB maupun penurunan tengkes banyak yang tidak terserap. Kondisi itu bisa disebabkan kemampuan pemerintah daerah lambat menyerap anggaran, sumber daya manusia di daerah tidak siap, petunjuk teknis dari pemerintah pusat lambat, hingga kelambatan pencairan anggaran.
Sementara itu, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Subandi Sarjoko menjelaskan, dana alokasi khusus (DAK) bisa dimanfaatkan untuk mempercepat penurunan kasus kematian ibu dan tengkes. Namun, meski alokasi DAK subbidang KB itu jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun, target pembangunan yang dicapai melalui penggunaan DAK tersebut belum optimal.
Dalam Rakornas Kemitraan Program Bangga Kencana kemarin, banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan lambatnya proses pencairan dana program. Bahkan, dalam sejumlah kasus, anggaran baru cair bulan Juni sehingga program baru berjalan Juli. Situasi itu membuat daerah sulit untuk bisa menjalankan program dengan optimal.