Belajar dari Pengalaman SMK 2 Padang
Terungkapnya penganjuran siswa non-Muslim untuk mengenakan jilbab di Sekolah Menengah Kejuruan 2 Padang menjadi momen penting untuk berefleksi bersama.
Kebahagiaan tergambar di wajah Eka Maria Putri Waruwu. Masker kain putih yang menutup separuh wajahnya tak bisa menyembunyikan senyuman lega. Sorot mata perempuan berambut lurus itu memancarkan kebebasan dan kemerdekaan.
Semangat Eka ke sekolah pada Selasa (26/1/2021) pagi tak pernah lebih tinggi dibandingkan pagi-pagi sebelumnya. Pada pagi itulah, siswa beragama Kristen ini pertama kali datang ke sekolah tanpa mengenakan jilbab. Setidaknya, delapan tahun terakhir, Eka selalu mengenakan penutup kepala setiap ke sekolah.
”Luar biasa perasaan saya hari ini. Senang sekali, akhirnya yang diinginkan tercapai. Saya semakin semangat untuk belajar. Mungkin bagi teman-teman lain, penampilan saya agak aneh, tetapi tidak apa-apa, mungkin awal-awal, setelah itu terbiasa,” kata Eka, siswa kelas XII SMK 2 Padang.
Selasa itu, Eka mengenakan baju kurung putih dengan rok panjang abu-abu. Rambut hitamnya yang dipotong sebahu, disisir belah tengah dengan poni, dan diikat ke belakang. Penampilan Eka tidak kalah rapi dan sopan dibandingkan mayoritas siswa lainnya di sekolah itu.
Eka mulai berani ke sekolah tanpa jilbab sejak ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun mengarahkan siswa non-Muslim untuk mengenakan jilbab karena tidak sesuai dengan kepercayaannya.
Sebelumnya, siswa jurusan akuntansi ini tidak berani membuka jilbabnya. Menurut dia, pemakaian jilbab untuk semua siswa perempuan di SMK 2 Padang sudah menjadi aturan sekolah dan ia tidak berani melanggar. Apalagi, senior-senior Eka yang non-Muslim di sekolah itu juga memakai jilbab.
Ketika tamat SD, Eka sebenarnya tidak ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri karena adanya aturan berjilbab ini. Ia hendak mendaftar ke sekolah swasta yang tidak mewajibkan pemakaian jilbab. Namun, apa daya, Eka mengalah pada keadaan, ekonomi keluarganya tidak mendukung untuk itu.
Selain Eka, ada empat siswa non-Muslim lainnya yang memilih melepaskan jilbabnya pada sekolah tatap muka Selasa itu. Dua di antara mereka adalah Elisabeth Angelina Zega dan Yulitina Harefa, siswa kelas XII jurusan akuntansi yang berbeda lokal dengan Eka. Alasan mereka berani melepaskan jilbab karena adanya pernyataan tegas dari Mendikbud.
Walaupun penampilan mereka berbeda dengan mayoritas teman perempuan sekelas, Angelina dan Yulitina tetap berbaur. Selasa siang itu, ketika rehat jam pelajaran, mereka tetap berkumpul dan berinteraksi dengan tiga sahabat lainnya.
Kata Yulitina, penampilan barunya tidak membuat ia diasingkan teman-temannya. Meskipun awalnya canggung dengan penampilan baru, teman-temannya perlahan terbiasa dan tetap bersikap baik seperti hari-hari sebelumnya.
Sayangnya, kebebasan yang dirasakan oleh lima siswa non-Muslim di SMK 2 Padang belum menjalar ke Lili Selvia Agustina Hia, siswa kelas XII SMA 16 Padang. Rabu (27/1/2021), siswa beragama Kristen ini masih berjilbab ke sekolah. Menurut Tina, panggilannya, belum ada aturan yang tegas dari sekolah bahwa siswa perempuan non-Muslim boleh tidak berjilbab.
Tina mengaku, ia lebih nyaman tanpa mengenakan jilbab ke sekolah. Namun, ia tidak berani bertanya secara resmi ke sekolah apakah ia boleh tidak berjilbab atau tidak. Sekarang, Tina satu-satunya siswa non-Muslim di sekolah itu.
”Saya nyaman tidak pakai jilbab. Soalnya orang tahu kalau saya bukan Muslim. Agama saya Protestan. Jadi, orang tidak lagi salah-salah sangka. Saya pernah tanya ke guru, tapi katanya pakai sajalah, tanggung, karena sudah kelas XII,” kata Tina.
Tina mulai menggunakan jilbab sejak sekolah di SMP negeri. Ketika awal-awal SMP, Tina tidak mengenakan jilbab. Namun, ia ditegur oleh seniornya di OSIS agar mengenakan jilbab. Sejak saat itu, ia selalu berjilbab ke sekolah.
Kalau dapat memilih, Tina sebenarnya ingin bersekolah di sekolah swasta yang membebaskannya untuk tidak berjilbab. Sayangnya, ekonomi keluarga tidak mencukupi untuk itu. ”Biaya sekolah swasta besar, jadi, ya, sekolah di negeri saja,” ujarnya. Tina berharap aturan bahwa siswa non-Muslim boleh tidak berjilbab diterapkan menyeluruh, termasuk di sekolahnya.
Distorsi
Aturan berpakaian Muslim terhadap siswa di Kota Padang mulai diterapkan saat kepemimpinan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, tepatnya pada tahun 2005. Awalnya, hanya berupa imbauan, kemudian peraturan wali kota, dan terakhir menjadi perda. Namun, ia menegaskan aturan berseragam pada SD, SMP, SMA/SMK itu hanya berlaku untuk siswa Muslim.
Aturan berpakaian Muslim terhadap siswa di Kota Padang mulai diterapkan saat kepemimpinan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, tepatnya pada tahun 2005.
Fauzi melanjutkan, manfaat dari aturan berpakaian tersebut, antara lain untuk memperdangkal jurang perbedaan antara siswa kaya dan siswa miskin dan mengurangi risiko tertular demam berdarah. Dengan menggunakan jilbab, tidak akan terlihat siswa menggunakan perhiasan atau tidak. Dengan pakaian yang lebih tertutup, semakil kecil kemungkinan siswa digigit nyamuk.
”Selama ini, supaya mereka tidak di-bully oleh teman-temannya, rata-rata mereka memakai (jilbab), supaya tidak disisihkan oleh teman-temannya karena berbeda (penampilan),” kata Fauzi.
Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 pada poin kesepuluh menyebutkan, bagi murid/siswa SD/MI, SLTP/MTs, dan SLTA/SMK/MA se-Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non-Muslim dianjurkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki.
Di dalam Perda Kota Padang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, diatur tentang hak dan kewajiban siswa. Salah satu kewajiban siswa di dalam Pasal 14 poin j disebutkan, (peserta didik berkewajiban), mengikuti kegiatan pesantren Ramadhan, wirid remaja, dan didikan subuh dan memakai seragam muslim/muslimah, pandai baca tulis Al Quran, menghafal Juz Amma dan Asmaul Husna bagi yang beragam Islam dan mengikuti kegiatan sejenisnya bagi peserta didik yang beragama selain Islam.
Namun, aturan yang sudah jelas itu mengalami distorsi pada pelaksanaannya di sekolah. Di SMK 2 Padang, misalnya, aturan digeneralisasi dan tidak ada pengecualian bagi siswa non-Muslim. Dalam tata tertib SMK 2 Padang, disebutkan pada hari Jumat siswa mengenakan pakaian Muslim lengkap, celana panjang/rok abu-abu model standar SMK 2 Padang, sepatu kulit hitam dan kaus kaki putih (sampai betis), dan ikat pinggang standar kulit hitam.
Hampir tidak ada terdengar protes dari siswa perempuan non-Muslim di SMK 2 Padang terhadap aturan itu. Mereka menerima saja aturan tersebut. Sampai akhirnya, salah satu siswa baru, Jeni Cahyani Hia, memprotes kebijakan itu. Orangtua Jeni dipanggil ke sekolah pada Kamis (21/1/2021) dan diminta menandatangani surat pernyataan bahwa menolak memakai jilbab. Kasus ini lalu viral di media sosial.
Baca juga: Disdik Sumbar: Tidak Ada Aturan Provinsi Siswa Non-Muslim Wajib Berjilbab
Keliru
Anggota Komisi V DPRD Sumbar, Maigus Nasir, dalam rapat kerja dengan Dinas Pendidikan Sumbar, Rabu (27/1/2021), mengatakan, kebijakan SMK 2 Padang keliru. Sekolah tidak boleh mengarahkan, menggiring, ataupun mewajibkan siswa yang sudah beragama untuk memakai atribut agama lain. Kebijakan sekolah bertentangan dengan undang-undang.
”Kalau mereka memang Nasrani, biarkan berpakaian menurut ajaran Nasrani. Silakan, tidak perlu pakai jilbab. Ini cuma persoalan jilbab dengan tidak pakai jilbab. Inilah yang menggambarkan dinamika. Apalagi ini bukan sekolah orang Islam, tetapi sekolah negeri, pemerintahan RI, yang di dalamnya terdiri atas berbagai agama,” ujar Maigus.
Komisi V meminta agar Kepala Cabang Dinas Pendidikan melalui Dinas Pendidikan Sumbar untuk menurunkan pengawas fungsional untuk mengkaji dan mengevaluasi tata tertib di setiap sekolah yang berpotensi diskriminatif. Selain itu, komisi juga meminta Dinas Pendidikan Sumbar membuat regulasi yang menjadi acuan bagi sekolah dalam membuat tata tertib sekolah.
Guru Besar Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang Sufyarma Marsidin mengatakan, memang ada ruang untuk kearifan lokal dalam UU Sisdiknas dan Kurikulum 2013. Kearifan lokal sesuai RPJMD Sumbar, yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat Minangkabau bersendikan agama Islam, agama Islam bersendikan Al Quran). Oleh sebab itu, tidak salah mengatur seragam sekolah berdasarkan kearifan lokal tersebut.
”Akan tetapi, karena kita berada di NKRI, ada aspek yuridis yang juga harus dipikirkan. Pemakaian kerudung atau jilbab wajib untuk siswa Islam. Siswa didik non-Muslim dapat menyesuaikan dengan mengacu Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014,” kata Sufyarma.
Menurut Sufyarma, sekolah harus menghormati keberagaman dan kemajemukan, terutama sekolah negeri. Setiap siswa, apa pun latar belakang agamanya, harus diperlakukan sama, tidak boleh ada diskriminasi. Berkaca dari kasus SMK 2 Padang, ia menyarankan agar kepala sekolah perlu mendapatkan materi kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan agar lebih bisa memahami pluralisme.
Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Adib Alfikri mengatakan, dinas telah mengirimkan surat edaran ke setiap SMA/SMK agar mengkaji ulang, menelaah, dan merevisi tata tertib sekolah yang berpotensi intoleran. ”Semua level pimpinan, kepala cabang dinas, dan semua unsur, termasuk pengawasan, sama-sama mengkaji ini sampai minggu depan,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, mengatakan, lembaga pendidikan seharusnya bisa menyemai keberagaman, apalagi di sekolah negeri. Sekolah negeri adalah sekolah pemerintah, yang dibiayai dengan pajak masyarakat dari agama apa pun. Jadi, siswa agama apa pun bisa menikmati sekolah negeri.
Baca juga: Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab
Sekolah negeri terdiri atas siswa yang majemuk. Dari perbedaan itulah, kata Retno, siswa bisa belajar mengenai keberagaman. Jadi, penyeragaman pakaian antara siswa Muslim dengan siswa non-Muslim agar mengurangi risiko perundungan tidaklah tepat. ”Sekolah negeri menguatkan nilai-nilai keberagaman, persatuan, menjunjung tinggi HAM. Sekolah negeri harus menyemai keberagaman,” kata Retno.