Lindungi Perempuan, Jangan Lagi Ada ”Bencana” Baru
Mitigasi bencana menjadi penting, tidak hanya untuk meminimalkan kehancuran dan jatuhnya korban, juga mencegah ”bencana” baru bagi para korban bencana, terutama kelompok masyarakat rentan.
Bencana alam di Indonesia hampir setiap saat melanda sejumlah daerah di Indonesia. Bencana gempa, tsunami, likuefaksi, banjir, dan longsor sangat besar dampaknya, bahkan menelan korban jiwa yang besar. Berulang kali terjadi bencana, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat.
Mitigasi bencana menjadi penting, tidak hanya untuk meminimalkan kehancuran dan jatuhnya korban, tetapi juga mencegah ”bencana” baru bagi para korban bencana, terutama para perempuan, anak-anak, serta kelompok rentan seperti disabilitas dan lanjut usia, juga ibu-ibu hamil, ibu menyusui, serta orang sakit.
Respons cepat di masa tanggap darurat tentu menjadi sangat penting. Namun, belajar dari pengalaman-pengalaman bencana sebelumnya, penanganan dampak bencana terhadap para penyintas pada pasca-bencana yang mengedepankan perspektif jender harus sejak awal mendapat perhatian.
Selain memberikan bantuan spesifik yang sesuai dengan kebutuhan khusus para perempuan, seperti pakaian dalam, pembalut, popok anak/dewasa, dan obat-obatan, perlindungan perempuan dan anak dari risiko kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual perlu diperhatikan.
Potensi kekerasan seksual terhadap perempuan bisa terjadi karena sejumlah faktor. Setelah bencana, semua pengungsi biasanya ditempatkan dalam satu lokasi, semua bercampur baur laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa.
Bahkan ada tenda yang ditempati beberapa keluarga. Sementara ketersediaan fasilitas pendukung kurang memadai dan berpotensi terjadi kekerasan, terutama kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak perempuan.
Contoh yang paling sering terjadi adalah fasilitas MCK (mandi cuci kakus) antara laki-laki dan perempuan tidak dipisah. Bahkan, sering kali dinding kamar mandi maupun toilet sangat pendek sehingga bisa diintip orang lain. Lalu, ada juga pintunya tidak ada kunci serta penerangan di lokasi MCK minim.
Antisipasi kasus
Karena itu, sepekan lebih setelah gempa berkekuatan M 6,2 yang mengguncang Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat, pada Jumat (15/1/2021) dini hari, sejumlah organisasi perempuan bertemu secara virtual dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Para aktivis perempuan yang mendampingi perempuan pengungsi bencana di Aceh, Sinabung, Lombok, dan sejumlah daerah, menyampaikan berbagai masukan terkait penanganan pengungsi pascabencana.
”Jadi, yang harus kita ingat, ketika pengungsian MCK harus terpisah laki-laki dan perempuan. Kenapa? Karena itu sumber terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan dan perempuan remaja. Penerangan juga harus diperhatikan. Kalau terlalu jauh akses toilet dengan tenda, itu juga akan rawan bagi perempuan yang tengah malam harus ke toilet,” ujar Hajalia Somba, dari Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST).
Bahkan dari pengalaman pengungsi di Sulteng dan daerah-daerah bencana lain, kerentanan pelecehan/kekerasan seksual juga dialami perempuan dan remaja perempuan pengungsi juga terus terjadi saat pengungsi pindah ke hunian sementara (huntara). Jika tidak ada pengamanan dan penerangan yang cukup, sangat besar potensi kekerasan seksual yang akan dialami perempuan.
Karena itu, Dewi Rana Amir, Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulteng, yang juga ikut terjun membantu pengungsi di Mamuju dan Majene lewat Ruang Ramah Perempuan (RRP), mengungkapkan kerentanan perempuan di lokasi bencana dan perlu dukungan psikologis.
”Kami sudah mulai menerima laporan beberapa ibu mengurung diri karena depresi tidak mau bertemu siapa pun karena suaminya meninggal di depannya. Anak-anak masih sangat trauma,” kata Dewi yang berharap ada respons sistem rujukan yang cepat.
Baca juga : Kekerasan Membayangi Perempuan dan Anak Penyintas Bencana
Ruang Ramah Perempuan
Kehadiran RRP sangat bermanfaat karena kehadiran RPP diharapkan memberikan ruang yang ”aman”, baik secara fisik maupun psikis bagi perempuan dan anak perempuan yang terkena dampak bencana. Adapun RRP bisa dibentuk dengan berbagai nama yang berbeda di setiap daerah atau wilayah, seperti Pusat Perempuan dan Anak Perempuan (Women and Girls Center), Pusat Komunitas Perempuan (Women Community Center), Ruang Ramah Perempuan (Women Friendly Space), dan Pusat Kesehatan Perempuan (Women’s Wellbeing Center).
Belajar dari bencana alam gempa, tsunami, dan likuefasi yang terjadi di Sulteng pada tahun 2018-2019, pada 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund/UNFPA) telah menyusun Prosedur Standar Operasi (SOP) Ruang Ramah Perempuan Dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Pada Situasi Bencana. Sebelumnya, pada 2019, juga diluncurkan Buku Pedoman Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana.
Norcahyo Budi Waskito dari UNFPA mengingatkan perlunya integrasi antara layanan kesehatan reproduksi dan layanan kekerasan berbasis jender serta dukungan psikososial. Misalnya, ketika ada kasus kekerasan diterima oleh bidan-bidang di Tenda Kesehatan Reproduksi (Kementerian Kesehatan) yang di lokasi pengungsian, hal itu bisa dirujuk ke RRP atau sebaliknya.
Penanganan berbasis jender pasca-bencana, menurut Menteri PPPA Bintang Darmawati, menjadi perhatian pemerintah. Bahkan, Bintang mengingatkan pentingnya memperhatikan perempuan yang tiba-tiba menjadi perempuan kepala keluarga karena suaminya meninggal dalam bencana.
Maka, Bintang sepakat penanggulangan bencana yang berperspektif jender memang harus dilakukan sejak awal. Bahkan, dari berbagai pengalaman penanganan pengungsi bencana, menjadi momen untuk memasukkan isu jender dalam Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang saat di tangan DPR.
Baca juga : Nasib Perempuan di Pengungsian
Untuk menjamin perlindungan perempuan/remaja perempuan di lokasi pengungsian, Bintang memastikan untuk berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah agar benar-benar memberi perhatian serius terhadap perlindungan khusus pada perempuan/anak perempuan di situasi bencana.