Lindungi Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual
Akses keadilan restoratif bagi perempuan penyandang disabilitas masih mengalami hambatan-hambatan karena kondisi disabilitasnya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak, menyusul minimnya perlindungan terhadap para korban. Sejak tahun 2020, sejumlah penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Bahkan, saat ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menawarkan bantuan perlindungan terhadap anak perempuan disabilitas di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (19/1/2021), yang pekan lalu menjadi korban perkosaan.
LPSK sendiri telah mengambil tindakan proaktif kepada korban anak tersebut dengan menyambangi kediamannya untuk menawarkan perlindungan.(Livia Iskandar)
“LPSK sendiri telah mengambil tindakan proaktif kepada korban anak tersebut dengan menyambangi kediamannya untuk menawarkan perlindungan,” ujar Livia Iskandar, Wakil Ketua LPSK, dalam keterangan pers, Minggu (24/1/2021).
Menurut Livia, dalam pertemuan dengan keluarga korban, diketahui korban membutuhkan perlindungan ekstra dan sangat membutuhkan pendampingan dalam menjalani proses hukum ke depan. “Kami lega keluarga korban bersedia untuk mengajukan perlindungan kepada LPSK, selanjutnya kami akan langsung telaah permohonan perlindungannya” kata Livia.
Seperti diberitakan sejumlah media, Kepolisian Kota Besar Makassar, menangkap dua dari tiga pelaku pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan disabilitas di Makassar, setelah salah satu pelaku mengancam keluarga korban untuk menyebarkan video dari perbuatan mereka.
Livia menegaskan, sejak tahun 2020, LPSK telah memberikan perlindungan terhadap 14 disabilitas yang menjadi korban tindak pidana, dan yang banyak adalah korban kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual yang menimpa disabilitas di wilayah Sulsel mendapat perhatian LPSK, karena dari data yang dimiliki LPSK, beberapa kasus kekerasan seksual di Sulsel kerap menarget kaum disabilitas dan dilakukan secara beramai-ramai.
“Kami menemukan kasus korban disabilitas rungu-wicara diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar. Ada juga disabilitas rungu-wicara yang diperkosa tetangganya sampai hamil dan melahirkan di Makassar, ada juga korban anak disekap dan diperkosa berhari-hari di Enrekang,” ujar Livia.
Anggaran khusus
Beberapa hari sebelumnya, Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo meminta pemerintah pusat maupun daerah dapat menyediakan anggaran khusus untuk korban tindak pidana khususnya bagi penyandang disabilitas. Pemerintah diharapkan membuat nomenklatur anggaran yang secara eksplisit menyebutkan peruntukannya untuk korban tindak pidana, bukan dimasukan dalam kategori warga miskin seperti yang terjadi saat ini.
“Bantuan dari pemerintah untuk penyandang disablitas korban tindak pidana itu, diharapkan bukan hanya dikucurkan pada saat pandemi saja, namun lebih baik jika memang tersedia anggaran khusus di dalam APBN ataupun APBD” ujar Antonius.
Selain itu Antonius juga menyoroti kondisi korban kejahatan yang tidak ditanggung biaya medisnya oleh BPJS. Pada 2020 lalu, LPSK sering menerima permohonan perlindungan bantuan medis dari korban kejahatan setelah ditolak oleh BPJS di rumah sakit.
Komnas Perempuan
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat selama empat tahun terakhir, kekerasan berbasis jender siber meningkat secara signifikan. Pola kekerasan berbasis jender siber terhadap perempuan atau anak perempuan disabilitas pada dasarnya sama, yakni menyasar tubuh dan seksualitas, namun kerentanannya bertambah. Pertama, sebagai anak perempuan; kedua, sebagai penyandang disabilitas.
Terkait kasus di Makassar, Rainy menilai pelaku melakukan kekerasan berlapis terhadap anak perempuan disabilitas. Selain pemerkosaan juga mengancam/pemerasan dengan menggunakan video intim pemerkosaan anak perempuan disabilitas.
Karena itu, selain dikenakan Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku harus dikenakan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam kajian Komnas Perempuan bersama dengan organisasi penyedia layanan disabilitas, tentang pemenuhan hak perempuan disabilitas korban kekerasan seksual, akses keadilan restoratif bagi perempuan penyandang disabilitas masih mengalami hambatan-hambatan karena kondisi disabilitasnya.
“Untuk itu, Komnas Perempuan akan terus mendorong Kepolisian Negara RI agar mengarusutamakan PP No. 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan di semua tingkatan aparat penegak hukum termasuk kepolisian,” ujar Rainy.