Sekolah Mestinya Jadi Tempat Mempromosikan Toleransi
Kondisi sejumlah sekolah saat ini tidak lepas dari polemik mayoritas dan minoritas. Padahal, sekolah semestinya menjadi tempat strategis untuk mempromosikan toleransi.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah mesti menjadi institusi penting untuk mempromosikan toleransi dan dialog dari beragam latar belakang budaya, bukan sebatas mengejar pencapaian akademis. Program pendidikan karakter yang sedang berkembang seharusnya tidak terjebak moralitas kelompok mayoritas tertentu.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, Senin (25/1/2021), di Jakarta, mengatakan, kondisi sejumlah sekolah saat ini tidak lepas dari polemik mayoritas dan minoritas. Posisi minoritas selalu dalam posisi tidak aman dan seringkali mendapatkan diskriminasi, termasuk menyangkut pakaian.
Pascareformasi, situasi seperti itu tampak di berbagai sekolah negeri di Indonesia. Kecenderungan politisasi identitas juga menguat seiring munculnya peraturan daerah berbasis agama tertentu. Sekolah ikut terimbas, seperti penerapan aturan memakai busana seragam yang menjadi standar moralitas tertentu.
Program moderasi agama dan penguatan karakter terus berkembang, seperti yang dilakukan Wahid Institute dan Maarif Institute. Program penguatan karakter juga ikut berkembang. Materi toleransi menjadi bagian dalam program tersebut. Namun, program-program seperti itu belum efektif.
Sekolah negeri, khususnya, seharusnya menjadi lokus utama perjumpaan substantif antarberagam latar belakang kelompok, membangun kesetaraan, dan dialog yang dapat menyatukan. Namun, Anggi memandang sejumlah sekolah negeri tampaknya gagal melakukannya dan terjebak pada penguatan aspek moralitas dengan berbasis pada kelompok agama tertentu yang menjadi mayoritas.
Upaya sekolah negeri untuk membangun ruang perjumpaan substantif juga sangat terbatas. Ada kemungkinan mereka terjebak mengejar keluaran yang serba akademis dan administratif.
”Upaya sekolah negeri untuk membangun ruang perjumpaan substantif juga sangat terbatas. Ada kemungkinan mereka terjebak mengejar keluaran yang serba akademis dan administratif,” ujarnya.
Kebijakan membangun nilai-nilai inklusivitas di level daerah penting dilakukan, misalnya perkemahan dan pertukaran belajar. Namun, lagi-lagi pemerintah daerah kembali menebalkan identitas mayoritas-minoritas karena kepentingan politik elektoral tertentu.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani membenarkan, sejak 2007, pihaknya memantau kebijakan dan peraturan di daerah yang berpotensi menimbulkan diskriminatif mengatasnamakan agama. Salah satu temuan menarik adalah sejumlah kebijakan ataupun peraturan daerah diantaranya terkait busana dan turut menarget layanan pendidikan.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo secara terpisah mengatakan, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 Ayat (1) mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Amanat ini semestinya konsisten dijalankan sampai ke sistem akreditasi satuan pendidikan atapun kebijakan di daerah.
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, pihaknya memiliki konsep ”Sekolah atau Pendidikan Ramah Hak Asasi Manusia”. Konsep ini dipakai sebagai bahan pelatihan kepada guru dan kepala sekolah sejak dua tahun lalu. Hanya saja, implementasinya baru menyasar sekolah-sekolah di lima kabupaten/kota di Kalimantan Barat dan empat kabupaten/kota di Jawa Barat. Komnas HAM berupaya memperluas pelaksanaan gagasan itu dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Sasaran utama pendidikan ramah hak asasi manusia memang harus ke guru terlebih dulu. Mereka akan meneruskan pengajaran ke siswa. Belum semua sekolah yang mengikutkan gurunya pelatihan segera menerapkan,” ujarnya.
Menurut Beka, kendala utama implementasi gagasan pendidikan ramah hak asasi manusia adalah intervensi politik di daerah. Mahkamah Konstitusi pun telah memutuskan tidak ada kewenangan pemerintah pusat untuk mengkaji ulang peraturan daerah.
”Kondisinya sekarang butuh terobosan hukum yang nyata,” kata Beka.
Menurut Henny, upaya konkret yang bisa dilakukan sekarang penyelarasan kebijakan-kebijakan yang ada sesuai amanat Pasal 4 Ayat (1) UU No 20/2003. Dinas pendidikan punya peran krusial untuk urusan itu.
Keberagaman peserta didik semestinya adalah hal yang harus dihargai oleh sekolah. Namun, situasi yang sering terjadi adalah kepala sekolah dan guru melakukan pengutamaan-pengutamaan tertentu sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi ”liyan”.
”Dalam konteks seleksi terbuka kepala sekolah ataupun guru seharusnya dimaknai sebagai upaya menghargai kemampuan seseorang,” katanya.
Adapun Anggi berpendapat, program-program pendidikan karakter ataupun moderasi beragama tetap perlu dilanjutkan. Peta pendidikan karakter yang sudah pernah disusun pemerintah cukup terus ditindaklanjuti. Substansinya tidak boleh terjebak kepada isu moral setiap agama mayoritas di daerah.
”Salah satu agen penebar intoleran, baik sadar maupun tidak, sengaja ataupun tidak, adalah guru. Sejumlah pendidik seperti itu minim perjumpaan dengan kelompok lain. Maka, program-program perjumpaan guru dari beragam latar belakang budaya mesti selalu diadakan,” kata Anggi.
Beda tugas
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, gagasan Profil Pelajar Pancasila yang sedang dikumandangkan Kemendikbud berupaya menumbuhkan karakter kebinekaan kepada siswa. Siswa ditumbuhkan karakternya agar mampu menjalani kehidupan dalam suasana yang majemuk dan inklusif.
Anak dididik menerima perbedaan pikiran, pendapat, keyakinan, dan hal-hal lain yang tidak ada pada dirinya. Di tengah situasi global seperti sekarang, anak disiapkan agar juga mampu menghargai kemajemukan di luar negara tempatnya tinggal.
Hanya saja, saat ditanya upaya realisasi gagasan tersebut kepada guru agar bisa meneruskan ke siswa, Totok menyebut hal itu bukan menjadi wewenangnya. ”Pembinaan kepada guru adalah peran Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan,” katanya.
Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman menyampaikan, penerapan penguatan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab direktorat jenderal yang berurusan sekolah dan guru. Pusat Penguatan Karakter akan tetap fokus kepada sejumlah media kampanye pendidikan karakter seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.
Sementara itu, terkait kasus SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan hijab, Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat Sultanul Arifin mengatakan, pihaknya sudah menindaklanjuti ke dinas pendidikan setempat. Tindak lanjut ini membahas kelanjutan nasib anak beserta peraturan sekolah.
Dia mengklaim, Komnas HAM berulang kali mendorong agar peraturan daerah yang ikut menarget layanan pendidikan mewajibkan seragam dengan atribut agama tertentu diharmonimasi dengan peraturan lebih tinggi. Namun, hingga sekarang, dorongan itu belum kunjung dilakukan.
”Dari pusat (Kementerian Dalam Negeri) juga belum menindak sampai memberikan sanksi,” kata Sultanul.