Satuan pendidikan aman bencana semestinya bukan sebatas program, melainkan pembangunan budaya kesiapsiagaan bencana bagi guru, siswa, dan keluarganya.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak-anak yang ikut mengungsi bersama orangtua mereka di SD Negeri 1 Ngrajek, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/1/2020). Anak-anak dan lansia menjadi kelompok priorotas untuk diungsikan selama aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang terjadi dalam beberapa bulan ini.
Selama sepuluh tahun terakhir, bencana alam dan non-alam yang melanda Indonesia berdampak kepada sekitar 62.687 satuan pendidikan dan lebih dari 12 juta peserta didik. Pada tahun 2019, secara khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut sudah ada 126.681 satuan pendidikan yang terdata berada di wilayah rawan bencana gempa bumi, banjir, longsor, tsunami, dan gunung meletus.
Sejak gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004, diikuti perubahan iklim akibat kerusakan alam sehingga menimbulkan sejumlah bencana alam dan non-alam telah memicu gerakan pengurangan risiko bencana. Gerakan-gerakan tersebut juga menyasar ke layanan pendidikan. Pada bulan Mei 2010, misalnya, Badan Perserikatan Bangsa-angsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) mengampanyekan perlunya dilaksanakan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Dalam dokumen "Peta Jalan SPAB Periode 2020-2024" yang dikeluarkan oleh Kemendikbud dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), disebutkan beberapa pencapaian untuk mendukung terlaksananya SPAB selama kurun waktu 2015-2019.
Misalnya, terbitnya Peraturan Mendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang SPAB, Surat Keputusan Mendikbud Nomor 234 Tahun 2018 tentang Seknas SPAB, pembentukan sekretariat bersama SPAB di kabupaten/kota, dan terintegrasi Data Pokok Pendidikan dengan aplikasi kaji potensi bencana BNPB "InaRisk".
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemdikbud Samto, Jumat (22/1/2021), di Jakarta, mengatakan, mengarusutamakan SPAB memerlukan kolaborasi lintas kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat. Anggaran sekolah aman bencana sekarang sudah teralokasi dan tersebar di setiap direktorat.
Ketua Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan Yanti Sriyulianti mengatakan, pengeluaran fasilitas sekolah aman bencana saat ini sudah ada di petunjuk teknis bantuan operasional sekolah (BOS). Sekitar 25.600 satuan pendidikan menuju SPAB. Sekretaris Nasional SPAB melakukan sinergi data satuan pendidikan dengan daerah rawan bencana.
"Perlahan memang. Akan tetapi, sekarang setidaknya sudah ada Sekretaris Nasional bisa segera sajikan data satuan pendidikan terdampak ketika bencana terjadi," tutur Yanti.
Di balik pencapaian-pencapaian itu, dokumen "Peta Jalan SPAB Periode 2020 - 2024" mengakui masih ada sejumlah jenis persoalan yang menghambat SPAB berjalan berkelanjutan. Misalnya, kegiatan SPAB belum menjadi target prioritas bagi peserta didik, belum semua provinsi dan kabupaten/kota membentuk sekretariat bersama, dan keterbatasan sumber daya manusia pelaksana. Selain itu, belum adanya sinkronisasi antara SPAB dengan upaya pengurangan risiko bencana lainnya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu warga di antara harta bendanya terkena banjir bandang di Perumahan Dinar Mas, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (18/1/2021). Intensitas hujan yang tinggi di sejumlah wilayah ini menyebabkan rawan bencana banjir dan longsor di Jawa Tengah.
Kepentingan anak
Praktisi SPAB dari Resilience Development Initiative (RDI), Yusra Tebe, Sabtu (23/1/2021), di Jakarta, menyebut persoalan tersebut melahirkan ironi berikutnya. Berdasarkan survei daring yang dilakukan kepada 2.083 anak pada 15 Juni-10 Juli 2020, 58 persen responden mengaku pernah mengalami bencana. Sebanyak 56 persen di antaranya sekadar cukup tahu dan hanya 12 persen menjawab sangat tahu cara agar aman dari bencana.
Ketika ditanya kesiapan sekolah dalam menghadapi bencana, hanya 19 persen responden menjawab sangat siap. Sementara itu, 56 persen responden anak menyebut percaya mereka akan selamat saat berada di kelas bila terjadi bencana.
"Tujuh dari sepuluh anak di sekolah tidak mengetahui prosedur sekolah bila terjadi bencana. Tujuh dari sepuluh anak di sekolah pernah berusaha mencari informasi/pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana, tetapi sumber terbanyak di media sosial, mesin pencari, dan aplikasi pesan instan," ujar Yusra.
Tujuh dari sepuluh anak di sekolah tidak mengetahui prosedur sekolah bila terjadi bencana (Praktisi SPAB dari Resilience Development Initiative (Yusra Tebe)
Padahal, saat bencana terjadi, dia mengatakan bahwa anak paling rentan terdampak. Dalam survei itu, Yusra juga menyertakan pertanyaan perlu tidaknya suara anak dilibatkan dalam membangun ketangguhan sekolah. Hasilnya, 92 persen responden menjawab perlu.
Menurut dia, penyusunan kebijakan dan perencanaan SPAB memiliki tiga pilar. Pilar pertama yaitu fasilitas sekolah aman, kedua manajemen bencana di sekolah, serta ketiga menyangkut pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Ketiga pilar itu sejatinya harus mementingkan hak anak. Jika sudah ada aturan, pengawasan implementasinya harus dicek apakah menunjang kebutuhan anak atau belum.
Dia lantas mencontohkan pilar fasilitas sekolah aman. Hasil asesmen lapangan menunjukkan, standar nasional Indonesia (SNI) dan pedoman bangunan tahan gempa, tetapi masih ada sejumlah sekolah tidak memenuhi persyaratan. Kelengkapan sarana prasarana belum seluruhnya ramah anak. Fasilitas bagi anak penyandang disabilitas masih kurang diperhatikan.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Siluet anggota TNI AL memindahkan bantuan bencana alam ke KRI Oswald Siahaan yang akan bertolak ke Mamuju, Sulawesi Barat, d Dermaga Armada II, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/1/2021). Bantuan kemanusiaan bagi korban gempa tersebut diperoleh dari Posko Lantamal V. Keberangkatan dilepas langsung oleh Pangarmada II Laksamana Muda TNI I Nyoman Gede Sudihartawan.
Budaya siaga
Psikolog pendidikan dan Wakil Ketua Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia, Karina Adistiana, saat dihubungi terpisah, berpendapat, hal utama dalam SPAB adalah budaya siap siaga bencana. Sebagai daerah rawan bencana alam dan nonalam, Indonesia sayangnya belum punya budaya itu.
"Sekitar 16 tahun terakhir pasca gempa dan tsunami Aceh, banyak kegiatan dan materi pengurangan risiko bencana dibuat lembaga swadaya masyarakat hingga tataran pemerintah. Namun, kultur siaga bencana belum banyak disadari sehingga minim terimplementasi saat kejadian berlangsung," kata dia.
Karina lantas mencontohkan pengalaman dia turut menangani gempa bumi Pidie Jaya, Aceh, pada tahun 2016. Karena biasa datang ke lokasi bencana, dia terbiasa saat gempa terjadi, dia keluar gedung. Dia menunggu ada tidaknya gempa susulan sehingga dia lama berada di luar gedung. Namun, Karina mengamati warga sekitar terburu-buru segera masuk ke rumah ketika goncangan usai. Mereka langsung melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Membangun budaya siaga bencana di sekolah berarti siswa dilibatkan penuh mulai dari perencanaan sampai inovasi penanganan. Menurut dia, membangun budaya itu bukan semata-mata memasukkan jenis-jenis bencana ke mata pelajaran, sedia fasilitas aman bencana, dan menggelar simulasi.
"Akan tetapi, anak diajak belajar mengenal alam sejak dini di mana dia berada dan berbagai potensi bencana yang mungkin terjadi. Dengan begitu, anak juga menjadi belajar bencana adalah bagian dari dinamika kondisi lingkungan tempat manusia tinggal," ujar Karina.
Bencana adalah bagian dari dinamika kondisi lingkungan tempat manusia tinggal (Karina Adistiana)
Dia pernah mengikuti workshop mengenai satuan pendidikan siaga bencana pada 2018 di Taiwan. Dari pengalamannya itu, Karina menyebutkan sejumlah hal menarik yang bisa dipelajari Indonesia. Misalnya, pelatihan program SPAB diberikan pertama kali kepada guru, penyusunan standar operasional prosedur penanganan bencana melibatkan anak, simulasi berkelanjutan, dan inovasi fasilitas pengurangan risiko yang ramah anak.
"Karena budaya siaga bencana sudah terbentuk, SPAB di negara itu bukan hanya \'proyek\'. Guru diikutkan dalam forum pengurangan risiko bencana bersama peneliti," imbuh Karina.
Yusra menambahkan, rata-rata program pengurangan risiko bencana banyak di wilayah yang pernah terdampak bencana. Ini menambah ketidaksiagaan bencana di Indonesia tidak maksimal.
"SPAB itu pola pikir. Maka, seluruh daerah harus paham SPAB," tambah Yusra.
Mega Indrawati, Education Team Leader Wahana Visi Indonesia, memandang, pemerintah daerah juga harus teredukasi pentingnya SPAB. Apabila mereka punya pengetahuan budaya siaga bencana yang baik, pemerintah daerah bisa menyusun kebijakan beserta pendanaan SPAB secara berkelanjutan.