Kasus intoleransi di sekolah tidak cukup dengan memberi teguran maupun sanksi bagi sekolah. Harus ada upaya menyeluruh untuk mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di sekolah dan peraturan daerah bernuansa intoleran
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bhinneka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja mereka juga mengunjungi masjid, vihara, dan pura di kawasan Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan memperkuat rasa kebinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan hijab merupakan akumulasi pembiaran negara terhadap persoalan intoleransi yang dilakukan secara terstruktur di sekolah. Ini bukan kasus baru dan juga bukan kali pertama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus membongkar persoalan intoleransi di sekolah.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapreasi respons cepat Kemendikbud terkait kasus di SMKN 2 Padang tersebut. Namun, P2G menyayangkan Kemendikbud hanya merespons kasus baru yang kebetulan menjadi perbincangan publik. Padahal fenomena intoleransi tersebut banyak dan sering terjadi dalam persekolahan di Tanah Air.
Dalam catatan P2G, kasus serupa pernah terjadi di sejumlah daerah. Pada 2017 ada kasus pelarangan hijab di SMAN 1 Maumere, dan pada 2019 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Pada 2014 kasus serupa terjadi pada sekolah-sekolah di Bali.
“Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” kata Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri di Jakarta, Minggu (24/1/2021).
Dalam catatan Kompas, pada 2017, seorang siswi membatalkan mendaftar di sebuah SMP negeri di Banyuwangi, Jawa Timur karena sekolah tersebut mewajibkan semua siswi mengenakan hijab (Kompas, 18/7/2017). Pada 2019, sebuah SD negeri di Gunung Kidul, DI Yogyakarta mewajibkan siswa kelas 1 mengenakan seragam berupa busana muslim (Kompas, 26/6/2019).
Aturan daerah dan/atau sekolah umum yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan hijab dan aturan larangan siswi Muslim menggunakan hijab sama-sama melanggar Pancasila, UUD, dan undang-undang. Aturan-aturan tersebut juga menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam rekaman video yang diunggah di akun Instagram pribadinya mengatakan apa yang terjadi di SMKN 2 Padang merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman yang bukan hanya melanggar undang-undang melainkan juga melanggar nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan. Untuk itu pemerintah tidak akan menoleransi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi tersebut.
Kompas/Priyombodo
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nadiem mengatakan, dalam kasus SMKN 2 Padang ada pelanggaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kemendikbud telah meminta pemerintah daerah segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan pembebasan jabatan. “Sebagai tindakan konstruktif dalam waktu dekat kami akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan untuk menghindari pelanggaran serupa,” kata Nadiem.
Sebagai tindakan konstruktif dalam waktu dekat kami akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan untuk menghindari pelanggaran serupa.(Nadiem Makarim)
Sebelumnya dalam rilis Kemendikbud pada Sabtu (23/1/2021), Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto mengatakan hal serupa. Dia mengatakan sekolah tidak boleh membuat peraturan atau imbauan bagi peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Sekolah juga tidak boleh melarang jika peserta mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu.
Perda intoleransi
Iman mengatakan, persoalan intoleransi di sekolah (di daerah umumnya) mengandung problematika dari aspek regulasi struktural, sistematik, dan birokratis. Faktor penyebab utamanya adalah peraturan daerah yang bermuatan intoleransi. Kewajiban mengenakan hijab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005.
Artinya, ada peran pemerintah pusat, seperti Kementerian Dalam negeri dan Kemendikbud yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini. “Pemantauan Elsam tahun 2008 mencatat seperti instruksi Walikota Padang, Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai baca Al-Qur’an bagi Peserta Didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah menyimpan potensi intoleran di lingkungan sekolah," lanjut Iman.
Cara berpakaian keagamaan atau memilih tidak memakainya, serta tetap diberikan pelayanan pendidikan atas sikap anak tersebut adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, serta Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014.
“Ekspresi cara berpakaian semestinya tidak menjadi penghalang dalam mendapatkan hak atas pendidikan seperti diamanatkan Pasal 31 UUD 1945,” ujar Iman.
DEFRI WERDIONO
Seorang pengunjung yang masih anak-anak tengah menyerahkan bingkisan kepada pihak Wihara Dhammadipa Arama di Batu, Jawa Timur, Minggu (16/12/2018). Saat itu, puluhan pengunjung yang berasal dari Sekolah Perempuan Desa dan Gusdurian Kota Batu, besarta anak-anak mereka, mengikuti kegiatan Tour de Tolerance. Total ada 6 tempat ibadah agama berbeda yang hari ini mereka kunjungi.
Menurut Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, Kemendagri harus mengecek semua perda yang potensi intoleran, yang bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini terutama perda intoleran yang diimplementasikan di lingkungan sekolah.
"Kemendagri bersama Kemdikbud segera berkoordinasi, lebih proaktif memeriksa aturan daerah dan sekolah yang berpotensi intoleran, tidak hanya dari aspek agama, tetapi juga kepercayaan, suku, budaya, ras, dan kelas sosial ekonomi siswa," kata Satriwan.
Meski sekolah berada dalam kewenangan daerah, menurut Satriwan, Kemendikbud punya kewenangan untuk ini. Peran Inspektorat Jenderal Kemendikbud untuk mengawasi kebijakan dinas pendidikan dan kepala sekolah yang bernuansa intoleransi harus dioptimalkan.
Satriwan juga mengusulkan Kemendikbud menggandeng lembaga sosial masyarakat seperti Wahid Foundation, Maarif Institute, Setara Institute, YLBHI, Elsham. Lembaga-lembaga ini dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, dan siswa mengenai pendidikan kewarganegaraan, multikulturalisme, toleransi, dan perdamaian.
Kemendikbud dan pemda agar bekerja sama dengan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai lembaga negara yang menjadi leading sector dalam penyemaian nilai Pancasila untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada kepala dinas pendidikan, pengawas, kepala sekolah, dan guru semua mata pelajaran di setiap jenjang. Ini penting agar nilai-nilai Pancasila terus hidup, diaktualisasikan baik secara kultural maupun struktural di masyarakat.
Para orangtua juga diimbau untuk berani bersuara jika ada kebijakan intoleran yang terjadi pada anaknya di sekolah. Orangtua dapat melapor ke dinas pendidikan, atau lebih tinggi Inspektorat Daerah atau Inspektorat Jenderal Kemendikbud.
"Guru juga dituntut lebih peduli dan kritis terhadap peraturan-peraturan intoleran semacam ini, baik yang dikeluarkan kepala sekolah maupun yang diterapkan secara struktural melalui perda sehingga (kasus seperti di SMKN 2 Padang) dapat dicegah," kata Iman yang merupakan guru SMA.