Aturan Atribut Keagamaan di Sekolah Negeri Merugikan Pendidikan
Aturan yang mewajibkan ataupun melarang siswa di sekolah negeri mengenakan atribut keagamaan tertentu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pelajar melihat Pameran Widya Wahana Pendidikan di Balai Pemuda, Surabaya, Jumat (1/11/2019). Pameran tersebut bertema ”Membangun Generasi Berkarakter melalui Wahana Kreasi, Ekspresi dan Inovasi”.
JAKARTA, KOMPAS — Aturan yang mewajibkan ataupun melarang penggunaan atribut agama tertentu di sekolah negeri merugikan pendidikan. Ini bukan saja melanggar nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya disemai di sekolah, melainkan juga melanggar hak siswa dan merupakan bentuk kekerasan sekolah terhadap siswa.
Sekolah negeri merupakan fasilitas pendidikan milik negara yang harus diselenggarakan secara inklusif berdasarkan nilai-nilai kebangsaan. Kewajiban bagi siswa di sekolah negeri untuk mengenakan hijab, seperti di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat (kompas.id, 23/1/2021), menunjukkan adanya praktik intoleransi dan pemaksaan kehendak mayoritas atas minoritas.
”Ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang paling prinsipiil, nilai tertinggi bangsa ini. Demikian juga kalau ada pelarangan (mengenakan atribut agama). Ini bukan remeh-temeh, Kementerian pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Dalam Negeri harus turun tangan,” kata Ahmad Sua’idi, Komisioner Ombudsman RI Bidang Pendidikan, Sosial, dan Agama, Sabtu (23/1/2021).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti juga mengatakan, sekolah negeri adalah sekolah pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk. Oleh karena itu, sekolah negeri seharusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Ssiwa-siswi Sekolah Citra Alam menggambarkan dan menuliskan pendapatnya terkait kondisi kekerasan dan intoleransi pada sebuah spanduk dalam acara "Deklarasi Sekolah Gempita" di Sekolah Citra Alam, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (12/3/2018).
Kasus SMKN 2 Padang tersebut bukan kali pertama, sebelumnya kasus serupa terjadi di sejumlah daerah. Pada 2017, misalnya, seorang siswi membatalkan mendaftar di sebuah SMP negeri di Banyuwangi, Jawa Timur, karena sekolah tersebut mewajibkan semua siswi mengenakan hijab (Kompas, 18/7/2017). Pada 2019, sebuah SD negeri di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mewajibkan siswa kelas 1 mengenakan seragam berupa busana muslim (Kompas, 26/6/2019).
Ahmad Sua’idi mengatakan, Kemendikbud harus mempunyai kebijakan menyeluruh tentang inklusi pendidikan dan tentang penanaman nilai-nilai Pancasila, juga dalam pemilihan pejabat struktural sekolah. ”Seperti yang terjadi saat ini kan pikiran sangat sempit, (aturan) soal hijab itu tidak relevan, tidak ada kaitannya dengan pendidikan ataupun budi pekerti,” katanya.
Seperti yang terjadi saat ini kan pikiran sangat sempit, (aturan) soal hijab itu tidak relevan, tidak ada kaitannya dengan pendidikan ataupun budi pekerti. (Ahmad Sua’idi)
Kemendagri harus mengevaluasi dinas pendidikan dan aparatur pemerintah terkait untuk memastikan hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. ”Harus ada sanksi, minimal peringatan keras agar menjadi pengalaman bagi sekolah lain,” katanya.
Kompas
Profil Pelajar Pancasila
Dalam pernyataan tertulis, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto menyesalkan tindakan intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang. ”Kami di kementerian, akan terus bekerja keras dan mengambil langkah-langkah tegas agar praktik intoleransi di lingkungan pendidikan dapat dihentikan,” kata Wikan.
Apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tidak sesuai Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam permendikbud ini tidak ada kewajiban model pakaian kekhususan agama tertentu. Sekolah tidak boleh membuat peraturan dan imbauan bagi siswa untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah.
Kekerasan oleh sekolah
Retno mengatakan, apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tidak hanya melanggar aturan tentang seragam sekolah, tetapi lebih dari itu melanggar Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini yang seharusnya digunakan sebagai acuan atau panduan dalam menangani kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang.
Pasal 6 Huruf (i) permendikbud itu menyebutkan ”tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan, pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan”.
”Kalau (aturan mengenakan hijab) enggak memaksa, mengapa orangtua siswa dipanggil, ini kan anak terintimidasi, sekolah telah melakukan kekerasan. Dan ini juga melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Retno.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bhinneka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja mereka juga mengunjungi masjid, wihara, dan pura di kawasan Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan memperkuat rasa kebinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.
Retno mengatakan, aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Memaksa atau mewajibkan siswa berjilbab merupakan pelanggaran HAM, demikian juga melarang siswa berhijab juga melanggar HAM.
”Di Bali, ada kasus siswa Muslim pakai hijab di sekolah negeri enggak boleh, ini juga terjadi di beberapa wilayah Indonesia timur. Selalu begitu, yang minoritas kalah oleh mayoritas. Anak-anak ini 15 tahun ke depan adalah pemimpin negeri ini, kalau mereka enggak punya sikap toleransi, persatuan, penghargaan HAM, ini bahaya. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi harus ada kehalusan nurani yang dilakukan sekolah melalui praktik nilai-nilai keberagaman, toleransi, persatuan,” kata Retno.